Sukses

2 'Senjata' KPK untuk Tindak Anggota TNI Terkait Kasus Bakamla

Memang sejak berdiri pada 2003 lalu, Emerson menerangkan, KPK belum pernah membentuk tim koneksitas.

Liputan6.com, Jakarta - Empat orang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang dibiayai APBN-P 2016.

Mereka adalah Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, dua pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, serta Direktur PT MTI Fahmi Darmawansyah.

Eko yang juga Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Utama Bakamla dalam proyek ini menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). KPK tak berhenti pada penetapan empat tersangka ini. Sebab, diduga ada anggota militer berpangkat bintang satu dari matra laut yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Sebab, sampai kini KPK masih menangani para tersangka dari unsur nonmiliter, sebagaimana kewenangan KPK dalam penindakan korupsi. TNI pun merespons positif koordinasi ini.

"Yang berhubungan dengan militer, KPK tidak punya kewenangan. Karena itu, sejak sekarang KPK berkoordinasi dengan POM TNI, untuk mengkoordinasikan itu, dan TNI sangat mendukung upaya-upaya proses ini," ujar Laode di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 15 Desember 2016.

Namun, bagi Indonesia Corruption Watch (ICW), KPK dapat menangani kasus suap yang melibatkan anggota TNI aktif yang dilakukan bersama dengan orang sipil.

"Dapat, untuk kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan orang sipil dan orang militer, KPK masih memiliki kewenangan, meskipun kewenangannya tidak langsung," ungkap Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho, kepada Liputan6.com, Minggu (18/12/2016).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

UU KPK

Menurutnya ada dua dasar hukum yang menguatkan langkah lembaga antirasuah. Pertama adalah Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 (UU KPK).

Dalam pasal itu disebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Artinya KPK tetap berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, peyidikan dan penuntutannya yang dilakukan oleh pihak Polisi Militer/Oditur Militer," kata Emerson.  

Terkait kasus Bakamla yang diduga melibatkan anggota TNI aktif, ia menjelaskan, KPK dan POM TNI dapat menganani perkara secara bersama-sama melalui peradilan koneksitas atau membentuk Tim Koneksitas.

"Peradilan koneksitas adalah peradilan yang menangani perkara koneksitas. Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan yang berbeda, yaitu lingkungan peradilan umum dan peradilan militer," terang dia.

3 dari 3 halaman

Sekutu KPK-TNI

Dasar hukum yang kedua, Emerson menambahkan, adalah Nota Kesepahaman (MOU) antara TNI dan KPK pada 2012. Dalam MOU menegaskan kerja sama KPK dan TNI meliputi koordinasi dan pengendalian dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Selain itu dalam salah satu kesepakatan juga disebutkan bahwa dalam rangka pemberantasan korupsi TNI dapat memberikan bantuan personel TNI. Ini dapat diterjemahkan termasuk juga penyidik dari TNI," ungkap dia.

Soal peradilan atau tim koneksitas untuk kasus korupsi, Emerson mengaku sudah pernah ada. Salah satu contohnya pada 2002 dalam penanganan kasus korupsi korupsi Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan Ustraindo Petro Gas (UPG) dengan tersangka Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri yang juga anggota TNI.

"Saat itu dibentuk tim Koneksitas dari unsur TNI dan Kejaksaan," tegas dia.

Contoh lainnya, ia mengatakan, pada 2006 dalam pengadaan Helikopter MI-17 yang diduga merugikan negara 3 juta dolar Amerika. Memang sejak berdiri pada 2003 lalu, Emerson menerangkan, KPK belum pernah membentuk tim koneksitas.

"Penanganan kasus suap di pajak atau Bakamla harusnya jadi momentum untuk pertama kali KPK bersama dengan TNI membentuk Tim Koneksitas," pungkas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.