Sukses

OPINI: Jalan Terjal Toleransi Beragama

Penurunan jumlah intoleransi secara nyata karena pemerintah tidak membiarkan pelaku kekerasan. Mereka harus dihukum seberat-beratnya.

Liputan6.com, Jakarta - Di atas kertas, kita selalu mengklaim sebagai bangsa toleran. Klaim tersebut sebenarnya tidak berlebihan, karena kita mempunyai Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Dalam konteks keberagamaan, kita selalu menggembar-gemborkan sebagai negara dengan mayoritas Muslim moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi ormas terbesar yang berada di garda terdepan menyuarakan paham keislaman yang ramah, toleran, dan berkeadaban.

Presiden Jokowi dalam Nawacita menggarisbawahi pentingnya toleransi beragama, sebagai modal sosial untuk membangun kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Intoleransi yang tidak kunjung surut sejak era reformasi akan diatasi dengan serius, sehingga setiap warga negara bisa hidup damai dan mendapatkan perlindungan dari negara.

Namun semua itu belum menjadi jaminan bagi terwujudnya toleransi beragama di Tanah Air. Dari waktu ke waktu, masih terdengar aksi intoleransi yang sangat merugikan kelompok minoritas. Moderate Muslim Society (MMS) melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus intoleransi sejak 2008 hingga sekarang ini.

Meski intensitas intoleransi terus menurun dari tahun ke tahun, tetapi ancaman intoleransi tidak pernah absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Teranyar, warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok Timur ditahan oleh kepolisian karena mereka melaksanakan salat tarawih berjamaah, setelah muncul desakan dari kepala desa agar warga Jemaat Ahmadiyah menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah.

Di Kendal, Jawa Tengah, masjid Ahmadiyah dirusak sekelompok massa. Ironisnya, pemerintah daerah bukan melindungi korban, tetapi justru mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) masjid yang sudah dimiliki Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Bahkan, saya mendapatkan kabar, penanganan kasus tersebut bagaikan angin berlalu. Seolah-olah tidak ada tanggung jawab dari pemerintah untuk menindak tegas pelaku intoleransi. Alih-alih melindungi korban, justru korban dikorbankan lagi dengan cara mencabut IMB yang sudah sah.

Belum lagi nasib ratusan warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang mengungsi di Transito, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Karena perbedaan keyakinan dalam beragama, mereka harus mengungsi di negerinya sendiri. Rumah mereka dihancurkan. Kini, mereka tinggal di tempat penampungan yang sangat tidak layak.

Kalau melihat tren diskriminasi terhadap Ahmadiyah, sepertinya tidak terlihat tanda-tanda akan berakhir. Sebab sampai sekarang tidak ada perhatian serius dari pemerintah untuk memberikan perlindungan yang serius terhadap korban.

Pelaku intoleransi, seperti biasa, melenggang kangkung. Bahkan, secara kasat mata, pemerintah dan aparat keamanan kerap terlibat sebagai pelaku diskriminasi.

Mestinya umat Islam dan negeri ini malu di mata dunia, yang kerap menyatakan sebagai bangsa toleran dan moderat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu cabang Ahmadiyah internasional yang tersebar di seantero dunia, yang berpusat di London.

Mereka di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Afrika berperan dalam mengampanyekan wajah Islam yang damai dan concern dengan isu-isu kemanusiaan.

Namun sayang seribu sayang, Jemaat Ahmadiyah di negeri yang menjunjung tinggi Pancasila dan nilai-nilai moderasi dalam Islam, justru mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Selain Ahmadiyah, kelompok minoritas yang mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah penganut Syiah. Pemerintah masih mempunyai utang yang mesti dibayar dari pemerintahan sebelumnya, yaitu warga Syiah Sampang yang masih mengungsi di Sidoarjo. Hingga sekarang ini belum terdengar langkah penyelesaian serius.

Bahkan, penganut Syiah di beberapa daerah kerap mendapatkan ancaman. Di Bogor, mereka dilarang Wali Kota untuk merayakan Hari Asyura. Di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mereka dilarang merayakan Hari Wafatnya Sayyidah Fatimah, Puteri Nabi Muhammad SAW.

Beberapa kegiatan penganut Syiah kerap mendapatkan ancaman, dan ironisnya pemerintah tidak memberikan perlindungan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Masalah pendirian gereja di Aceh Singkil masih menjadi masalah yang belum terpecahkan pasca pengrusakan oleh sekelompok massa. Belum lagi, kasus gereja GKI Yasmin di Bogor yang sudah mendapatkan mandat dari Mahkamah Agung, hingga sekarang tak kunjung bisa dipakai untuk beribadah.

Ironisnya, jemaat gereja GKI Yasmin setiap minggu melaksanakan ibadah di depan Istana Negara, dan sepertinya pemerintah abai, tidak mau menyelesaikan kasus gereja GKI Yasmin ini.

Begitu pula, kita mendengar kesulitan kaum Muslim di daerah-daerah yang mayoritas Non-Muslim untuk mendirikan masjid. Kasus Tolikara menjadi catatan hitam yang sangat serius. Betapa toleransi beragama masih jauh dari rancang-bangun bernegara, seperti yang digariskan para pendiri bangsa.

Yang mencolok dari sejumlah kasus intoleransi di atas, yaitu tirani mayoritas terhadap minoritas. Mereka yang mengklaim mayoritas, dengan seenak jidatnya dapat memperlakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Celakanya, aparat penegak hukum tidak mempunyai instrumen yang jelas dalam melindungi kelompok minoritas dari ancaman kelompok mayoritas.

Lalu, apakah kita masih mempunyai harapan untuk membangun toleransi? Apa yang mesti dilakukan untuk membangun toleransi dalam beragama?

Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945 menggarisbawahi pentingnya membangun ketuhanan yang berkeadaban. Yaitu, sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama. Tidak ada egoisme dan fanatisme.

Fondasi kita bernegara dibangun di atas nilai-nilai kebangsaan, perikemanusiaan, permusyawaratan, keadilan sosial, dan ketuhanan.

Jujur, kita masih mempunyai harapan untuk membangun toleransi. Kuncinya, kita mesti kembali ke jati-diri kita dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila.

Pemerintah dan masyarakat sipil perlu bekerja keras untuk radikalisasi Pancasila. Tapi itu saja tidak cukup. Pemerintah mesti tegas menindak pelaku kekerasan dan intoleransi, serta melindungi sepenuhnya para korban.

Penurunan jumlah intoleransi secara nyata karena pemerintah tidak membiarkan pelaku kekerasan. Mereka harus dihukum seberat-beratnya sehingga tidak mudah melakukan aksi-aksi yang mengganggu ketertiban umum.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus bersuara keras menentang segala bentuk intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Belakangan suara NU dan Muhammadiyah kurang terdengar untuk melawan mereka yang kerap menebarkan ancaman dan kekerasan.

Idealnya, bulan suci Ramadan dapat dijadikan sebagai bulan untuk menyemai nilai-nilai toleransi. Ceramah-ceramah keagamaan mestinya dapat membangkitkan kesadaran perihal pentingnya toleransi.

Kita mempunyai tugas sangat berat untuk membumikan toleransi di negeri ini. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin sedang diuji pada tataran praksis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini