Sukses

Ada Hukuman Mati, Kenapa Indonesia Tetap Jadi Pasar Narkoba?

Pemberantasan narkoba tidak bisa berjalan sendiri, upaya rehabilitasi juga diperlukan untuk memotong permintaan narkoba di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo telah menabuh genderang perang melawan kejahatan narkotika. Vonis mati pun dijatuhkan pada para gembong narkotika. Eksekusi putusan yang terkatung bertahun-tahun satu persatu dilaksanakan.

Penerapan aturan bagi korban dan penyalahguna narkoba perlahan mulai diadaptasi. Bahwa mereka dianggap sebagai 'orang sakit' yang harus disembuhkan, bukan malah dikriminalkan dan dijebloskan ke penjara.

Namun, di tengah perang tersebut narkoba seolah tidak pernah hilang di pasaran. Buktinya saja, beberapa kasus terungkap oleh aparat Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, Bea Cukai, bahkan TNI. Jumlah yang diungkap pun tidak sedikit. Mencapai ratusan kilogram atau puluhan ribu butir untuk obat-obatan.

Lalu, apa sebab pasokan narkoba tetap membanjiri Indonesia?

"Demand (permintaan) narkoba di Indonesia tinggi. Selama permintaan itu terus ada, maka pasokan akan tetap ada. Makanya, menekan demand ini menjadi faktor penting selain juga pemberantasan," kata Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Anang Iskandar, kepada Liputan6.com, Minggu (31/1/2016).

Barang bukti jenis sabu 15,5 Kg yang berhasil diamankan Polisi dari tersangka Warga negara Nigeria, Jakarta, Jumat (6/3/2015). Modus yang dilakukan dalam sindikat tersebut melalui mesin pompa air. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Cara untuk menghilangkan Indonesia dari bidikan pasar gelap narkoba, kata Anang, adalah dengan pola 'penyembuhan' mereka yang menjadi korban atau penyalahguna narkoba atau rehabilitasi.

Cara seperti ini tentu saja tidak bisa berjalan satu kaki. Menurutnya, selain rehabilitasi peran pemberantasan atau penindakan juga harus berjalan beriringan.

"Harus sama-sama secara seimbang, dua-duanya harus agresif," ujar mantan Kepala BNN ini.

Memotong Pasokan Narkoba

Selain itu, dalam pemberantasan juga ditekankan beberapa hal untuk memotong pasokan narkoba ke Indonesia. Yaitu memutus jaringan dan penerapan pasal pencucian uang secara maksimal terhadap para bandar.

"Yang paling penting itu jaringan, bagaimana jaringan bisnis narkoba itu harus diputus. Jadi tidak sekedar penghukuman para bandar saja, tapi juga jaringannya. Kalau dia (bandar) dijebloskan penjara tapi jaringannya tidak diputus, maka dia akan tetap beroperasi di dalam penjara," tegas Anang.

"Selain juga aset bandar harus di-nol-kan. Dimiskinkan, agar mereka tidak bisa lagi benar-benar beroperasi," dia menambahkan.

Tersangka berinisial GP dihadirkan saat gelar barang bukti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) narkotika di kantor BNN, Jakarta, Selasa (26/1). BNN berhasil menyita aset senilai Rp17 miliar di Tebing Tinggi, Medan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Penerapan pasal pencucian uang ini tentu saja mengacu pada amanat Undang-undang 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Di mana penyidikan kejahatan, salah satunya narkoba, harus dimaksimalkan dengan pencucian uang.

Menurut Anang, berdasarkan hasil penelitian BNN dan Universitas Indonesia (UI), jumlah demand narkotika di Indonesia mencapai 4 juta orang. Atau 48 persen demand narkotika di tingkat Asia Tenggara.

"Jadi demand 4 juta ini harus diselamatkan, kalau tidak maka narkoba akan terus mengarah masuk ke Indonesia," jelas Anang.

Di lingkungan Polri, Anang berupaya untuk merubah pandangan memenjarakan penyalahguna. "Sekarang ini penyalahguna dianggap kejahatan besar, padahal penyalahguna itu sendiri harus dicegah atau diselamatkan," kata sekarang ini penyalahguna dianggap kejahatan besar, padahal penyaah guna diti sindir dicegah diselamatkan," kata Anang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini