Sukses

Malam Dramatis Menuju Indonesia Merdeka

Pernyataan Nishimura membuat Sukarno dan Hatta protes. Jepang dianggap ingkar janji untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Para tokoh pergerakan itu dikejar waktu. Tak ada pilihan lain, Kamis 16 Agustus 1945 malam, rumusan naskah Proklamasi sudah harus dibuat dan dibacakan keesokan harinya. Namun, Sukarno dan Mohammad Hatta serta tokoh lain terkendala oleh lokasi yang aman untuk merumuskan pernyataan kemerdekaan itu.

Awalnya, penyusunan naskah Proklamasi direncanakan dilakukan di Hotel Des Indes di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, lantaran anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) banyak menginap di hotel tersebut.

Namun, pihak hotel menolak tempatnya dijadikan lokasi rapat karena terganjal aturan jam malam yang ditetapkan Jepang. Pada titik inilah terjadi kebingungan, sementara waktu terus berjalan. Malam semakin larut.

Saat itulah Ahmad Subardjo, penasihat dan anggota PPKI, teringat sahabatnya, Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang yang tinggal di Jalan Meiji Dori No 1 (sekarang Jalan Imam Bonjol) Jakarta Pusat. Segera saja dia menelepon Maeda.

Gayung bersambut. Maeda menyatakan bersedia kediamannya digunakan untuk lokasi rapat, meski dia sendiri tidak tahu pasti rapat apa yang akan digelar. Subardjo kemudian juga mengontak anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk segera merapat ke rumah Maeda.

Mengetahui sudah mendapat tempat, Sukarno yang sedang beristirahat di rumahnya sepulang dari Rengasdengklok langsung mengontak para pemuda yang berada di Jalan Prapatan 10 dan Jalan Cikini 71. Sukarno juga langsung bergegas ke rumah Hatta untuk bersama-sama ke rumah Maeda.

Tiba di Jalan Meiji Dori Nomor 1, Sukarno, Hatta, dan Subardjo disambut Maeda dan asistennya, Nishijima, dan diplomat Jepang bernama Mijoshi di ruang pertemuan di lantai satu rumah tersebut. Sukarno pun mengutarakan tujuannya

Meski mengizinkan rumahnya dipinjam, Maeda meminta Sukarno dan kawan-kawan menemui terlebih dulu Gunseikan atau Kepala Pemerintahan Militer Jepang, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto. Mereka kemudian berangkat, hendak menemui Yamamoto, ditemani Mijoshi.

Tapi rombongan hanya bertemu Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang. Nishimura menyatakan sekarang Jepang semata-mata hanya alat Sekutu dan harus mematuhi segala perintah Sekutu.

"Mulai pukul satu siang tadi, sejak kami tentara Jepang di Jawa menerima perintah atasan, kami tidak boleh lagi mengubah status quo....Jadi sekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia terpaksa kami larang," kata Nishimura seperti dikutip Hatta dalam Sekitar Proklamasi.

Pernyataan Nishimura membuat Sukarno dan Hatta protes. Jepang dianggap ingkar janji soal kemerdekaan Indonesia.

Hatta yang biasanya tenang tak kuasa meredam emosi. "Apakah itu janji dan perbuatan samurai? Dapatkah samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang jelek? Apakah samurai hanya hebat terhadap orang-orang yang lemah di masa jayanya, tapi hilang semangatnya waktu kalah? Baiklah kami akan berjalan terus, apa juga yang akan terjadi," kata Hatta.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sukarno, Hatta, dan Subardjo

Menjelang tengah malam rombongan kembali ke rumah Maeda. Telah berkumpul di sana sejumlah pemuda dan anggota PPKI. Atas kesepakatan bersama, diputuskan malam itu bakal tetap dibikin rumusan proklamasi kemerdekaan meski tanpa izin pemerintah Jepang.

Sukarno, Hatta, dan Soebardjo kemudian beranjak ke ruang makan. Di ruang itu, sekitar pukul 02.00 mereka bertiga berembuk dan memikirkan kalimat yang harus ditulis untuk menggambarkan kemerdekaan. 

"Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir lengkap," kata Sukarno seperti dikutip Hatta dalam memoarnya.

"Apabila aku mesti memikirkan, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan," jawab Hatta.

Versi cerita berbeda datang dari Subardjo. Sukarno bertanya ke Subardjo, "Masih ingatkah Saudara teks dari Pembukaan Undang-undang Dasar kita?"

Subardjo adalah teman Hatta sejak masa sekolah di Belanda dan menteri luar negeri RI yang pertama.

"Ya, masih ingat tapi tidak seluruhnya," balas Subardjo seperti diungkap kembali dalam buku Lahirnja Republik Indonesia. Ia pun kemudian mendiktekan ke Sukarno.

Akhirnya, disepakati kalimat pertama itu berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Namun, Hatta menganggap, kalimat itu kurang memadai. Harus juga disusupkan soal "cara menyelenggarakan" revolusi nasional.

Maka, Hatta mendiktekan kalimat berikut: "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Naskah itu awalnya diberi judul "Maklumat Kemerdekaan". Namun dengan pertimbangan bahwa maklumat itu merupakan suatu keputusan dari suatu badan atau pemerintahan, maka diganti dengan kata-kata yang lebih mencerminkan keputusan suatu bangsa yang menyatakan kebebasan dari penindasan penjajah.

"Maka teks itu diubah judulnya menjadi 'Proklamasi'," ungkap pemandu Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Ari Suriyanto, kepada Liputan6.com. Rumah Maeda kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Dalam perumusan naskah, Sukarno berulang kali berjalan bolak-balik ke ruangan, sementara puluhan orang lain menunggu di halaman dan ruangan tengah kediaman Maeda.

Hampir 2 jam naskah itu akhirnya selesai. Ada beberapa coretan dalam naskah tulisan tangan Soekarno itu. Pertama, kata 'penjerahan' diganti dengan 'pemindahan'.

"Kata penyerahan, berarti ada pemberian dari Jepang ke Indonesia. Sementara Indonesia merdeka tanpa bantuan Jepang," jelas Ari.

Lalu ada kata 'dioesahakan' juga digantikan dengan kata 'diselenggarakan'. Tentu maksudnya agar kekuasaan pemerintahan dan hal-hal lain dilakukan dengan segera setelah kemerdekaan.

3 dari 3 halaman

Pengetikan dan Perubahan Naskah

Selesai merumuskan dan menyusun teks proklamasi, Sukarno membawa dan membacakan kepada seluruh orang di ruang depan. Sukarno membacakan berulang-ulang dan pelan-pelan.

"Keadaan yang mendesak telah memaksa kita mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing," ucap Sukarno.

Para hadirin pun kompak menyatakan setuju. "Sukarno kemudian memerintahkan Sayuti Melik mengetik teks Proklamasi," ujar Ari.

Namun, karena ketiadaan mesin tik di rumah itu, asisten Maeda bernama Satzuki Mishima pergi ke kantor perwakilan militer Jerman untuk meminjam mesin tik. Dengan mesin itulah Sayuti mengetik teks Proklamasi di sebuah ruangan dekat dapur. Pengetikan ditemani BM Diah, jurnalis dan tokoh pemuda.

Di ruang pengetikan Sayuti mengganti kata 'tempoh' menjadi 'tempo'. Atas usul Sukarno dan Hatta juga, Sayuti mengganti kalimat 'wakil-wakil bangsa Indonesia' menjadi 'atas nama bangsa Indonesia'.

Kelar diketik, Sayuti meletakkan naskah asli tulisan tangan Sukarno begitu saja yang kemudian diambil oleh BM Diah. "Tapi ada versi lain yang menyebut, setelah diketik, Sayuti Melik meremas-remas naskah asli itu dan dibuang ke tempat sampah. Kemudian diambil oleh BM Diah," kata Ari.

Sukarno membawa naskah ketikan itu ke ruang depan. Di sana, Sukarno mengusulkan semua yang hadir untuk bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil bangsa Indonesia. Usul itu didukung Hatta dengan mencontoh Declaration of Independence ala Amerika Serikat.

Mereka yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Sukarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Mohamad Amir, Boentaran Martoatmodjo, I Goesti Ketut Poedja, A Abbas, Iwa Kusumasumantri, Johanes Latoeharharry, Ki Bagoes Hadji Hadikoesoemo, Teukoe Moehammad Hasan, Ki Hadjar Dewantara, Otto Iskandardinata, K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, Soetardjo Kartohadikusumo, R. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, G.S.S.J. Ratulangi, BM Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, Sayuti Melik, Anang Abdoel Hamidhan, Andi Pangerang, Andi Sultan Daeng Radja, Semaun Bakry, Soediro, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Samsi Sastrowidagdo.

Adalah tokoh pemuda, Sukarni, yang mengusulkan agar penandatanganan cukup dilakukan oleh 2 orang. "Bukan kita semua yang harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta," kata Sukarni seperti dikutip Hatta dalam Sekitar Proklamasi.

Usul Sukarni akhirnya diterima. Sukarno dan Hatta pun membubuhkan tanda tangan pada naskah, yang diketik Sayuti Melik, di atas sebuah piano.

Usai penandatanganan, mereka yang hadir masih terlibat pembicaraan, khususnya tentang lokasi teks Proklamasi akan dibacakan yang kemudian disepakati dilakukan di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta.

Sebelum meninggalkan rumah Maeda, Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Menjelang fajar, Jumat 17 Agustus 1945, pertemuan berakhir. Para hadirin kembali ke rumah masing-masing. Semua menunggu sejarah yang ditorehkan beberapa jam ke depan. (Ado/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.