Sukses

2 Alat Bukti Kejati DKI untuk Jadikan Dahlan Iskan Tersangka

Dahlan Iskan resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pengadaan dan Pembangunan Gardu Induk PLN.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Dirut PT PLN Persero Dahlan Iskan resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pengadaan dan Pembangunan Gardu Induk (GI) di Unit Induk Pembangkit Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Usai memeriksa Dahlan selama 5,5 jam, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Adi Toegarisman menyatakan, ada 2 alat bukti yang ditemukan penyidik dalam menetapkan Dahlan sebagai tersangka. Yaitu dokumen dan keterangan saksi lainnya yang mengindikasikan mantan Menteri BUMN era Presiden SBY itu terlibat tindak pidana korupsi dengan total kerugian negara Rp 1 triliun.

"2 alat buktinya adalah dokumen terkait serta keterangan para saksi," kata Adi di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kuningan, Jakarta Timur, Jumat (5/6/2015).

Dahlan ditetapkan sebagai tersangka karena selaku Kuasa Pengguna Anggaran, semestinya ia mengetahui dalam proyek pembangunan sistem multiyears, tanah yang dijadikan lokasi pembangunan harus berstatus tanah bebas. Namun pada kenyataannya, tanah tersebut statusnya belum jelas.

"Pertama, PLN mengajukan pencairan dana untuk membayar kontrak multiyears ke Kemenkeu (Kementerian Keuangan) namun ditolak karena saat ditanya soal tanah, tanahnya belum siap. Kedua, PLN mengajukan lagi tetapi ditolak lagi. Pada ketiga, Menkeu menandatangani kontrak multiyears karena dikatakan tanah sudah siap. Tapi dalam perjalanannya, proses ini mandek karena tanahnya bermasalah," kata Adi.

Selain itu, sistem pembayaran proyek kepada perusahaan kontraktor dinilai menyalahi peraturan dengan yang menggunakan material concept. Penyidik mengategorikan pembangunan gardu merupakan pekerjaan konstruksi, sehingga pembayaran kepada rekanannya sesuai dengan seberapa jauh gardu tersebut selesai dibangun. Nyatanya, PLN membayar rekanan di muka dengan alasan memberikan uang untuk modal rekanan membeli bahan-bahan material.

"Terhadap proyek ini kami nilai pembangunan konstruksi, bukan pengadaan barang. Jadi pembayarannya berdasarkan seselesainya pekerjaan, bukan saat pembelian material. Itu bertentangan dengan Keppres," tegas Adi. (Mut/Mvi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini