Sukses

Luka Batin Seumur Hidup

Trauma pada anak sulit sembuh seumur hidup. Dampak paling ekstrem adalah trauma psikologis atau luka batin.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah ramai menjadi isu publik, kasus penelantaran anak yang dilakukan pasangan UP dan NS terungkap dan terus menjadi perhatian publik. Kementerian Sosial melaporkan, saat ini terdapat 4,1 juta anak terlantar dan 5.900 di antaranya mengalami hal yang sama dengan lima anak di Cibubur yaitu LA (10), CK (10),  D (8), A (5), dan DI (4).

Mengamati kasus tersebut, psikolog dan dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie, M.Psi. mengatakan, hal ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak lantaran trauma pada anak sulit sembuh seumur hidup.

"Dampak paling ekstrem adalah trauma psikologis atau biasa kita sebut luka batin. Mereka bisa mengalami trauma ini seumur hidup karena proses tumbuh kembang pembentukan karakter ada pada usia 0-12 tahun," kata Efnie saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Senin (25/5/2015).

Berbeda dengan orang dewasa yang bisa pulih dengan self therapy, menurut Efnie, proses terapi pada anak jauh lebih rumit karena harus disesuaikan dengan usia si kecil. Misalnya terapi untuk merilis emosi negatif bisa dilakukan melalui cerita, gambar, warna dan sebagainya mengingat trauma terjadi karena pengalaman buruk yang membekas di memorinya.

"Untuk terapi biasanya dilakukan selama 2-3 bulan. Setelah itu, emosi negatif bisa muncul dalam bentuk mimpi sambil teriak-teriak dan menangis, murung hingga nafsu makan berkurang," katanya.

Kendati demikian, Efnie mengatakan, penyembuhkan trauma psikologis akan terasa percuma bila tidak ada dukungan baik dari pihak keluarga atau masyarakat terdekat. Sebab ketika terapi ini berjalan mulus, lingkungan yang buruk akan menjadi pencetus trauma ini kembali muncul.

"Anak-anak ditelantarkan atau ditolak orangtuanya itu masalah klasik. Sejak lama anak-anak di Indonesia yang kurang beruntung (terlantar) ini ada. Mestinya ini menjadi tanggung jawab bersama," katanya.

Efnie menambahkan, analogi anak itu ibarat buah sedangkan orangtua itu pohon. Artinya, untuk mengantisipasi penelantaran anak harus ada pre-education of parents.

"Jika paradigma berpikir orangtua sudah baik dengan tidak memanjakannya, tidak melakukan kekerasan atau bahkan menelantarkannya. Hal ini bisa menjadi bekal informasi yang tepat dan treatment mereka sebagai penerus bangsa," tukasnya.

Menurut Efnie, banyak program rangsangan (stimulasi) yang bisa diberikan dalam perkembangan anak. Namun yang sangat penting diperhatikan apakah program tersebut tepat untuk anak. Tidak jarang program stimulasi justru memicu stres anak. Jadi dalam memberi stimulasi pastikan sesuai dengan usia anak agar mereduksi efek stres.

Selanjutnya: Kenali Pemicu...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kenali Pemicu


Kenali Pemicu

Ada banyak pemicu dalam kasus penelantaran anak, seperti yang dilakukan pasangan UP dan NS di Cibubur. Bisa karena mereka mengalami gangguan psikologis hingga gangguan jiwa.

Psikolog dan dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie, M.Psi, menilai, ada beberapa pemicu yang melatarbelakangi berubahnya kepribadian orang dewasa yang tega menelantarkan anaknya, seperti misalnya mengalami gangguan kepribadian atau yang lebih ekstrem gangguan jiwa (schizofrenia), di bawah pengaruh obat-obatan adiktif atau karena pengaruh tumbuh kembang di masa kecil.

"Gangguan psikologis (psychological disorders) itu ada banyak jenisnya, salah satunya mungkin karena kurang kasih sayang. Dia menganggap hidup itu keras sehingga tanpa disadari, cara didiknya menjadi keras pada anak," katanya.

Jika sudah mengetahui pemicunya, kata Efnie, orangtua yang bersangkutan perlu melakukan terapi, misalnya dengan self healing therapy, meditasi atau mindfulness therapy.

"Kita lihat dulu pemicunya, kalau misalkan dia skizofrenia, maka dengan psikoterapi saja bisa pulih 50-60 persen. Namun bila dia mengalami gangguan kepribadian, emosinya labil atau disebut gangguan afektif kemungkinan pulih bisa sampai 70-80 persen. Selebihnya, mereka yang tumbuh dengan kurang kasih sayang, pemulihannya tergantung seberapa besar trauma yang mereka hadapi," kata Efnie.

Mirisnya, isu penelantaran anak ini ternyata tak hanya ditemukan di kota besar. Berdasarkan pengalaman pribadi Efnie, dia menemukan banyak orangtua yang kasar pada anaknya di daerah Indonesia Timur seperti Ambon dan Papua.

"Habit (kebiasaan) orangtua ini yang harus kita putus. Orangtua harus tahu nilai-nilai mendidik anak. Jika tidak benar, bayangkan anak akan menjadi pribadi yang keras dan bisa membuat kebijakan menyimpang bila dia harus mengontrol negara atau saat menjadi pejabat," ungkapnya.

"Kuncinya, analogikan anak sebagai buah dan orangtua itu pohon. Artinya, untuk menganstisipasi penelantaran anak perlu ada pre-education of parents," kata dia. "Jadi paradigma berpikir orangtua sudah baik, dengan tidak memanjakan anak secara berlebihan. (Sebaliknya) setiap kali meminta sesuatu kemudian dia menangis dan langsung diberi, dia akan belajar menjadi pribadi yang tidak sabar, sulit mengendalikan diri dan egois."

Selanjutnya: Terjadi di Mana-mana...

3 dari 4 halaman

Terjadi di Mana-mana

Terjadi di Mana-mana

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengatakan kasus penelantaran di Cibubur merupakan salah satu contoh penelantaran anak yang disebabkan orang tua dan hal itu jamak terjadi.

"Pada dasarnya, penanggung jawab pertama dan utama dari pengasuhan dan perawatan anak adalah orangtua sendiri. Namun dalam sebagian besar kasus penelantaran, pelaku penelantaran justru orangtua atau keluarga dekat, sehingga pihak lain dalam hal ini masyarakat dan negara menjadi penanggung jawab berikut," kata Ledia lewat keterangan persnya yang diterima di Jakarta, ditulis Jumat (22/5/2015).

Lebih lanjut dikatakannya peristiwa penelantaran anak yang terjadi di Cibubur merupakan satu dari jutaan kasus penelantaran anak yang terjadi di Tanah Air. Mengacu pada data dari Kementerian Sosial, hingga 2014 ada lebih dari empat juta anak terlantar di Indonesia.

"Maka, negara dan masyarakat bertanggung jawab bersama dalam melindungi anak," kata dia.

Ledia mengimbau pemerintah, dalam hal ini kementerian atau lembaga terkait seperti Kemensos, KPAI dan P2TP2K, untuk aktif melakukan penguatan jaringan dengan perwakilan masyarakat seperti kelurahan, RW hingga RT, ormas, LSM dan yayasan sosial. Tujuannya agar masyarakat memahami apa dan bagaimana bertindak bila di wilayah mereka ditengarai ada kasus-kasus penelantaran anak.

"Warga harus disadarkan untuk proaktif mencegah kekerasan pada anak tanpa melanggar hak privasi keluarga. Untuk itu, bisa dibuat sebuah sosialisasi mengenai upaya pencegahan kekerasan dan perlindungan anak. Jangan sampai karena terlambat ada tindakan akhirnya anak yang menjadi korbannya," kata politisi PKS ini.

Di dalam ketentuan Nomor 6 UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014 disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Di sisi lain, penelantaran anak ini menurut ketentuan No 15a di UU yang sama merupakan bagian dari tindak kekerasan pada anak.

Ledia mengingatkan bahwa bentuk-bentuk penelantaran anak sesungguhnya sangat banyak dan memiliki beragam alasan mulai dari ekonomi, sosial, hingga pada kasus terakhir yang sedang ramai diberitakan karena penyalahgunaan narkoba.

"Anak korban perdagangan manusia, anak yang ditinggalkan atau dibuang, anak jalanan, anak yang diasuh orang tua tetapi tidak mendapatkan perawatan atau pengasuhan yang layak sudah masuk kategori penelantaran, hanya saja banyak yang tidak terekspos atau terlewat dari penanggulangan sebab masyarakat masih enggan terlibat aktif karena khawatir dianggap ikut campur urusan orang lain," kata legislator perempuan di komisi urusan agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini.

Selanjutnya: Manfaat Positif Pemberitaan....

4 dari 4 halaman

Manfaat Positif Pemberitaan

Manfaat Positif Pemberitaan

Psikolog dari Klinik Terpadu Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Pela 9, Jane Cindy mengatakan pemberitaan di media tentang kasus penelantaran anak dapat menjadi contoh dan pelajaran bagi orangtua lainnya.

"Orangtua lain akan lebih memahami dampak psikologis terhadap anak korban penelantaran sehingga mereka tidak melakukan hal itu," kata Jane Cindy seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Sabtu (23/5/2015).

Saat ditanya apakah pemberitaan yang masif mengenai kasus tersebut bisa berdampak psikologis kepada anak-anak korban penelantaran, Cindy mengatakan hal itu tidak akan menimbulkan dampak negatif selama identitas korban tidak diungkap.

Menurut Cindy, bila media secara gamblang menulis identitas anak korban penelantaran, mereka bisa semakin menarik diri dari lingkungan karena merasa malu permasalahannya diketahui publik.

"Bila media membuka identitas korban, juga dapat memicu gangguan atau 'bullying' terhadap mereka. 'Bullying' dapat terjadi secara verbal misalnya diejek teman-temannya yang melabel sebagai 'anak buangan'," tuturnya.

Karena itu, Cindy berharap media massa memberitakan kasus tersebut sesuai dengan kaidah kode etik jurnalistik, yaitu tidak mengungkapkan identitas pelaku dan korban kejahatan yang masih di bawah umur.

Sebelumnya, petugas gabungan Polda Metro Jaya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Sosial menggerebek sebuah rumah di kawasan Cibubur Jakarta Timur, Kamis (14/5).

Petugas mengamankan Utomo Permono dan Nurindria Sari terkait dugaan penelantaran terhadap lima anaknya. Dalam penggerebekan tersebut, petugas gabungan menyelamatkan kelima anak pasangan tersebut dan menemukan 0,85 gram sabu-sabu.

Polisi telah menetapkan pasangan tersebut sebagai tersangka atas dugaan kepemilikan sabu-sabu berdasarkan Pasal 112 dan 114 Subsider Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara.

Maraknya pemberitaan media tentang kasus prostitusi, penelantaran anak serta penyalahgunaan narkoba belakangan ini membuat Wali Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) Jimmy F. Eman juga angkat bicara. Ia menekankan pentingnya peran orangtua dalam memberikan tanggung jawab, pemahaman yang baik dan benar serta bagaimana semestinya menjalani kehidupan sehari-hari tanpa melanggar norma-norma umum yang bermuara pada pembentukan karakter anak. Hal tersebut beliau sampaikan dalam rakor peningkatan kualitas anak dan perempuan di Tomohon, Minggu (24/5/2015).

"Keluarga merupakan kelompok terkecil yang sangat memegang peranan memberikan pendidikan mendasar bagi masa depan anak-anak," kata walikota.

"Pendidikan dan pembentukan karakter anak juga tidak bisa dipisahkan dengan pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender dan perlindungan anak. Ini satu kesatuan dalam proses pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas," lanjutnya.

WaliKota yang akan mengakhiri masa jabatan Januari 2015 ini menambahkan, peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu tujuan penting dalam pembangunan berbasis gender, karena kualitas hidup perempuan yang optimal pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas generasi mendatang.

Hal ini dapat diartikan bahwa kualitas hidup perempuan sangat menentukan kondisi anak-anak yang dilahirkan terhadap tumbuh kembang anak, baik fisik maupun intelegensinya.

"Butuh sinkronisasi dan sinergi antarbidang pembangunan sehingga mampu mencapai berbagai sasaran yang diinginkan," katanya.

Sebab, kata dia, pada hakikatnya untuk mencapai keberhasilan pembangunan di setiap bidang tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait, sehingga memunculkan pembangunan yang telah tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional maupun daerah. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini