Sukses

Living in Tengger 2

Bagi orang Tengger, Gunung Bromo bukan hanya tanah kelahiran, Bromo adalah napas kehidupan yang senantiasa menghormati alam.

Liputan6.com, Jakarta - Setitik surga terhampar di lereng Gunung Bromo, Jawa Timur. Bentang alam di mana harmoni hidup begitu dijaga. Dalam dekapan dingin pagi, aku susuri setiap jengkal keindahan Bromo. Tak hanya disambut keramahan warga Suku Tengger, seekor elang Jawa turut mengiringi perjalananku.

"Kawasan Bromo juga menjadi habitat bagi satwa yang hampir punah, sepertinya saya melihat elang hitam," ujar Ami.

Memahami Bromo tak bisa lepas dari denyut kehidupan Suku Tengger. Bagi orang Tengger, Bromo bukan hanya tanah kelahiran, Bromo adalah napas kehidupan. Kehidupan yang senantiasa menghormati alam.

Mencoba mendalami kehidupan warga Tengger, Aku menemui Pak Yoyo. Ia menjadi contoh bagaimana orang luar bisa hidup berdampingan dengan warga Tengger.

Bagi warga Tengger, bertani bukan sekadar profesi. Bertani menjadi bentuk kepatuhan kepada ajaran leluhur, welas asih pepitu. Salah satu ajarannya cinta kasih kepada tumbuh-tumbuhan. Warga Tengger percaya hidup harmoni dengan alam menjadi kunci. Merusak alam sama artinya membinasakan diri sendiri.

Suku Tengger di Bromo diyakini sebagai keturunan orang-orang Majapahit, yang menyingkir saat Majapahit mengalami kemunduran ketika menyebarnya agama Islam.

Disebut Tengger karena berasal dari keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, suami istri yang dipercaya sebagai keturunan Brahmana dan mendapat amanat dari sang Hyang Widhi Wasa untuk mendiami dan meneruskan keturunannya di wilayah Tengger.  

Orang Tengger mayoritas hidup dari bercocok tanam, seperti sayuran kentang, kubis, bawang frey, dan jagung. Mereka menganut agama Hindu, namun menurut keputusan Parisada Hindu Dharma, mereka memeluk agama Budha Mahayana.

Mereka tidak memiliki candi-candi, namun peribadatan diadakan di poten, punden-punden atau danyang. Sifat masyarakatnya cenderung tertutup, karena untuk menjaga garis keturunan Majapahit.

Secara turun-temurun mereka bekerja dan bermukim di wilayah Tengger dan jarang yang keluar dari wilayah Tengger. Kekerabatannya sangat erat dan mereka memelihara tradisi, aturan adat maupun petuah-petuah secara lisan secara turun-temurun.

Upacara entas-entas dilaksanakan oleh masyarakat Tengger untuk mensucikan roh-roh orang yang telah meninggal, yang dilakukan pada hari ke-1.000, agar roh-roh tersebut dapat masuk surga. Ada serangkaian tahapan dalam upacara ini yaitu; ngresik, mbeduduk (menempatkan boneka petra di altar), rakan tawang (mengundang leluhur untuk ditempatkan di petra),
nanten (keluarga berkumpul dan menghaturkan doa yang dipimpin dukun pemangku), merniti (menyiapkan dan menata petra dibawah untuk diswargakan), penutupan (mengantarkan ke danyang dan wayon).

Ketika upacara, roh-roh orang yang sudah meninggal disimbolkan dengan serupa boneka yang dinamakan petra. Petra dibuat dari dedaunan serta bunga, diberi pakaian wanita maupun pria dan selanjutnya ditempatkan di altar Balai Kulon untuk disucikan pemangku adat (dukun).

Upacara dilengkapi dengan sandingan (sesaji) sesuai ketentuan. Lalu setelah dimantrai dan didoakan keluarga dan dukun pandita, petra-petra tersebut dibawa ke Danyang untuk dibakar di tungku yang disediakan sebagai simbol bahwa api akan mengantarkan roh-roh itu menuju surga melalui asapnya.

Ajaran petunjuk keharmonisan dan kelestarian suku Tengger yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai perbuatan), setya samaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggung jawab terhadap tugas), setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan).

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Tengger berpegang kepada pralima kawruh budha, yaitu prasaja (sederhana), prayoga (menunaikan kebajikan), pranata (taat pada penguasa), prasetya (setia pada janji dan bertanggungjawab) dan prayitna (selalu waspada).

Ajaran lain dari sesepuh disebut ajaran welas asih pepitu adalah cinta kasih kepada hong pukulun (Sang Pencipta), cinta kasih kepada ibu pertiwi (bumi dan tanah), bapa biyung (orangtua), jiwa raga (jasmani dan rohani), sapadha-padhane ngahurip (sesama makhluk hidup), sato kewan (binatang piaraan), dan tundur tuwuh (tanaman).

Bagaimana kehidupan suku Tengger di Bromo selengkapnya? saksikan Potret Menembus Batas SCTV, Senin (26/1/2015), di bawah ini. (Dan/Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini