Sukses

Dampak Psikologi Keluarga Bila Melihat Jenazah Korban AirAsia

Kemauan besar keluarga korban melihat jenazah penumpang AirAsia QZ8501 tak bisa dikabulkan Tim DVI Polri.

Liputan6.com, Surabaya - Kemauan besar keluarga korban melihat jenazah penumpang AirAsia QZ8501 tak bisa dikabulkan Tim DVI Polri. Keluarga korban tak diizinkan melihat langsung jenazah sebelum dinyatakan Tim DVI Polri telah teridentifikasi antara data antemortem dan postmortem.

Larangan Tim DVI Polri itu didukung Humas Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Surabaya (PDSKJI) dr Hendro Riyanto. Ia mengatakan, untuk melihat jenazah korban AirAsia diperlukan mental lebih dibandingkan melihat jenazah biasa.

"Berani nggak melihat jenazah yang tidak utuh? Artinya itu perlu kesiapan mental," kata Hendro di Posko Crisis Center Polda Jawa Timur, Senin (5/1/2014).

Kemudian, menurut Hendro, meski mental keluarga korban kuat biasanya akan berdampak negatif juga. Dampaknya tidak main-main, karena memori tentang penglihatan kondisi jenazah korban sulit dihapus.

"Hal itu membawa efek psikologi yang negatif. Contohnya, terbayang-bayang dan efek ini tergantung pada kedekatan keluarga korban. Semakin dekat, akan semakin mengakibatkan efek buruk tadi. Sebab nantinya sesudah melihat akan terbayang terus kondisi korban akibat memori kita tidak bisa dihapus," beber Hendro.

"Maka saya tidak menganjurkan melihat jenazah, cukup melihat fotonya," tambah Hendro.

>>Menghantui>>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menghantui

Menghantui

Hendro menegaskan, aturan tim DVI polri melakukan pelarangan keluarga melihat korban juga sudah melalui riset panjang dan koordinasi dengan berbagai ahli. Efek terburuk besar kemungkinan terjadi. Jika tak kuat mental, keluarga yang melihat jenazah, bisa terus dihantui mimpi buruk sepanjang hidupnya. Pemulihannya pun terbilang sulit.

"Nightmare atau mimpi buruk, cemas, ketakutan, bengong secara berkala, juga setelah itu bisa sampai terbangun dan berteriak-teriak dan kelanjutannya bisa sampai stres. Hal itu biasa disebut PTSD atau Pasca Trauma Stress Disorder," ucap Hendro.

"Efek lain lagi, phobia. Bisa saja dia tidak mau naik pesawat, mendengar apapun info tentang seperti nama maskapai atau lain sebagainya. Hal itu disebut traumatik psikologis," imbuh dia.

Untuk itu, saat ini pihaknya tengah aktif mendampingi keluarga korban. Sampai saat ini, menurut Hendro, psikologis dari keluarga korban masih stabil. "Psikoterapi akan dilakukan, jika muncul PTSD maka kita akan berikan pendampingan sampai rawat jalan dan diberikan obat," tegas Hendro.

Kapusdokkes Polri Brigjen Pol dr Arthur Tampi menjelaskan, kondisi jenazah kini sudah sulit dilihat secara visual. Air laut membuat jenazah rusak. Meski begitu, pihaknya optimistis bisa mengenali korban dengan data primer. Yaitu mulai sidik jari, sidik gigi dan terakhir DNA. Kekhawatiran soal jenazah tidak lagi bisa dibaca oleh data primer pun dibantah Arthur.

"Ada yang lebih ahli DNA. Yang kita cari intisel, kalau jaringan sudah rusak, kita bisa dapatkan dari sumsum tulang. Dari situ nanti di rekonsiliasi teridentifikasi atau tidaknya. Tapi semakin hari, temuan jenazah kondisi semakin rusak memang," jelas Arthur.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.