Sukses

Syafiuddin, Hakim Spesialis Kasus Berat

Syafiuddin tercatat sebagai hakim agung yang kerap menolak permohonan kasasi sejumlah kasus korupsi orng-orang terkenal. Mantan calon Ketua MA ini bukanlah orang yang gemar mencari musuh.

Liputan6.com, Jakarta: Bukan tanpa sebab Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita menerima penghargaan bintang Satya Lencana Karya Sewindu (1996) dan Bintang Mahaputera Utama (1999). Hakim agung senior ini pernah menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum 1999. Syafiuddin, 60 tahun, yang sempat difavoritkan menjadi Ketua Umum MA ini kerap pula menangani kasus-kasus kelas kakap.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini tercatat menjadi pimpinan majelis hakim dalam kasasi bekas Presiden Soeharto, kasasi Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, kasasi Bob Hasan, dan kasasi Joko S. Tjandra dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank Bali. Almarhum juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengadilan Ad Hoc untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang rencananya akan bersidang pada Agustus mendatang.

Soimah, istri Syafiuddin berpendapat suaminya adalah orang yang sangat pendiam, pandai bersosialisasi dengan siapa saja, dan senang bercanda. Sifat-sifat itulah yang membuat dia tak percaya kalau suaminya punya musuh. "Bapak itu sangat pendiam. Dia tidak terlalu suka bicara banyak. Memang sesekali saya suka mendengar keluhan Bapak kalau dia sangat lelah menjadi Hakim Agung yang dibebani berbagai perkara sulit," kata dia.

Syafiuddin selama ini dikenal sebagai hakim agung yang bersih serta tegas terhadap koruptor. Hakim Agung Sunu Wahadi mengatakan, beberapa waktu silam Syafiuddin pernah mengatakan ditawari uang sebesar Rp 20 miliar berkaitan dengan satu kasus korupsi yang ditanganinya. Namun, Syafiuddin tak menanggapinya.

Dalam kasus korupsi dengan terdakwa bekas Presiden Soeharto, Syafiuddin Kartasasmita duduk sebagai Ketua Majelis Hakim Agung dengan anggota, Sunu Wahadi, dan Artidjo Alkostar, memutuskan untuk melepaskan status mantan penguasa Orde Baru itu sebagai tahanan kota, awal Februari silam. Selain menyatakan menerima kasasi terdakwa, majelis hakim agung juga memerintahkan jaksa untuk mengobati terdakwa Soeharto hingga sembuh atas biaya negara. Setelah dinyatakan sembuh, majelis memerintahkan Soeharto dihadapkan kembali ke persidangan. Putusan MA ini adalah perbaikan putusan sebelum di tingkat peradilan pertama dan peradilan banding.

Sebelumnya kejaksaan mengajukan Soeharto sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi dalam pengumpulan dana yayasan yang dipimpinnya selama menjabat presiden. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Lalu Mariyun, 28 September 2000 silam, menolak perkara itu dan menghapuskan dari register perkara. Keputusan itu diambil setelah dalam tiga kali sidang hakim mendengar keterangan tim dokter yang berbeda, yang menyatakan Soeharto sakit permanen. Jaksa pun mengajukan kasasi terhadap putusan itu.

Syafiuddin juga yang mengantarkan Tommy Soeharto menjadi terhukum saat Majelis hakim agung yang dipimpinnya memvonis putra bungsu mantan Presiden Soeharto dan Direktur Utama PT Goro Ricardo Gelael dengan 18 bulan penjara, September tahun silam. Hukuman keduanya lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut dua tahun penjara.

Keduanya dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus tukar guling tanah milik Badan Usaha Logistik di Kelapa Gading dengan PT Goro Batara Sakti. Kasus itu dinilai telah merugikan negara sebesar Rp 96,6 miliar. Selain dihukum 18 bulan penjara, Tommy dan Ricardo harus membayar denda masing-masing sebesar Rp 10 juta. Untuk mengganti kerugian negara, keduanya harus membayar sejumlah uang sesuai dengan bukti kerugian negara.

Menanggapi putusan MA itu, Tommy dan Ricardo menyikapinya secara berbeda. Ricardo langsung menyatakan menyesal dan mengakui salah dan kemudian mengajukan grasi. Sedangkan Tommy, tanpa mengakui salah, juga memohon grasi sekaligus peninjauan kembali. Presiden Abdurrahman Wahid menolak grasi keduanya. Tak cuma itu, Tommy malah menghindar dari eksekusi hukuman setelah berbagai upayanya tidak membuahkan hasil. Kejaksaan mengumumkan Tommy dalam status daftar Pencarian Orang atau Buron pada November tahun silam.

Soimah, istri almarhum, mengatakan suaminya pernah mengaku bahwa kasus kasasi Tommy Soeharto-lah yang menjadi kasus terberat dari semua kasus yang pernah ditangani. "Kasus Tommy-lah yang suka dikeluhkan Bapak. Bapak suka mengeluh capek menangani kasus itu," ujar Soimah.

Syafiuddin pula yang menolak permohonan kasasi mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Bob Hasan. Syafiuddin yang memimpin Majelis hakim agung dengan anggota Said Harahap dan Sukirno membenarkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menghukum Bob Hasan selama enam tahun penjara. Cuma, kualifikasi putusan itu diubah dan diperbaiki oleh MA.

Bob Hasan dinyatakan bersalah melakukan korupsi dalam proyek pemotretan dan pemetaan hutan lindung yang dilakukan PT Mappindo Parama. Majelis hakim PT DKI Jakarta yang dipimpin I Gde Sudharta, selain menghukum Bob Hasan selama enam tahun, juga menghukum denda Rp 15 juta serta harus membayar ganti rugi keuangan negara sebesar US$ 243 juta. Putusan ini yang dikuatkan MA. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia almarhum Baharuddin Lopa memindahkan Bob Hasan ke Nusakambangan.

Menurut Ketua Umum MA Bagir Manan, Majelis Hakim Agung semula merencanakan hukuman untuk Bob Hasan lebih dari enam tahun penjara. Karena pertimbangan kemanusian, apalagi mantan Menperindag itu sudah berumur 70 tahun, kata Bagir menirukan ucapan almarhum, akhirnya yafiuddin menguatkan vonis PT DKI Jakarta menghukum Bob Hasan enam tahun penjara.

Tuduhan paling menyesakkan bagi Syafiuddin adalah ketika Komisi Ombudsman menduga dia menerima uang sebesar Rp 20 miliar karena menolak menjadi pimpinan sidang kasus Joko Tjandra. Kepada istrinya, Syafiuddin mengatakan tuduhan itu sebagai fitnah yang sangat keji. Komisi itu menduga dia menerima uang itu karena menolak menjadi pimpinan sidang kasus Joko Tjandra. Bos PT Era Giat Prima, yang dituduh terlibat kasus cessie dana Bank Bali, akhir Juni silam divonis bebas oleh majelis hakim agung, yang terdiri Said Harahap, R. Sunu Wahadi, dan Artijo Alkostar.

Dibebaskannya Joko kemudian menimbulkan polemik hebat. Apalagi setelah seorang anggota majelis, yakni Artijo Alkostar, melontarkan perbedaan pandangan Sunu dan Said. Artijo menegaskan Joko layak dihukum 20 tahun penjara karena terbukti korupsi. Sedangkan uang Rp 546 milyar hasil cessie harus disita untuk negara.

Keganjilan sudah dimulai saat Sunu Wahadi ditunjuk sebagai ketua majelis. Ketua Komisi Ombudsman Antonius Sujata berpendapat Sunu bukan orang yang tepat menangani perkara yang berdimensi publik dan bahkan internasional seperti Bank Bali. Alasannya Sunu masih yunior. Apalagi saat itu keputusan hakim itu terjadi dua hari sebelum Sunu memasuki masa pensiun.

Berdasarkan kepatutan yang selama ini berlaku, MA seharusnya menunjuk Ketua Muda Pidana MA atau sekurang-kurangnya ketua majelis senior yang sudah diakui kredibilitas dan kemampuannya. Menurut Antonius, selaku ketua muda pidanaseharusnya Syafiuddin yang tampil menangani kasus ini. Tapi, lantaran menolak menjadi hakim kasus itu, Syafiuddin diduga memperoleh imbalan sebesar Rp 20 miliar.

Tapi dugaan Ombudsman ditepis Ketua MA Bagir Manan. Menurut dia, almarhum menolak untuk menyidangkan perkara itu karena telah mengetahui seluk-beluk dibebaskannya Joko Tjandra oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Menurut Bagir, almarhum melaporkan hal itu ketika berkas perkara Joko Tjandra sampai ke tangannya.

Bagir mengemukakan bahwa almarhum Syafiuddin termasuk orang yang meminta kepada ketua MA agar dilakukan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan yang mencuat sehubungan dengan putusan kasasi perkara Joko S. Tjandra dalam kasus Bank Bali. Menurut Bagir, MA membentuk tim pencari fakta untuk kasus itu dan Syafiuddin sangat antusias. "Kami membentuk tim fact finding dan beliau sangat antusias menghadapi rencana itu," ujar dia.

Mengenai dugaan pembunuhan Syafiuddin berkaitan dengan kedudukannya sebagai ketua tim pembentukan Lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc di MA, Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga membantahnya. Tim ini beranggotakan Benjamin dan Rifyal Ka`bah. Menurut dia, perekrutan hakim Ad Hoc ini baru akan dilakukan 2 Agustus 2001. "Rencananya saya, almarhum, dan Pak Rifyal Ka`bah akan merumuskan rencana pemanggilan 30 hakim-hakim karir maupun nonkarir di sejumlah daerah untuk pelatihan HAM," kata dia.

Tak hanya kasus korupsi yang pernah ditangani Syaifuddin. Dia pernah menjadi pimpinan majelis hakim Agung dalam kasus subversi Partai Rakyat Demokratik, Februrai 1998. Saat itu MA menolak permohonan kasasi yang diajukan terdakwa Budiman Sudjatmiko dan Garda Sembiring. Majelis hakim agung menilai tak ada kesalahan penerapan hukum dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.(HOT)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.