Sukses

Melepas Nenek Moyang ke Habitat

Bagi warga Marory Mensgey, salah satu suku yang mendiami Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, biawak hijau dianggap sebagai nenek moyang. Puluhan biawak hijau yang sempat diselundupkan kini dilepas ke habitatnya.

Liputan6.com, Papua: Keheningan di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, pada suatu hari pecah. Suara gendang dan teriakan manusia membelah lebatnya hutan di sana. Sambil memukul gendang, beberapa orang menari. Ternyata, ada pesta adat yang tengah digelar Suku Marory Mensgey. Mereka tengah menggelar pesta penyambutan kedatangan tamu istimewa, yakni 33 ekor biawak hijau.

Biawak-biawak ini menjadi istimewa mengingat telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, sebelum akhirnya menginjak kembali Bumi Papua. Puluhan biawak ini sempat terdampar di kawasan Eropa Timur, tepatnya di Kroasia. Mereka diselundupkan orang yang tak bertanggung jawab untuk dikoleksi. Jumlah biawak yang diselundupkan sebenarnya sebanyak 50 ekor. Tapi, hanya 33 ekor yang dapat bertahan dari serangan udara dingin di Kroasia.

Bagi Suku Marory yang bermarga biawak atau basik-basik dalam bahasa Papua Marin, biawak hijau dianggap sebagai nenek moyang. Mereka tak pernah berani mengganggu apalagi membunuh biawak hijau yang disakralkan. Mereka menganggap biawak sebagai teman dan kerabat yang harus disayangi.

Suku Marory Mensgey adalah salah satu suku yang berdiam di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua. Meski sudah lebih modern daripada suku lainnya di Papua, berbagai adat istiadat setempat tetap dipertahankan. Mencari dusun adalah suatu kebiasaan Suku Marory yang tak bisa dihilangkan. Dusun bagi Suku Marory adalah sebuah tempat untuk mereka bisa membuka ladang dan mencari makan dengan cara berburu.

Biasanya, mereka harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan wilayah yang tepat membuka dusun. Sambil mencari lahan yang cocok, tak lupa mereka mengumpulkan keperluan membuka dusun. Satu di antaranya pelepah pohon bus. Pelepah tanaman setinggi sekitar 15 meter itu berfungsi buat atap bivak, sebuah rumah khas Suku Marory. Rumah khas ini sangat sederhana. Seluruh bahannya terbuat dari alam. Selain pelepah pohon bus, ada ilalang dan kayu. Meski berbahan alami, rumah Suku Marory ini ternyata kuat berdiri hingga beberapa tahun.

Begitu juga untuk mempertahankan kelangsungan hidup sehari-hari. Seperti suku pedalaman lainnya, Suku Marory mengandalkan kekayaan alam di sekitarnya untuk dijadikan makanan: buah-buahan dan hewan. Bumi Papua memang sangat kaya akan keragaman flora dan fauna. Apalagi, di Taman Nasional Wasur yang luasnya mencapai 413.810 hektare.

Hari itu, keluarga Wilhemnus Gezpe telah menemukan lahan yang cocok untuk dijadikan dusun. Bivak pun telah didirikan. Kini tinggal mencari makanan. Wilhemnus langsung memerintahkan keluarganya mencari bahan pangan. Tak sulit mencari makanan di hutan. Dalam sekejap, setandan pisang didapat untuk disantap bersama. Tapi ada yang kurang lengkap jika tak bersantap daging rusa. Dua anggota keluarga Wilhemnus diutus untuk berburu. Berbekal sepasang panah dan busur, mereka menembus hutan bersama anjing-anjing pemburu.

Namun, hari itu sepertinya mereka sedang sial. Setelah berjalan cukup jauh masuk ke hutan, tanda-tanda munculnya rusa belum tampak. Di tengah rasa putus asa, tiba-tiba terdengar suara lirih babi hutan kecil. Tak mau pulang tangan hampa, babi kecil itu ditangkap. Setidaknya babi kecil itu dapat dipelihara untuk persiapan pesta adat mendatang.

Sejak keluarga Wilhemnus membuka dusun, sejumlah kerabat dekatnya turut berdatangan. Kini, dusun kecil itu berubah menjadi sebuah kampung. Inilah saatnya keahlian bergelut dengan alam diperkenalkan kepada anggota suku yang lebih kecil. Anak-anak mulai belajar memanah--sebuah ketangkasan berburu yang harus dimiliki para pria demi kelangsungan hidup mereka.

Tak hanya anak-anak, pria yang lebih dewasa harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan makanan selama mereka berada di dusun. Menangkap ikan di rawa menjadi salah satu cara mempertahankan hidup di hutan. Salah satu kearifan terhadap kekayaan alam yang membuat Suku Marory tetap bertahan.

Berkumpulnya Suku Marory di dusun kecil ini ternyata tak hanya untuk mencari bahan pangan. Namun, juga untuk merayakan sesuatu. Beberapa waktu yang lalu, mereka mendapat kabar bahwa 33 biawak hijau yang menjadi hewan khas tanah Papua akan dikembalikan ke habitatnya di Taman Nasional Wasur.

Upacara penyambutan disiapkan. Para pemuda dan pemudi mulai sibuk berdandan, berhias diri untuk menghormati tamu yang akan datang. Rombongan Penyelamat Satwa Langka pun tiba. Bersama Polisi kehutanan Taman Nasional Wasur, mereka disambut gembira masyarakat Suku Marory. Sekotak penuh berisi 33 biawak hijau kebanggaan Suku Marory turut serta.

Bagi Suku Marory, inilah saatnya membalas budi kebaikan para penyelamat satwa. Karena tanpa campur tangan mereka, biawak-biawak itu tak akan kembali ke Bumi Cendrawasih. Tarian penyambutan digelar sebagai ungkapan syukur. Para tamu digiring ke tempat terhormat, yaitu sebuah karpet tanaman bus yang dihiasi bunga dan daun-daun simbol khas Suku Marory. Karena berhasil membawa kembali biawak hijau ke Tanah Papua, Suku Marory ingin mengangkat tim penyelamat satwa menjadi anggota kehormatan di dalam suku. Tanda pengangkatan disapukan ke wajah para tim penyelamat. Dengan tanda kehormatan itu, para penyelamat satwa resmi menjadi bagian dari keluarga besar Suku Marory.

Perayaan hari itu tak hanya bagi para penyelamat satwa. Wilhemnus yang juga kepala adat Suku Marory telah menetapkan akan membuat Sasi. Sasi adalah konservasi adat yang telah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun lalu oleh nenek moyang Suku Marory. Tujuan Sasi untuk menjaga agar tak terjadi perburuan liar yang mengorbankan keseimbangan alam.

Ciri khas hutan yang sedang di Sasi adalah adanya sebuah tombak kayu yang telah disucikan. Tombak ini ditancapkan ke tanah dan berfungsi sebagai penjaga hutan. Hukuman Sasi bagi orang yang melanggar bermacam-macam, mulai dari hukuman adat hingga hukuman mati.

Berdasarkan kepercayaan Suku Marory, hukuman Sasi terjadi secara gaib. Roh-roh penjaga hutanlah yang nantinya akan menghukum siapa pun yang melanggar Sasi. Sesuai kesepakatan, Wilhemnus menetapkan Sasi berlaku selama lima tahun. Selama itulah, hutan di sekitar dusun kecil mereka tak boleh diganggu oleh siapa pun.

Perlindungan juga diberikan kepada 33 biawak yang sebagian sudah berada di sebuah kandang. Mereka disucikan agar terlindung dari para pemburu liar. Usai sudah upacara sakral Suku Marory. Mereka berharap, esok hari biawak hijau kebanggaan mereka dapat dilepas kembali ke hutan.

Kini, saatnya salah satu biawak hijau yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan dianggap sehat dilepas kembali ke habitatnya. Dengan hati-hati, Wilhemnus melepaskan sang biawak hijau yang dengan gesitnya langsung berlari menuju pohon tinggi. Rasa haru dan bahagia meliputi Wilhemnus dan tim penyelamat. Mereka berharap, suatu saat nanti anak cucu mereka masih dapat melihat kecantikan biawak hijau.(ORS/Lita Hariyani dan Bambang Triono)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.