Sukses

Rehabilitasi 600 Ribu Hektare Lahan Mangrove Terkendala Rasio Keberhasilan Rendah

Rehabilitasi mangrove perlu perencanaan waktu yang tepat mengingat terdapat periode buah mangrove yang dilanjutkan pembibitan.

Liputan6.com, Jakarta - Mangrove merupakan ekosistem penting untuk mencegah abrasi pantai. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) berencana untuk segera merehabilitasi mangrove seluas 3.548 hektare pada tahun ini setelah anggaran belanja tambahan (ABT) disetujui.

"Di tahun 2022 ini sudah ada persetujuan dari Menteri Keuangan untuk anggaran biaya tambahan rehabilitasi mangrove yang akan dilaksanakan BRGM yang akan dilakukan di lahan seluas 3.548 hektare di sembilan provinsi di Indonesia," ucap Sekretaris BRGM Ayu Dewi Utari dalam konferensi pers di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2022.

Dana rehabilitasi untuk lahan tersebut sebesar Rp73.813.273.000, yang masih berproses sampai saat ini. Ayu mengatakan pihaknya akan segera bergerak karena rehabilitasi mangrove memerlukan perencanaan waktu yang tepat, mengingat terdapat periode buah mangrove yang dilanjutkan pembibitan.

Dia menyebut penanaman akan dilakukan sepanjang Oktober sampai November 2022. Prosesnya memerlukan perlakuan khusus, termasuk mempersiapkan beberapa alat seperti alat pemecah gelombang, untuk memastikan keberhasilan rehabilitasi.

"Kita berharap ABT ini dapat kita operasionalkan paling lambat Agustus ini kita sudah mulai," kata Ayu, memastikan bahwa rehabilitasi dilakukan dengan koordinasi bersama pemangku kepentingan lain seperti KLHK.

BRGM ditargetkan untuk merehabilitasi mangrove di lahan seluas 600.000 hektare dalam kurun waktu 2021-2024 di sembilan provinsi yaitu Riau, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Menurut perhitungan BRGM, jika satuan biaya rehabilitasi mangrove membutuhkan rata-rata Rp25.000.000 per hektare, diperkirakan kebutuhan anggaran untuk rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare sekitar Rp26 triliun.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rasio Keberhasilan Rendah

Meski akan mendapatkan anggaran, memulihkan kawasan atau hutan mangrove yang rusak bukan pekerjaan mudah. Selain perlu pendanaan besar untuk ekosistem pesisir ini, presentase keberhasilannya juga tidak besar.

Catatan BRGM, keberhasilan penanaman mangrove mereka pada 2021 hanya 70 sampai 80 persen. Angka itu pun baru dari hasil evaluasi 13.400 hektare lahan yang mereka tanam, BRGM telah menanam sekitar 34.911 hektare di tahun itu. "Keberhasilan rehabilitasi mangrove itu termasuk rendah," ujar Satyawan Pudyatmoko, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM.

Dari literatur, katanya, keberhasilan rehabilitasi mangrove bahkan biasa hanya 25 persen. Itu pun melewati analisis tahun kedua dan ketiga. Karena itu, rasio keberhasilan penanaman BRGM ini akan diuji lagi tahun berikutnya. "Jadi, kita harus analisis tidak hanya yang di tahun pertama saja," katanya.

Faktor utama yang memengaruhi keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah kondisi alam. Tinggi ombak dan abrasi laut menjadi penentu hidup bibit mangrove yang ditanam. Karena itu, rasio keberhasilan penanaman di beberapa tempat dengan ombak dan abrasi yang tinggi hampir nol persen.

"Jadi di lokasi seperti itu perlu APO (alat pemecah ombak) terlebih dahulu. Kalau langsung tanam ya pasti hilang," jelas Satyawan.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Alih Fungsi Lahan

"Banyak penanaman di pantai timur Sumatra rusak karena kondisi alam. Meski begitu, upaya rehabilitasi mangrove tak boleh menyerah untuk mengimbangi tingkat deforestasi yang terus terjadi di lahan basah ini," lanjutnya.

Per tahun, deforestasi di lahan mangrove mencapai 26.000 hektare. Sebelum ada percepatan, rehabilitasi mangrove selama ini mampu menekan angka deforestasi jadi 12.000 hektare. "Harapannya, dengan ada BRGM bisa membuat deforestasi itu negatif," katanya.

Selain itu, tutupan mangrove sebagian besar hilang akibat alih fungsi lahan menjadi tambak di areal penggunaan lain. "Yang terbanyak adalah (akibat alih fungsi lahan) mangrove menjadi tambak. Jadi, kondisi sekarang mangrove yang menjadi tambak itu ada 631.802 hektare. Di mana terjadinya? Terbanyak di kawasan penggunaan lain," ungkap Satyawan.

Menurut dia, alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak di areal penggunaan lain (APL) mencakup area seluas 393.623 hektare atau 62 persen dari total alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak. Sedangkan di kawasan hutan, lahan mangrove yang berubah fungsi menjadi tambak luasnya 238.179 hektare.

4 dari 4 halaman

Biaya Besar

Satyawan juga mengemukakan bahwa selama periode 2021 sampai 2030 deforestasi mangrove diproyeksikan mencakup areal seluas 299.258 hektare dan alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak merupakan salah satu penyebabnya.  "APL dan tambak itu jadi kunci dalam rehabilitasi mangrove," terangnya. Dia mengatakan, penetapan APL ke dalam fungsi lindung bisa menimbulkan masalah karena akan membatasi hak pemilik lahan mangrove untuk memanfaatkannya.

Menurut dia, diperlukan regulasi mengenai pembagian fungsi lindung dan fungsi budidaya dalam kawasan mangrove. KLHK sedang membahas regulasi mengenai penetapan fungsi kawasan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan, yang juga mencakup pengaturan mekanisme insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan kawasan mangrove.

Tantangan lain dari rehabilitasi mangrove adalah biaya besar. Satyawan menyebut, setidaknya perlu Rp20 juta-Rp25 juta untuk merehabilitasi satu hektar kawasan. BRGM diberikan mandat merehabilitasi 600.000 hektar mangrove di sembilan provinsi sampai 2024.

Terkait pendanaan, setidaknya ada empat sumber pendanaan lain selain APBN yang dinilai bisa membantu percepatan rehabilitasi 600 hektare mangrove sampai 2024. Dana itu dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), dan memanfaatkan mekanisme rehabilitasi daerah aliran sungai oleh para pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.

Juga, bantuan dari swasta hingga pendanaan luar negeri.Khusus pendanaan luar negeri, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) menjadi pihak yang mencarikan dana itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.