Sukses

Seruan Setop Penggunaan Sachet karena Sampahnya Tak Dapat Didaur Ulang dengan Aman dan Berkelanjutan

Seruan Setop Penggunaan Sachet karena Sampahnya Tak Dapat Didaur Ulang dengan Aman dan Berkelanjutan

Liputan6.com, Jakarta - Sampah masih jadi masalah yang harus segera diatasi di Indonesia termasuk sampah sachet atau kemasan. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyerukan untuk penghentian penggunaan sachet karena sampah sachet tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan dan ditemukan mencemari lingkungan, baik di darat maupun di laut.

Hal ini disampaikan dalam Konferensi Pers “Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet” yang dilakukan secara hybrid di All Seasons Jakarta Thamrin dan platform Zoom pada hari Minggu, 17 Juli 2022.

"Melalui kampanye Stop Sachet ini kami mengubah narasi daur ulang sachet menjadi narasi guna ulang dan isi ulang secara signifikan. Selain itu mendorong kepatuhan terhadap kebijakan nasional mengenai konsumsi dan konsumsi plastik oleh produsen," ucap Rahyang Nusantara, selaku Co-Coordinator AZWI, dalam jumpa pers “Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet” yang dilakukan secara hybrid di Jakarta, Minggu (17/7/2022).

Manager Program ECOTON, Dr. Daru Setyorini, menjabarkan sejumlah fakta yang ditemukan dalam Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar sejak awal tahun ini. Daru mengatakan, tim ekspedisi menemukan Sungai Ciliwung yang kini dibanjiri sampah sachet.

Sampah ini diproduksi perusahaan domestik dan global. Seperti diketahui bersama, sachet adalah sampah kemasan plastik fleksibel berukuran kecil yang tidak bisa didaur ulang.

"Kemasan sachet ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai, melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun, mengganggu sistem hormon dan pemicu kanker," terang Daru. "Untuk mengetahui produsen mana yang menjadi top polluters sampah sachet di Sungai Ciliwung, kami melakukan brand audit dan hasilnya menunjukkan Unilever sebagai juara pencemar sachet," lanjuthnya.

Senada dengan Daru, Co-Founder Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menjelaskan bahwa kemasan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya, seperti PFAS, ke makanan. Untuk membuat kemasan tahan cuaca, juga digunakan senyawa-senyawa berbahaya lainnya, seperti UV-328.

"Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Kimia-kimia ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik," jelas Yuyun.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tanggung Jawan Produsen

Tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah sachet sejatinya tak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga produsen. Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.

Sementara itu, Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some mengatakan bahwa sejauh ini tanggung jawab produsen terhadap sampahnya masih minim. "Proses daur ulang oleh Unilever dari sampah rumah tangga sudah tidak berjalan lagi sejak 2019 ditambah Unilever tidak terbuka terkait hal ini, termasuk berapa jangkauan yang sudah bisa didaur ulang. Apakah semua sachet yg dikumpulkan semuanya bisa didaur ulang? tentunya tidak," tanya Hermawan

Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño menyebutkan bahwa beberapa daerah di Indonesia dan Asia pada umumnya memiliki kapasitas terbatas untuk menangani limbah sachet plastik dengan aman dan seringkali memaksa pemerintah daerah untuk memilih opsi penanganan yang sangat berpolusi seperti teknologi insinerasi.

Alhasil penanganan yang diberikan hanya sebatas solusi semu yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah. "Kami meminta perusahaan untuk berhenti memproduksi dan membakar sachet dan sebaliknya berinvestasi secara signifikan dalam sistem penggunaan kembali dan isi ulang," tutup Miko.

3 dari 4 halaman

Dipandang Tak Berharga

Sampah plastik masih jadi sandungan masalah lingkungan di Indonesia, termasuk di Jakarta. Salah satu faktornya adalah nilai dari setiap jenis sampah plastik yang berbeda-beda. Jika botol PET relatif dihargai tinggi, tidak demikian dengan sampah sachet, plastik multilayer, dan botol HDPE bekas.

Ketiga jenis sampah itu kerap dipandang tak berharga. Situasi itu membuat upaya pengumpulan yang jadi salah satu mata rantai terpenting dalam ekonomi sirkular, terhambat. 

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, P&G Indonesia bekerja sama dengan start up Octopus dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta meluncurkan program Concious Living.

Program serupa sudah lebih dulu dijalankan di Bandung dan berhasil mengumpulkan 20 persen sampah lebih banyak dari target awal sejak diluncurkan sejak Oktober 2021, yaitu mencapai 35 ribu ton. Karena itu, P&G meyakini program harus diekspansi ke daerah lain, khususnya DKI Jakarta.

Program Concious Living mendorong masyarakat umum terlibat dalam upaya pemilahan dan pengumpulan sampah kemasan, khususnya sachet, plastik multilayer, dan HDPE.

4 dari 4 halaman

Memilah Sampah

Semua jenis plastik itu digunakan pula oleh P&G sebagai kemasan produknya. Lewat Octopus, masyarakat Jakarta difasilitasi untuk memilah dan mengumpulkan sampah-sampah tersebut. P&G Indonesia menargetkan 40 ribu ton sampah terkumpul dalam setahun.

"Kami ingin libatkan 50 kalangan disabilitas dalam program Concious Living. Kita juga menargetkan 35 ribu masyarakat Jakarta untuk terlibat dalam program Concious Living selama setahun ke depan," kata Ariandes Veddytarro, Sustainability Champion P&G Indonesia, ditemui seusai jumpa pers di Jakarta, Selasa (21/6/2022).

"Kami ingin libatkan 50 kalangan disabilitas dalam program Concious Living. Kita juga menargetkan 35 ribu masyarakat Jakarta untuk terlibat dalam program Concious Living selama setahun ke depan," ucap Andes, akrab disapa.

Andes mengatakan program itu langkah awal untuk menciptakan ekosistem plastik kemasan yang lebih sirkular. Sejauh ini, P&G baru menggunakan plastik daur ulang untuk sebagian kemasan produk mereka. Bahan bakunya pun belum bisa ditopang sepenuhnya oleh produksi dalam negeri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.