Sukses

Belajar Mengelola Pendakian Nol Sampah dari Gunung Kembang Wonosobo

Para pendaki Gunung Kembang, Wonosobo, bisa dicegah membawa sampah ke puncak gunung. Bagaimana cara pengelola melakukannya?

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Kembang yang berada di Wonosobo, Jawa Tengah, tidak sepopuler gunung tetangganya, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, maupun Gunung Prau. Namun, pesonanya tak kalah menarik. Di gunung itu, pendaki bisa menikmati alam dengan maksimal karena tak ada sampah berserakan.

Berangkat dari semangat melestarikan dan merawat alam, para pengelola pos pendakian Gunung Kembang menerapkan sistem pendakian nol sampah (zero waste mountain). Bahkan, pos mereka sudah berstandar nasional Indonesia. Mereka tak segan kehilangan pemasukan dari pendakian asalkan gunung itu bisa terjaga dengan baik.

"Kita dapat satu pengelola gunung yang tidak peduli berkurang kuota. Kalau (pendaki) ngeyel, mereka disuruh balik aja," ujar Galih Donikara, Eiger Adventure Service Team Manager, dalam peluncuran Environment, Social, and Governance (ESG) Report 2021, Jumat, 22 April 2022.

Eiger merupakan mitra strategis pengelola pos pendakian Gunung Kembang. Lewat program adopsi gunung, brand outdoor apparel asal Bandung itu mendukung sistem pendakian minim sampah lewat penyediaan alat penyelamatan (rescue), alat komunikasi, dan lainnya.

Galih menjelaskan, sistem pendakian minim sampah diterapkan lewat beberapa tahapan. Pertama, pendaki wajib meregistrasi diri dan barang bawaan mereka. Setiap item dicatat terperinci, tidak terkecuali. 

Pengelola lalu akan mengecek apakah ada barang penting yang lupa dibawa oleh pendaki. Bila ada, mereka akan diminta melengkapinya, seperti menyewa dari pengelola atau warga. Pengelola juga akan meminta pendaki memindahkan perbekalan yang dikemas dalam plastik ke kotal bekal plastik dan botol yang tersedia. Pendaki bisa meminjamnya dan mengembalikan bila sudah kembali dari pendakian.

"Minuman sachet digunting di bawah. Mi instan dikeluarkan dari kemasan, lalu masuk boks. Sausnya dimasukkan ke botol. Roti juga begitu," kata Galih.

"Rokok juga begitu. Dihitung berapa batang rokok yang dibawa. Kalau naik 12 batang, turun harus ada 12 puntung," dia menambahkan. Begitu pula dengan botol plastik. Benda itu diminta dibawa turun agar bisa disalurkan kepada pemulung yang membutuhkan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Konsisten

Para pendaki juga diwajibkan untuk menjalani proses aklimatisasi sebelum mendaki. Kesehatan mereka juga dicek untuk memastikan mereka memang fit. Selama proses persiapan itu, petugas menyelipkan pengetahuan agar proses pendakian berjalan lancar dan sesuai standar.

Galih mengatakan pengelolaan pendakian bebas sampah sudah ditekuni selama dua tahun terakhir. Petugas pos pendakian menjadi garda terdepan dalam penegakan aturan secara konsisten. Tanpa itu, perilaku pendaki tak bisa dikendalikan.

"Masih ada anggapan orang kita itu kalau beli tiket pendakian, seolah membeli gunungnya. Jadi, bebas ngapain aja," ujarnya berpendapat.

Pendaki tanpa bekal pengetahuan mendaki yang cukup cenderung mengabaikan soal pendakian bersih. Menurut Galih, karena menganggap sampah organik bisa terurai di alam, mereka dengan sembarangan membuang sampah organik yang dihasilkan.

"Kulit pisang, nasi untuk membusuk kan prosesnya panjang. Saat terurai, bau busuknya mengundang lalat. Itu kan enggak bersih," dia menjelaskan.

Ada pula pendaki yang sudah tahu tapi tak peduli. Di sinilah peran petugas yang tegas. Di Gunung Kembang, pengelola menerapkan denda yang tinggi untuk setiap pelanggaran.

"Satu puntung rokok saja dendanya Rp1.025.000," sebut Galih sebagai contoh. Uang denda itu lalu dikumpulkan untuk operasional menjaga dan merawat gunung. 

3 dari 4 halaman

Siap Tidak Populer

Galih menyebut para pengelola pos pendakian Gunung Kembang lebih berorientasi pada mengelola gunung, bukan pendaki. Mereka rela kehilangan calon pendapatan dibandingkan melihat gunung jadi kotor karena sampah yang berserakan.

"Mereka siap Gunung Kembang jadi tidak populer. Bener (banyak pendaki yang akhirnya mengurungkan niat), tapi juga banyak yang penasaran. Mereka ingin membuktikan sendiri apa benar gunung itu bersih," sambung Galih.

Para pendaki yang sudah terkurasi dijadikan sebagai duta. Mereka menjadi tameng untuk melindungi alam Gunung Kembang. Sejauh ini, kuota pendakian dibatasi 100 orang per hari, beda dengan gunung yang lebih populer yang bisa dikunjungi 1.000 orang sehari. Selain itu, jalur pendakian yang dibuka juga dibatasi agar lebih mudah bagi pengelola untuk mengawasi.

"Dibandingkan sebelahnya, sembilan gunung lainnya, seperti Sikunir, Telomoyo, Prau, Gunung kembang paling ketat, tapi jadi rujukan," ujarnya.

Galih mengatakan bukan hal mudah melakukannya. Mereka sempat mengajak 70 masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan tersebut, tapi hanya 15 orang yang bertahan. "Keterlibatan mereka itu sepenuhnya karena hati," ia menambahkan.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Proyek Selanjutnya

Setelah Gunung Kembang, Eiger berencana mengembangkan program adopsi gunung ke Gunung Talamau, gunung tertinggi di Sumatera Barat. Pengelola pos pendakian di sana, kata Galih, memiliki sikap serupa dengan mereka di Gunung Kembang.

"Tadinya mau tahun lalu, tapi gempa terjadi. Basecamp mereka hancur, jadi nanti kita siapkan dulu," kata dia. Di samping, mereka juga harus menyiapkan skenario pendakian yang lebih baik karena sekali pendakian bisa menghabiskan 3 hari 2 malam, tidak seperti di Kembang yang hanya butuh sehari semalam.

Ia berharap semakin banyak pengelola yang berani mengelola pendakian nol sampah, terutama gunung-gunung populer di kalangan pendaki. Hal itu penting demi menyelamatkan alam. Jangan sampai, kata dia, kejadian berton-ton sampah di Rinjani terulang kembali. Yang lebih memalukan lagi, orang yang berinisiatif membersihkan gunung justru adalah pendaki asing.

"Yang sedih, kemarin orang Prancis bilang kalau tersesat di gunung, ikuti saja sampah. Itu kan menyedihkan," ujar Galih.

Ia berkaca pada negara lain yang menerapkan aturan ketat untuk sejumlah pendaki. Bahkan, mereka berani menarik tiket mahal untuk kesempatan pendakian. Kilimanjaro, ia menyebut, bisa mencapai Rp250 juta per orang. Meski begitu, pendaki asing, termasuk dari Indonesia bersedia membayarnya.

Aturannya pun tak sembarangan. Setiap bawaan ditimbang, yang kelebihan harus dikeluarkan. Setiap peralatan yang tidak lengkap dibantu disediakan lewat jasa penyewaan sehingga masyarakat sekitar juga bisa mendapat manfaat ekonomi. Bahkan, mereka diminta menggunakan jasa porter setempat, dan orang Indonesia bahkan bersedia taat aturan.

"Kalau tidak setuju, lebih baik pulang, bahkan mereka bisa blacklist negara," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.