Sukses

Skandal Program Magang di Jepang, Perempuan Hamil Diminta Aborsi hingga Dipaksa Berhenti

Bukan disambut baik, perempuan hamil yang bekerja magang di Jepang malah dipaksa bosnya untuk mengaborsi janinnya.

Liputan6.com, Jakarta - Skandal mengerikan terjadi dalam program kerja magang di Jepang. Perempuan hamil yang sedang mengikuti program itu mengaku diminta atasannya untuk mengaborsi janinnya. Bila menolak, mereka lalu akan dipaksa berhenti bekerja.

Kisah itu salah satunya dialami Vanessa, warga Filipina yang mengikuti program teknis di Jepang. Ia bekerja di sebuah rumah perawatan di Fukuoka saat mengetahui dirinya hamil. Ia pun menyampaikan informasi itu kepada atasannya, seraya berharap bisa kembali bekerja setelah melahirkan.

Alih-alih disambut gembira, menurut perempuan berusia 25 tahun itu, bosnya malah menyuruh ia dan pasangannya untuk mengaborsi janin itu. Padahal, dalam keyakinannya sebagai umat Katolik, aborsi adalah hal yang tabu dan sebuah kejahatan.

"Otakku saat itu berpikir, 'betapa beraninya (mereka).' Mengaborsi janin adalah pilihan ibu, bukan orang lain," ucapnya kepada AFP, dikutip Rabu (13/4/2022).

Ketika ia menolak permintaan itu, atasannya memaksanya untuk berhenti bekerja. Kisah Vanessa hanya salah satu contoh, menurut aktivis, tentang kekerasan yang dihadapi pekerja rentan dalam program kontroversial yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Jepang.

Program yang merekrut 275 ribu pekerja dari berbagai negara, termasuk China dan Vietnam, pada tahun lalu itu semestinya memberi kesempatan mendapatkan keterampilan khusus bagi partisipan. Keterampilan itu kemudian bisa digunakan saat mereka kembali ke negara masing-masing.

Program magang itu dinilai bisa menyediakan sumber tenaga kerja yang berharga mengingat populasi Jepang yang menua dan sejumlah kecil pekerja migran. Namun, skema tersebut telah dirundung tuduhan diskriminasi dan kekerasan fisik, khususnya pemagang teknis perempuan yang hamil.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Diskriminasi karena Hamil

Kementerian Kesehatan Jepang menyebut 637 pekerja magang teknis berhenti sepanjang 2017--2020 karena mereka hamil atau melahirkan. Sebanyak 47 orang di antaranya berharap bisa melanjutkan program magang.

Namun, sejumlah advokat menyebut angka itu hanya puncak gunung es. Tidak ada statistik yang jelang bagaimana yang lainnya ditekan untuk mencegah atau mengaborsi kehamilan. "Mayoritas pekerja magang teknis berada di usia reproduksi...tetapi ide mereka hamil selama tinggal di Jepang sering dianggap tidak mungkin," kata Masako Tanaka, seorang profesor yang mempelajari hak reproduksi pekerja migran perempuan, dari Universitas Sophia.

Secara teknis, pekerja magang dilindungi oleh undang-undang Jepang yang melarang pelecehan atau diskriminasi berdasarkan kehamilan. Tapi, "pelecehan maternitas" tetap menjadi masalah bagi wanita Jepang, dan pekerja magang teknis asing seringkali bahkan lebih rentan.

Laporan diskriminasi berbasis kehamilan pada 2019 mendorong agen imigrasi Jepang untuk mengingatkan majikan tentang hak-hak pekerja magang. "Kami memahami bahwa sangat mungkin bahwa pekerja magang teknis, sebagai manusia, hamil dan melahirkan, dan mereka tidak boleh menderita perlakuan yang merugikan untuk itu," kata seorang pejabat badan imigrasi kepada AFP.

Tekanan berat itu dialami Vanessa. Setelah kembali ke Filipina, ia diberitahu bahwa kehamilannya bisa membuat rekannya sesama pekerja magang dicap buruk. "Mereka mengatakan, 'karena situasiku...'nilai pekerja dari Filipina akan menurun'," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Korban Tekanan

Beda lagi dengan yang dihadapi Le Thu Thuy Linh, seorang pekerja magang asal Vietnam yang bertugas di Kumamoto. Ia mengetahui dirinya hamil pada Juli 2020. Ia tak berani pulang karena akan menghancurkan 'keuangannya', padahal ia terlilit utang dan keluarganya butuh bantuan dana.

Linh kemudian menyembunyikan kehamilannya dari bosnya dan memilih mengaborsi janin. Tapi, pil aborsi adalah ilegal di Jepang, sementara biaya operasi mencapai 100ribu yen. Situasi itu memaksanya mengonsumsi pil aborsi ilegal yang sangat berisiko. 

Majikannya mulai mencurigai kehamilannya, meskipun Linh menyangkalnya. Dia memperingatkannya tentang "kesulitan" jika dia melahirkan dan membesarkan anak. Pada bulan November, dia melahirkan bayi kembar lelaki prematur, sendirian dan di rumah.

Bayi itu lahir dalam keadaan tak bernyawa. Kelelahan, dia membungkusnya dengan handuk dan meletakkannya di kotak kardus di kamarnya, menyelipkan catatan di dalamnya: "Maaf, kalian berdua."

Hiroki Ishiguro, pengacara yang mendampingi Linh, mengungkapkan kisah itu. Kliennya kemudian mencari bantuan dokter yang melaporkannya ke pihak berwenang. Pada Januari 2022, dia dihukum percobaan tiga bulan karena mengabaikan jasad bayinya. Dia pun mengajukan banding.

 

4 dari 4 halaman

Dianggap Murah

Hiroki berpendapat majikan sering menganggap mereka sebagai tenaga kerja murah yang dapat ditukar.

"Untuk beberapa majikan, lebih mudah untuk mengirim mereka kembali ke rumah dan menggantinya dengan peserta pelatihan yang sama sekali baru, daripada menanggung beban ekstra ini (untuk mengakomodasi kehamilan)," katanya kepada AFP.

Sementara itu, dikutip dari geriatri.id, jumlah warga lanjut usia (lansia) berusia 65 tahun ke atas di Jepang mencapai rekor tertinggi di dunia. Menurut perkiraan data Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang, jumlah lansia di negara itu 36,4 juta orang pada September 2021.

Angka itu 29,1 persen dari persentase total populasi atau merupakan rekor tertinggi di dunia. Data yang dirilis pada 15 September 2021 memperkirakan populasi lansia berusia 65 tahun ke atas di negeri matahari terbit 36,4 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 220.000 dari tahun 2020 dan menjadi rekor tertinggi.

Total populasi di Jepang menurun 510.000 jiwa dibanding tahun lalu. Rasio lansia terhadap total populasi meningkat 0,3 poin dari tahun sebelumnya ke rekor tertinggi 29,1 persen. Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini yang tertinggi di dunia, lebih dari 5 poin dibanding Italia 23,6 persen di posisi kedua. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.