Sukses

Cerita Akhir Pekan: Lama Waktu Cuti Melahirkan yang Ideal

Merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 82, cuti melahirkan diberikan selama tiga bulan. Apakah itu sudah ideal?

Liputan6.com, Jakarta - Memberdayakan perempuan berarti harus sejalan dengan mendukung mereka sebaik mungkin, termasuk dalam ketentuan cuti melahirkan bagi ibu bekerja. Merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 82, cuti melahirkan diberikan selama tiga bulan.

Apakah durasi waktu itu sudah ideal? Dokter kandungan, Raissa Liem, menyebut periode cuti melahirkan selama tiga bulan sebenarnya cukup. "Tapi, lebih baik jika bisa diperpanjang hingga enam bulan, agar bayi mendapat ASI eksklusif tanpa gangguan," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 24 Desember 2021.

Sejalan dengan narasi itu, jurnalis, sekaligus penulis Brigid Schulte dan rekan-rekannya di New America Foundation, mengutip CNN, merekomendasikan durasi cuti berbayar yang optimal menurut sains. Berdasarkan kesehatan bayi, kesehatan ibu, kesetaraan gender, dan partisipasi angkatan kerja perempuan, mereka merekomendasikan cuti melahirkan berbayar selama enam bulan hingga satu tahun.

Ini bahkan tidak hanya mencakup ibu, namun juga ayah bayi. Karenanya, mereka menggunakan istilah "cuti keluarga." Lebih dari 20 studi menyimpulkan bahwa cuti keluarga berbayar dapat berefek positif secara signifikan pada kesehatan ibu dan bayi.

"Dari sudut pandang kesehatan bayi, penting bagi perempuan untuk dapat menyusui secara eksklusif selama enam bulan. Cara terbaik untuk menjaminnya adalah dengan memiliki setidaknya enam bulan cuti melahirkan berbayar," kata Jody Heymann, dekan UCLA Fielding School of Public Health, yang telah memimpin tim yang mempelajari cuti berbayar selama 17 tahun.

"Mengapa begitu peduli tentang menyusui? Karena menyusui menurunkan angka kematian bayi tiga sampai lima kali lipat di negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah," imbuhnya.

Manfaat untuk anak-anak juga terlihat dalam jangka panjang, menurut penelitian. Para peneliti membandingkan kehidupan anak-anak yang lahir di Norwegia sebelum 1977, ketika para ibu memiliki 12 minggu cuti tidak dibayar, dengan anak-anak yang lahir setelahnya, ketika negara tersebut menawarkan tambahan empat bulan cuti berbayar.

Anak-anak yang ibunya memiliki cuti lebih panjang memiliki perkembangan kognitif dan akademis lebih baik pada usia 30 tahun dan lebih mungkin untuk lulus dari perguruan tinggi, serta memiliki penghasilan lebih tinggi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sebaiknya Juga Tidak Terlalu Panjang

Dalam hal kesehatan ibu, sebuah penelitian di Australia menemukan bahwa tekanan psikologis secara signifikan lebih kecil kemungkinannya bagi ibu yang mengambil cuti berbayar lebih dari 13 minggu. Laporan tersebut mencatat bahwa cuti lebih pendek dari 12 minggu telah dikaitkan dengan depresi dan kecemasan lebih tinggi, penurunan harga diri, serta masalah dengan kepekaan terhadap bayi.

Namun demikian, cuti melahirkan juga disarankan untuk tidak terlalu panjang. Jika terlalu panjang, mereka tidak dapat dengan mudah masuk kembali, menurut laporan tersebut. Di Republik Ceko, misalnya.

Negara itu menerapkan cuti melahirkan yang memungkinkan ibu bekerja rehat selama tiga tahun. Kebijakan itu mencatat bahwa perempuan cenderung tidak kembali bekerja atau atasan tidak mau mempekerjakan mereka kembali.

Soal kapan waktu terbaik untuk mengambil cuti melahirkan, dr. Raissa menyebut tidak ada momen yang pasti untuk setiap ibu. "Tapi, untuk ibu yang berencana melahirkan di luar kota, misalnya, itu harus cuti lebih awal," ucapnya. "Jangan sampai mulas, bahkan melahirkan saat masih di perjalanan."

Tapi, jika kondisinya tidak demikian, mengambil cuti melahirkan saat hari H melahirkan pun sebenarnya  idak masalah. "Supaya waktunya lebih optimal saat mengurus bayi yang baru lahir," sebut dr. Raissa.

3 dari 4 halaman

Dukungan Fasilitas Kantor

dr. Raissa memaparkan beberapa fasilitas kantor yang menunjang ibu bekerja. Di masa kehamilan, ibu bekerja sebaiknya diizinkan mengangkat kaki di siang hari, apalagi yang kakinya bengkak. "Harus juga disediakan tempat minum yang memadai, karena ibu hamil harus minum setidaknya dua liter air per hari," katanya.

Ia menyambung, "Toilet juga harus ramah ibu hamil karena mereka lebih sering berkemih."

Pascamelahirkan, kantor seharusnya sediakan ruangan khusus untuk pumping ASI. Juga, menyediakan kulkas penyimpanan ASI. "Ibu hamil yang bekerja juga tidak boleh stres berlebih karena itu bisa menyebabkan gangguan kehamilan," katanya.

Selain harus tetap makan bergizi seimbang, cukup asupan cairan, menjaga kebersihan kemaluan, terutama saat berkemih di kantor, juga harus tetap berolahraga.

Secara umum, tidak ada perbedaan persiapan bersalin antara ibu bekerja dengan yang tidak bekerja. Namun, bagi ibu bekerja, mereka harus melakukan persiapan menyusui.

dr. Raissa mengatakan, "Harus dibicarakan dengan atasan bahwa akan menyusui, jadi kalau belum ada tempat menyusui di kantor, bisa dipersiapkan terlebih dahulu."

4 dari 4 halaman

Infografis 8 Cara Cegah Bayi Baru Lahir Tertular COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.