Sukses

Cerita Akhir Pekan: Jangan Remehkan Pelecehan Seksual di Ranah Digital

Pelecehan seksual semakin meningkat akibat tingginya komunikasi yang berlangsung secara digital di masa pandemi.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 memaksa orang banyak memaksimalkan teknologi digital untuk berkomunikasi, sekolah online, hingga bekerja online. Di satu sisi, kehadiran teknologi membuat orang tetap beraktivitas, tapi di sisi lain meningkatkan risiko pelaku kekerasan seksual melecehkan korbannya secara online.

"Sekarang sedang marak KBG (Kekerasan Berbasis Gender) dan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Jadi, memang terjadi peningkatan dengan banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekitar kita. Kondisi ini perlu kita cermati bersama bagaimana cara menanggulangi dan mencegahnya agar anak-anak dan masyarakat tidak menjadi korban," kata pendiri Indonesia Child Online Protection (ID-COP), Maria Advianti, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 15 Oktober 2021.

Maria menjelaskan, pelecehan seksual yang paling umum di ruang digital itu berupa sexting (sex and texting), seperti merendahkan seseorang secara gender dan bujuk rayu. Selain itu, ada yang merendahkan martabat seseorang secara seksual. Ada juga grooming, yakni bujuk rayu berupa penipuan, seperti iming-iming dengan hadiah.

"Karena sekarang banyak anak maupun remaja menggunakan teknologi digital dalam berkomunikasi, maka mereka perlu kuota. Nah, pelaku pelecahan seksual bisa dengan mudah mengiming-imingi mereka dengan membelikan mereka kuota agar bisa mendapatkan material seksual dari anak-anak, remaja, atau dari perempuan," papar perempuan yang pernah menjadi Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Mereka yang dapat dibujuk rayu adalah mereka yang belum mengerti bahwa apa yang diminta pelaku itu sebetulnya, termasuk pelecehan seksual. Ia mencontohkan, dengan bujuk rayu alasan kesehatan, mereka menunjukkan bagian tubuh mereka yang sebenarnya sangat pribadi.

"Ada juga mereka dibujuk rayu dengan alasan kebugaran tubuh. Dengan memperlihatkan foto-foto bagian tubuh mereka, pelaku menggunakannya untuk pelecehan seksual. Jadi, banyak sekali tipu daya pelaku. Intinya, mereka ingin diberi materi-materi seksual dari anak-anak atau remaja, baik foto maupun video," tutur Maria.

Maria berkata, penting sekali bagi masyarakat untuk mengenali seperti apa bentuk dari pelecehan seksual itu dan cara predator mendekati korbannya. Apalagi, banyak orangtua selama ini tidak menyadari apa yang dilakukan anak-anak mereka selama menghabiskan waktunya berjam-jam secara online.

"Selain mereka belajar, main game, apa lagi yang mereka lakukan. Tidak semua orangtua sempat untuk mengecek dari waktu ke waktu anaknya sedang ngapain. Kalau orangtuanya tidak punya komunikasi yang terbuka dalam keluarganya, hal itu juga menambah risiko anak itu menjadi korban karena mereka tidak biasa bercerita atau tak bisa bercerita pada orangtuanya," papar Maria.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Gim Online

Maria juga mengingatkan kepada masyarakat, orangtua, anak-anak, remaja agar berhati-hati dalam berkomunikasi atau interaksi digital, baik itu di media sosial atau di platform yang bermacam-macam. Ia mencontohkan saat ini game online sudah ada fasilitas chatting-nya, tidak seperti dulu.

"Jadi, sambil main game, anak-anak juga bisa chatting-an dengan teman mainnya, mereka bisa main bareng-bareng. Nah, game online pun bisa dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual untuk main dengan anak-anak dan di situlah mereka berkenalan. Game online bisa jadi titik masuk pelaku pelecehan seksual untuk mencari korban," imbuh Maria.

Maria mengatakan, setelah berkomunikasi via online, anak-anak bisa merasa cocok dengan lawan mainnya karena terpesona dengan kemampuan bermain gim itu. Tapi, jika tidak waspada, orang asing yang membahayakan bisa masuk dengan mudah. "Game online yang awalnya untuk senang-senang antarteman sekolah, tetapi kemudian jadi pintu masuk pelecehan seksual terhadap anak-anak kita," urai Maria.

Menurut Maria, dalam dunia digital yang sangat disrupsi warganet wajib memilah informasi yang beredar. Informasi tersebut bisa berupa berita di media sosial, trik-trik pelaku kekerasan seksual dalam mendekati korban secara online.

"Netizen perlu belajar caranya untuk mencegah diri dan anak-anaknya dari predator seksual online agar tidak terjebak dari perangkap mereka. Perlunya membiasakan diri mengonsumsi digital secara bijak agar bisa menyeimbangkan dirinya antara dunia digital dengan dunia kesehariannya," kata Maria.

Selain itu, lanjut Maria, warganet perlu mengenali lembaga-lembaga yang bisa menerima laporan kekerasan seksual. Ia menyebut beberapa di antaranya, polisi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, KPAI, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain.

3 dari 4 halaman

Jangan Dianggap Sepele

Hal senada disampaikan psikolog klinis Rini Hapsari Santosa. Menurutu Rini, pelecehan seksual meningkat karena interaksi digital juga semakin meningkat dan luas ragamnya di masa pandemi.

"Bisa berupa komentar, ajakan, ancaman atau intimidasi, yang terkait dengan seksualitas, itu juga merupakan pelecehan seksual. Contohnya, cewek kok badannya seperti itu, kok pakai bajunya seperti itu, itu juga sudah termasuk pelecehan, terkait dia sebagai perempuan," ujar Rini kepada Liputan6.com, Jumat, 15 Oktober 2021.

Kondisi pandemi mengakibatkan stres dan frustrasi karena ruang gerak terbatas. Hal tersebut bisa berpotensi meningkatkan agresivitas seseorang. "Karena tidak pergi ke mana-mana dan interaksi sosialnya lebih banyak di media sosial, maka terjadilah pelecehan seksual," kata Rini.

Komunikasi dan keterbukaan hal sangat penting agar anak atau remaja tidak merasa sendirian. Mereka bisa bicara dengan orangtuanya.

Rini berharap masyarakat tidak meremehkan dengan pelecehan seksual, meski kadarnya sederhana. Jika bersikap acuh, ekskalasi pelecehan seksual bisa meningkat.

"Awalnya, pelakunya hanya berkomentar. Karena didiamkan, komentar bersifat pelecehan seksual bisa makin serius juga. Jadi, jangan remehkan pelecehan seksual, meski bentuknya sederhana. Jika memang sudah bersifat serius, maka harus dilaporkan," imbuh Rini.

 

4 dari 4 halaman

INFOGRAFIS: 6 Tips Lindungi Diri dari Pelecehan Seksual

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.