Sukses

5 Alasan Orang Kerap Menunda Konsultasi ke Psikolog, Stigma Buruk Masyarakat Salah Satu Penyebabnya

Kesehatan mental semestinya mendapat porsi perhatian yang sama dengan kesehatan fisik. Berkonsultasi dengan psikolog bisa jadi salah satu cara.

Liputan6.com, Jakarta - Isu kesehatan mental sudah seharusnya jadi perhatian layaknya kesehatan fisik. Hal ini sejalan dengan langkah WHO meningkatkan kesadaran soal isu kesehatan mental dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2021.

Namun, tak sedikit orang yang justru kerap menunda hingga enggan untuk kosultasi ke psikolog dengan beberapa alasan. Hal ini dapat berujung pada mengalami rasa tidak nyaman hingga gangguan kesehatan mental.

Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu, 10 Oktober 2021, menurut Falah Farras, psikolog klinis yang juga Co-Founder Social Connect, terdapat lima alasan orang kerap menunda ke psikolog. Simak rangkuman selengkapnya berikut ini.

1. Stigma dan Persepsi

Kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Seringkali ketika seseorang merasa butuh bantuan, mereka kerap dihadapkan dengan pandangan sinis yang terkesan mencibir. Terdapat anggapan bahwa kesehatan jiwa yang terganggu disebabkan karena kurang beribadah, sehingga hatinya tidak dekat dengan Tuhan.

Ada pula stigma yang melekat di masyarakat bahwa orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah orang gila atau tidak waras. Stigma dan persepsi tersebut yang membuat kesehatan mental dianggap bukan sebagai sesuatu yang penting, sehingga dibiarkan berlarut-larut.

2. Biaya Mahal

Masalah keuangan, terutama terkait biaya konsultasi dan pengobatan yang terkait kesehatan mental biasanya mahal. Terlebih umumnya, asuransi kantor maupun pribadi tidak menanggung biaya konsultasi atau pengobatan kesehatan mental.

Untungnya, bagi pemegang BPJS Kesehatan, kesehatan mental sudah masuk ke dalam salah satu penyakit yang ditanggung. Untuk bisa menikmati fasilitas dari BPJS tersebut, pengguna harus mendatangi faskes tempat pengguna terdaftar lalu meminta surat rujukan. Alternatif lainnya, pengguna dapat langsung mendatangi RSJ terdekat dan menanyakan prosedu rpengobatan menggunakan BPJS.

"Bantuan profesional itu, kan, bisa dibilang tidak murah. Obat-obatannya juga mahal, dan pengobatannya tidak satukali sesi selesai, jadi bisa dalam jangka waktu yang panjang. Terkadang bisa bertahun-tahun, bahkan bisa seumur hidup," tutur Farras.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

3. Kebiasaan Menutup Masalah

Saat sebuah masalah datang, sebaiknya masalah diselesaikan tanpa melibatkan pihak ketiga. Misalnya, ketika seseorang merasa kesulitan, dia diharapkan untuk hanya bercerita pada pihak keluarga, teman, atau orang-orang yang dikenal dekat, bukan orang asing.

Sayangnya, ketika orang tersebut tidak memiliki support system yang mendukung, ia akan merasa putus asa dan tidak mendapat jawaban. Belum lagi apabila orang-orang terdekatnya tidak memahami pentingnya kesehatan mental, ia justru akan menerima stigma sebagai orang yang lemah atau gila. Imbasnya, ia akan merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk bercerita atau meminta bantuan.

4. Kondisi Sulit Diceritakan

​Ada beberapa kondisi yang membuat seseorang sulit untuk menceritakan gangguan yang mereka hadapi atau terima. Misalnya, saat mereka mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Muncul perasaan malu, tak berdaya, hingga tidak berharga.

Kondisi ini juga mungkin terjadi di kasus-kasus yang bersifat struktural di dunia pekerjaan atau pendidikan yang sulit diceritakan jika tidak diwadahi dengan tepat. Belum lagi apabila masalah tersebut terdapat sangkut paut dengan orang-orang yang memiliki power tertentu.

3 dari 4 halaman

5. Takut dengan Perawatan

Kurangnya literasi dan edukasi mengenai kesehatan mental membuat banyak orang yang mengalami ketakutan bahkan sebelum sesi konsultasi atau pengobatan dimulai. Banyak orang yang sudah "termakan" dramatisasi film sehingga mereka punya ekspektasi yang negatif saat hendak berkonsultasi.

Misalnya takut akan adanya treatment berupa hipnosis atau penggunaan alat-alat listrik yang dihubungkanke otak. ​Menurut Farras, perawatan masing-masing orang berbeda sesuai dengan masalah dan analisis para ahliyang menanganinya.

Di luar itu, treatment apa pun yang akan dilakukan pada pasien juga akan dikonsultasikan terlebih dahulu oleh dokter atau terapis yang menanganinya. Begitu pula dengan obat-obatan yang akan dikonsumsi, dokter akan memberitahu secara mendetail kegunaan dan efek samping dari obat tersebut.

​Diakui Farras, untuk mengatasi kelima hal di atas, dibutuhkan waktu yang panjang dan edukasi serta literasi yang mumpuni. "Cara ini bisa dimulai dari diri sendiri dan orang-orang sekitar, yaitu dengan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental. Diharapkan nanti dari circle kita itu akan meluas ke circle-circle pertemanan teman kita yang lainnya," ungkap Farras.

4 dari 4 halaman

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.