Sukses

Cerita Akhir Pekan: CHSE Bukan Mandatory, Bagaimana dengan Hak Konsumen untuk Rasa Aman?

Sertifikasi CHSE bukan mandatory kembali mengemuka.

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, environment/CHSE) mengemuka kembali baru-baru ini. Hal itu terkait apakah CHSE itu suatu kewajiban atau bersifat suka rela.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menegaskan bahwa CHSE itu berisfat voluntary atau sukarela, bukan mandatory atau kewajiban. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Deputi Industri dan Investasi Kemenparekraf Fajar Utomo.

"CHSE itu bukan mandatory, tapi voluntary karena mereka yang mendaftar. Kalau mereka mendaftar boleh atau tidak? Ya, boleh," kata Fajar saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 9 Oktober 2021.

Fajar berkata, soal CHSE mandatory atau tidak, kembali kepada konsumen. Ia mencontohkan, jika seseorang datang ke hotel, mereka pilih yang sudah disertifikasi CHSE atau tidak, tentu mereka akan datang ke tempat yang sudah disertifikasi dan ada PeduliLindungi.

"Jadi, orang yang masuk ke sana sudah terfilter, sudah terlacak. Jadi, kita punya rasa aman juga, kan. Jika ada tempat yang tidak mau menggunakan sertifikasi CHSE dan PeduliLindungi, ya silakan. Kalau mereka tidak dikunjungi konsumen, ya itu pilihan dia, kan. Jadi, yang memandatory kan itu market, kan," kata Fajar yang menyebut pihaknya tidak ingin membebani industri pariwisata di masa pandemi.

Fajar menampik kabar yang menyebutkan Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) menolak sertifikasi CHSE. Ia mengatakan sudah konfirmasi kepada PHRI bahwa mereka tidak menolak CHSE.

"Yang mereka keberatan adalah kalau sertifikasi menjadi mandatory dan mereka harus membayar sendiri. Jadi, tidak ada penolakan terhadap sertifikasi CHSE, buktinya mereka pada daftar sampai hari ini dan kita tetap jalan," tutur Fajar yang menyebut bahwa sertifikasi CHSE gratis.

Sertifikasi CHSE muncul pada 2020 dan berlanjut hingga saat ini. Tujuannya untuk memeroleh kepercayaan dari masyarakat agar berkunjung ke destinasi wisata itu aman, nyaman. Pihak Kemenparekraf membantu untuk menyertifikasi hotel, restoran, kafe, dan semua tempat wisata. Rujukannya di Permen 13 Tahun 2020.

"Mereka yang melakukan sertifikasi, bukan Kemenparekraf. Yang melakukan sertifikasi adalah Lembaga Sertifikasi Usaha Pariwisata, Kemenparekraf hanya membuat program sertifikasi gratis pada usaha-usaha itu," ujar Fajar.

Fajar mengatakan target sertifikasi CHSE pada 2021 ini sekitar 6.300 usaha pariwisata dari 13 bidang pariwisata. Saat ini proses sertifikasi masih berlangsung di seluruh Indonesia. "Sifat sertifikasi ini open call, mereka harus mendaftar di website yang kita kerjakan," kata Fajar.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kepercayaan dari Masyarakat

Secara terpisah, Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan sertifikasi CHSE terhadap bidang pariwisata hal yang bagus. Namun, sertifikasi itu harus bersifat sukarela (voluntary), bukan kewajiban (mandatory).

"Jadi, kalau voluntary tidak akan memberatkan pelaku usaha. Hal tersebut juga terjadi di Hong Kong dan London. Jadi, mereka tidak terbebani masalah biaya," kata Sudaryatmo kepada Liputan6.com, Sabtu, 9 Oktober 2021.

Sudaryatmo mencontohkan di Hong Kong, ada lembaga swadaya masyarakat yang peduli toilet bersih. Mereka melakukan rating di rumah makan-rumah makan di Hong Kong.

"Jadi, rumah makan di sana berlomba-lomba untuk membuat toilet yang bagus. Mereka ingin menjadikan toilet sebagai nilai tambah. Di London juga ada soal higienitas, di sana ada stiker yang memberitahu rating mereka berapa. Itu juga bukan mandatory, tapi voluntary," imbuh Sudaryatmo.

Sudaryatmo juga mengatakan, jika pihak hotel dan restoran sudah menjalani sertifikasi bukan dari Kemenparekraf, kalau perangkatnya sama atau kriterianya sama, dengan sertifikasi yang sudah dilakukan pihak hotel, maka seharusnya hanya satu sertifikasi saja dan tidak perlu berkali-kali.  "Kasihan dengan pelaku usahanya, itu kan ada biayanya," ujar Sudaryatmo.

"Dulu di Bali pernah saat acara APEC,  Kemenparekrarf mengeluarkan kebijakan, hotel di Bali itu bisa digunakan oleh tamu untuk menginap dengan catatan hotel tersebut sudah punya sertifikasi sistem manajemen keamanan. Dulu itu yang melakukan itu Sucofindo dan Mabes Polri. Hotel-hotel keberatan dengan biaya, apalagi hotel-hotel yang brandnya internasional. Mereka merasa bahwa manajemen keamanan hotelnya sudah standar internasional," papar Sudaryatmo.

3 dari 4 halaman

Tidak Sembarangan

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan sektor usaha pariwisata itu ada dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 itu sudah diwajibkan untuk melakukan sertifikasi usaha. Lelaki yang akrab disapa Allan menyebutkan, ada dua hal yang mereka wajib lakukan, pertama sertifikasi kompetensi dan sertifikasi usaha, keduanya dilakukan oleh lembaga sertifikasi mandiri.

"Bicara sektor pariwisata, maka ada 13 di dalamnya, salah satunya hotel dan restoran. Sektor hotel dan restoran sudah lama mengadakan sertifikasi usaha, sejak 2002 sudah dilakukan. Sebelum 2002 sertifikasi itu dilakukan oleh Kementerian Pariwisata, sedangkan sejak 2002 dilakukan oleh PHRI, sejak 2013 itu kemudian sertifikasi itu dilakukan oleh lembaga mandiri," kata Allan.

Menurut Allan, unsur-unsur yang diuji dalam sertifikasi itu ada dua, unsur produk dan pelayanan. Kedua unsur tersebut wajib disertifikasi karena memang yang namanya hotel dan restoran itu karakter dari usahanya adalah yang harus memberikan pelayanan prima. Jasa itulah yang dibeli oleh tamu.

"Semua itu sudah mengandung unsur kesehatan, kebersihan, keamanan, dan lingkungan. Saya beri contoh, unsur kesehatan air di hotel itu selalu diuji kualitasnya yang layak sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Dari sisi keamanan, kami memiliki K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), kami memiliki sertifikasi untuk lift, eskalator, dan banyak lagi yang kami miliki di situ, belum lagi pemadam kebakaran," urai Allan. "Semua unsur safety kami ada di situ, safety dari sisi konsumen, gedung, bencana," imbuhnya.

Sementara soal kebersihan, lanjut Allan, itu hal nomor satu yang dinilai, maka dari itu, hotel itu dibagi berdasarkan cluster-nya, dari nonbintang hingga bintang lima. Soal kebersihan itu juga mendapat legitimasi dari kementerian dan lembaga terkait. Selain itu, hotel juga punya AMDAL, punya Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).

"Itu harus dilaporkan per enam bulan. Jadi, kami tidak sembarangan dalam berbisnis hotel dan restoran itu. CHSE itu kan bahasa Inggris, kalau bahasa Indonesianya itu, kebersihan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan. Unsur CHSE itu sudah ada dalam sertifikasi usaha. Jadi, CHSE itu tidak ada yang baru," nilai Allan.

Dalam masa pandemi Covid-19 ini, kata Allan, pihak hotel menambah peraturan baru, berupa protokol kesehatan yang merujuk pada Kementerian Kesehatan itu mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan 382 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Kesehatan 328 Tahun 2020.  Isinya mengatur setiap acara menerapkan protokol kesehatan di tempat usaha. 

"Kami dari PHRI dari Maret 2020 sudah mengeluarkan prokes tersebut dengan merujuk pada standar WHO dan Kementerian Kesehatan. Itu karena memang domain mereka. Kami sempat mengubahnya, karena ada perubahan acuannya. Komponen yang ada di CHSE sertifikasi itu tidak ada yang berubah," tegas Allan. "Kalau mereka melanggar itu, maka izin usahanya bisa dicabut," imbuhnya.

Allan mengatakan CSHE itu seharusnya bukan bersifat sertifikasi, tapi verifikasi. Dalam pelaksanaannya, CHSE itu sifatnya chek list,  yang semuanya bisa tumpang tindih dengan yang ada di sertifikasi usaha. "Kami keberatan karena sertifikasi itu mau dijadikan mandatory yang diintegrasikan dengan OSS  (Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik) dengan anggaran yang digunakan Kemenparekraf itu sekitar Rp12,5 juta untuk sekali sertifikasi, sedangkan program Kemenparekraf hanya 15 ribu dari 13 sektor usaha. Sementara hotel kami ada ada 30 ribu, artinya sisanya harus bayar, kan," ungkap Allan.

Sayangnya, lanjut Allan, CHSE itu buru-buru dimasukkan ke dalam Permen Parekraf No.13 Tahun 2020 sehingga wajib berulang setiap tahunnya. Permasalahannya, sektor usaha pariwisata tidak paham kalau CHSE itu sebenarnya berbayar, cuma diberi gratis pada tahun pertama untuk yang 15 ribu.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Infografis Fasilitas Anggota DPR di Hotel Isolasi Mandiri

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.