Sukses

Mengapa Lukisan Pertempuran Sultan Agung dan J.P. Coen Karya S. Sudjojono Belum Jadi Cagar Budaya?

Lukisan Pertempuran antara Sultan Agung dan J.P Coen merupakan mahakarya S. Sudjojono yang dibuat atas pesanan dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk peresmian Museum Sejarah Jakarta dan diperlihatkan pada Ratu Elizabeth II.

Liputan6.com, Jakarta - Tumurun Private Museum Solo bekerja sama dengan S. Sudjojono Center dan Museum Sejarah Jakarta menggelar pameran berjudul Mukti Negeriku! Perjuangan Sultan Agung Melalui Goresan S.Sudjojono yang dibuka secara resmi mulai hari ini, Sabtu (28/8/2021), dan akan berlangsung hingga 28 Februari 2022. Dalam sambutannya, Iwan K Lukminto, pendiri Tumurun Museum, berharap agar karya maestro lukis Indonesia itu bisa ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.

"Keberadaan lukisan ini sangat penting, tidak hanya untuk sekarang, namu juga untuk dinikmati generasi selanjutnya," kata pria yang akrab disapa Wawan itu.

Ia mengatakan lukisan yang kini sudah dipajang selama 47 tahun di Museum Sejarah Jakarta itu berhasil menampilkan esensi perjuangan Sultan Agung melawan Belanda yang diwakili sosok Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen. Serangan di Batavia pada 1628--1629 merupakan bukti bahwa Sultan Agung dan rakyat Mataram menolak dijajah Belanda.

"Lukisan ini selesai pada 1974 sekaligus untuk menyambut Ratu Elizabeth II yang berkunjung pada tahun tersebut," sambung Wawan.

Penetapan sebagai cagar budaya nasional juga merupakan upaya penting untuk melestarikan sejarah Indonesia. Terlebih, lukisan itu membutuhkan perawatan dan konservasi khusus agar terus terjaga. Berdasarkan catatan, lukisan tersebut terakhir kali direstorasi pada 2008, atau sekitar 13 tahun lalu. Idealnya, lukisan direstorasi dalam jangka waktu sepuluh tahun sekali.

Bukan hanya lukisannya yang berharga, tetapi juga 38 sketsa yang dibuat oleh S. Sudjojono selama proses pembuatan lukisan pada 1973-1974. Maya Sudjojono, putri sang pelukis, menyebutkan puluhan sketsa yang disertai catatan tangan detail mengenai fakta sejarah merupakan bukti bahwa Sudjojono sangat serius mengerjakan proyek lukisan tersebut.

"Jika Belanda memiliki Night Watch karya Rembrandt sebagai lukisan ikonik, kami harap Indonesia diwakili karya Pertempuran Sultan Agung dan J.P.Coen oleh S. Sudjojono," ujarnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tanggapan Dirjen Kebudayaan

Perihal ini, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menjelaskan bahwa proses penetapan suatu objek menjadi cagar budaya nasional minimal harus sudah berusia 50 tahun. Hal itu merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya.

"Kalau gunakan angka 1974 sebagai tahun pembuatan, maka baru 2021 bisa dilakukan (penetapan)," kata dia.

Ia juga menambahkan bahwa kelayakan objek sebagai cagar budaya apabila benda itu bisa memberi arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Objek juga harus memiliki nilai budaya bagi kepribadian bangsa. Meski begitu, ia mendorong agar segera disusun rumusan rekomendasi oleh tim ahli cagar budaya Jakarta dan nasional untuk Gubernur DKI Jakarta dan Mendikbudristek.

"Kita sudah barang tentu harus memiliki masterpiece dan pilihan kepada lukisan Pertempuran Sultan Agung dan J.P Coen karya Sudjojono ini sudah tepat," ucap Hilmar.

Dia menyebut lukisan itu tidak hanya grande dalam hal ukuran, yakni 3 meter x 10 meter, tetapi juga episode sejarah yang dilukiskan luar biasa. Terbayang upaya besar yang dijalankan untuk memobilisasi ribuan orang pada saat itu dari Jawa Tengah ke Jakarta.

"Belum ada jalan tol, hanya berkuda dan jalan kaki. Perlu waktu berbulan-bulan, buat kebun, sawah-sawah untuk logistik, dan seterusnya. Ini suatu kisah luar biasa," kata dia.

Di sisi lain, sang pelukis mendobrak anggapan yang selama ini beredar terkait seniman, yakni hanya mengandalkan bakat dan inspirasi. "Di balik karya hebat ini, ada kerja keras, riset, meneliti arsip, dokumen, melihat bagaimana macam-macam sumber sejarah diramu dan dituangkan ke dalam sebuah kanvas dalam proses yang panjang," ujarnya.

 

 

3 dari 4 halaman

Ingatkan Protokol Kesehatan

Sementara, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengapreasi penyelenggaraan pameran lukisan yang digelar di masa pandemi Covid-19. Mengingat museum atau galeri seni dilabeli sebagai tempat non-esensial, ia menyadari tak mudah mempersiapkan dan membuka pameran seni di saat ini.

"Pemerintah mewajibkan PeduliLindungi sebagai skrining di berbagai tempat, ini juga akan menjadi proses skrining di tempat budaya, ketika level sudah memungkinkan berkegiatan budaya," sahut dia.

Bagaimanapun, seni dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Ia menyebut seni akan membuat rindu akan pengalaman sekaligus memperkaya jiwa.

Di sisi lain, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyebut pameran tersebut sebagai momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang sosok Sudjojono dan mendekatkan masyarakat akan sosok Sultan Agung. Ia berharap hal itu bisa membangkitkan nasionalisme anak bangsa.

"Ini meningkatkan enjoyment, engagement, experience," sahutnya.

Pameran akan digelar secara hibrid. Pengunjung yang ingin datang langsung diwajibkan meregistrasi dulu. Sementara, agenda kunjungan belum tersedia mengingat Solo masih memberlakukan PPKM Level 4.

4 dari 4 halaman

Seni Grafiti di Indonesia

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.