Sukses

6 Fakta Kabupaten Pelalawan, Habitat Penting bagi Gajah dan Harimau Sumatra

Kabupaten Pelalawan juga jadi salah satu wilayah di Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa.

Liputan6.com, Jakarta - Pelalawan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang terbentang di pesisir timur Pulau Sumatra. Dilintasi jalan raya Lintas Timur Sumatra membuat lokasinya sangat strategis karena merupakan jalur ekonomi terpadat.

Kabupaten Pelalawan juga dialiri Sungai Kampar yang cukup ramai dilewati kapal-kapal dagang. Kawasannya terbagi ke dalam 12 kecamatan dengan Teluk Meranti sebagai kecamatan terluas.

Pembentukan kabupaten ini berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999. Pemekaran dari Kabupaten Kampar yang diresmikan pada 12 Oktober 1999 menghasilkan Kabupaten Pelalawan. Selain itu, wilayah ini masih menyimpan sederet fakta menarik. Berikut beberapa di antaranya seperti dirangkum dari berbagai sumber, Sabtu, 31 Juli 2021.

1. Asal Nama Kabupaten Pelalawan

Nama Kabupaten Pelalawan berawal dari nama kerajaan, yaitu Pelalawan, dengan pusat kerajaan berlokasi di pinggir Sungai Kampar. Kerajaan Pelalawan berdiri tahun 1761 dan mulai dikenal pada masa pemerintahan Sultan Syed Abdurrahman Fachrudin (1811-1822).

Sultan Syed Abdurrahman Fachrudin memiliki gelar Assyaidis Syarif Abdurahman Fachrudin. Kerajaan yang berakhir masa pemerintahannya pada 1945 ini adalah pewaris Kerajaan Kampar di Pekan Tua.

2. Berperan dalam Konservasi Gajah dan Harimau Sumatra

Taman Nasional Tesso Nillo dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, seperti jelajah hutan dan menyusuri sungai. Kondisi alam di taman nasional ini masih asri, dan merupakan "tempat gajah dan harimau Sumatra tinggal," sebagaimana tertulis di bio Instagram-nya.

Luas Taman Nasional Tesso Nilo tercatat 38.576 hektare, membentang di wilayah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu. Selain gajah dan harimau Sumatra, taman nasional ini merupakan rumah bagi 360 jenis flora, 107 jenis burung, 23 mamalia, 3 primata, 15 reptilia, 18 amfibia, dan 50 jenis ikan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

3. Tradisi Togak Tonggol

Togak Tonggol merupakan tradisi yang mendapat pengakuan UNESCO sebagai Wisata Budaya Takbenda (WBTB).  Togak Tonggol secara harfiah berarti mendirikan panji-panji kesukuan. Biasanya dilaksanakan masyarakat adat di Kecamatan Langgam.

Menurut Ketua Majelis Kerapatan Adat di Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar, tegaknya tonggol atau panji adat merupakan simbol keharmonisan antara anak kemenakan internal suatu suku ataupun antar suku di Langgam.

Panji adat tidak bisa didirikan selama upacara berlangsung jika hubungan internal suku bermasalah. Tetua adat diwajibkan berembuk sampai menemukan titik temu, sehingga panji bisa ditegakkan di tengah upacara.

4. Fenomena Bono di Sungai Kampar

Sungai Kampar yang terletak di Kecamatan Teluk Meranti terkenal melalui fenomena Bono. Itu merupakan gulungan ombak besar dengan ketinggian mencapai 4--6 meter. Lebarnya hampir selebar sungai, disertai bunyi yang keras.

Gelombang pada Sungai Kampar terjadi karena benturan tiga arus air, yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan aliran air Sungai Kampar sendiri. Ketiga arus ini berbenturan di muara Sungai Kampar dan mendesak ke hulu, sehingga terjadi fenomena yang merupakan satu-satunya di Indonesia.

3 dari 4 halaman

5. Tugu Equator

Tugu Equator didirikan sebagai tanda garis khatulistiwa melintas di atas Desa Lipat Kain. Titiknya ditemukan pertama kali pada era kolonial dan hanya ditandai dengan besi melingkar. Saat itu, "monumen" ini juga berfungsi sebagai gerbang penghubung dua desa, yaitu Desa Dusun Tiga pada sisi timur dan Jalan Pangkalan Lesung di bagian barat.

Kini, besi tersebut sudah diganti dengan tugu dengan lingkungan sekitar dibangun taman, rumah, serta masjid. 

6. Minuman Tradisional

Bertajuk "Air Mata Bejando," konon dulunya ini merupakan air mata istri yang ditinggal suami pergi berlayar dan tidak kembali. Bahan–bahan minuman tradisional ini terdiri dari dedaunan, rempah–rempah, buah atau hasil dari pepohonan yang disesuaikan dengan selera warga sekitar. (Gabriella Ajeng Larasati)

4 dari 4 halaman

Infografis Kesalahan Ketika Gunakan Masker Cegah COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.