Sukses

Sepatu-Sepatu Ramah Lingkungan untuk Hilangkan Pulau Sampah di Samudra Pasifik

Sekitar 40 lebih seniman dari seluruh dunia mencoba mencari cara menciptakan sepatu yang lebih ramah lingkungan untuk menarik donasi demi menghilangkan Pulau Sampah.

Liputan6.com, Jakarta - Pulau Sampah, dinamakan demikian karena merupakan sekumpulan sampah yang bergabung dan mengapung di Samudra Pasifik, tepatnya di antara Hawaii dan California. Luas wilayahnya mencapai 1,6 juta kilometer persegi dan mengandung sekitar 80 juta ton limbah plastik. Jumlahnya diyakini akan terus berlipat ganda setiap dekade.

Sekelompok seniman dan aktivis muda yang frustasi dengan tumpukan sampah itu berkolaborasi meluncurkan Sustainable Renew Lab. Bersama brand Converse AllStars, sebuah gerai virtual kemudian berdiri di atas Pulau Sampah. Lewat peluncuran itu, mereka tidak hanya berniat menunjukkan koleksi prototipe sepatu sustainable yang telah dikerjakan, tetapi juga untuk mengumpulkan donasi guna menutup Pulau Sampah itu.

Dalam rilis yang diterima Liputan6.com, beberapa waktu lalu, prototipe sepatu berkelanjutan dibuat oleh lebih dari 40 member All Stars dari berbagai negara. Nama-nama yang terlibat antara lain Maggie Zhou dan Varsha Yajman (Australia), Pedro Souza (Brasil), Dewi N. Sutrisno (Indonesia), Emma French (Amerika Serikat), Dulce Margarita Monjarat Leyva (Meksiko), dan SamkeloBoyde Xaba (Afrika Selatan). 

"Kami ingin mengubah sepatu paling ikonik menjadi yang paling ramah lingkungan," kata Miguel Carrillo, Direktur Pemasaran Converse. "Tapi, kita tahu kita tidak dapat melakukannya sendiri. Jadi  kita bersama-sama dengan All Stars–anak-anak muda progresif dari Bogotá hingga Bangalore-dan meminta mereka untuk membantu kita mencari cara untuk mencapainya," imbuh dia.

Beragam teknik diterapkan para kreator untuk menciptakan sepatu ramah lingkungan versinya. Dimulai dengan pemanfaatan pewarna alami yang berasal dari ekstrak tumbuhan, seperti warna biru tuaIndigo, warna merah dari akar Madder, dan warna kuning yang berasal dari Osage Bark. Ada pula yang menggunakan teknik Air Ink, yakni menyerap karbon langsung dari pipa knalpot dan mendaurulangnya menjadi tinta hitam yang dilukis dengan tangan di Chucks.

Lain lagi dengan Origen yang memanfaatkan kearifan lokal Meksiko pra-hispanik. Teknik itu memanfaatkan pewarna dari kumbang kaktus, Mangrove Wood, dan bunga marigold yang tersisa dari Dias De Los Muertos. Ada pula seniman yang memanfaatkan pewarna dari bakteri untuk mewarnai sepatu. Sifat pewarna dari bakteri tidak beracun dan bisa bersinar dalam gelap.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tidak Dijual, tapi...

Banyak sepatu yang ditampilkan adalah buatan tangan. Seluruhnya akan dirilis dengan produksi yang sangat terbatas. Beberapa koleksi tersebut bisa dilihat di gerai virtual tersebut. 

"Melihat sedikitnya jumlah sepatu serta ukuran sepatu dari prototipe yang tersedia untuk masyarakat umum, kami memutuskan untuk tidak menjual sepatu-sepatu tersebut, melainkan menggunakannya untuk hal yang lebih baik, yaitu di mana prototipe diberikan akan secara gratis kepada siapa saja yang menyumbang ke Take3.org melalui toko Virtual Renew Labs," jelas Carillo.

Toko tersebut juga akan menampilkan dan menjual Renew Crater, model pasar massal yang diklaim paling berkelanjutan dari Converse. Hasil dari inisiatif ini akan disumbangkan sepenuhnya kepada lembaga nonprofit yang berkomitmen untuk membersihkan plastik laut, dengan tujuan untuk membuang satu juta keping sampah.

"Dengan cara ini, setiap pasang sepatu yang 'dijual' membuat toko semakin dekat dengan fondasinya sendiri - dan menutupnya untuk selamanya," kata dia.

Bila kelak tujuan itu tercapai, pekerjaan rumah belum berarti selesai. Advokat Keadilan Iklim dan anggota All Satars yang memimpin peluncuran gerai virtual itu mengatakan, masih ada 80 ribu ton limbah plastik yang dilepaskan ke laut setiap tahun. Secara global, kurang dari 10 persen plastik didaur ulang.

"Jadi, meskipun menutup toko tidak akan mengakhiri masalah, kami berharap ini akan meningkatkan kesadaran bagi kita semua, dan generasi mendatang, untuk membantu menemukan solusi yang berkelanjutan," ucap Yajman.

3 dari 3 halaman

Eksistensi Sepatu-Sepatu Lokal

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.