Sukses

Curhat Perawat Berhijab di Singapura tentang Larangan Memakai Jilbab dalam Profesinya

Kebijakan berhijab bagi perawat baru-baru ini muncul kembali dalam debat Committee of Supply (COS) di Singapura.

Liputan6.com, Jakarta - Di Singapura, perempuan Muslim yang berprofesi sebagai perawat tidak diperbolehkan memakai hijab sebagai bagian dari seragam kerja mereka. Masalah ini telah maju-mundur dibahas selama bertahun-tahun, dan baru-baru ini muncul kembali dalam debat Committee of Supply (COS), menurut laporan Mothership Singapore, Senin (22/3/2021).

Farah, bukan nama sebenarnya, adalah seorang mahasiswa ketika pertama kali mengetahui bahwa ia tidak akan bisa memakai hijab saat bekerja sebagai perawat. Ia diberitahu dosennya bahwa perawat tidak bisa berhijab karena tujuan pengendalian infeksi, dan ia percaya alasan tersebut.

Sarah, juga bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa perawat berusia 21 tahun yang memiliki beberapa keterikatan dengan sejumlah rumah sakit, diberitahu hal serupa. "Bahkan, sebelum saya bergabung sebagai perawat, saya tahu bahwa kami tidak dapat berhijab karena tujuan pengendalian infeksi, yang saya sangat mengerti," tuturnya.

Meski keduanya memandang pengendalian infeksi sebagai alasan yang dapat dibenarkan, mereka masih memiliki pertanyaan. "Selama bertahun-tahun, saya menyadari bahwa dokter dan terapis dapat mengenakan hijab dan mereka juga berhubungan dekat dengan pasien. Jadi, mengapa perawat tidak dapat mengenakan jilbab saat bekerja?" kata Farah.

Pada 2013, Menteri Urusan Muslim Singapura, Yaacob Ibrahim, mengatakan bahwa mengenakan hijab akan "sangat bermasalah" dalam beberapa profesi yang membutuhkan seragam. Ia menambahkan bahwa masalah ini membutuhkan waktu untuk diselesaikan, dan pemerintah akan menemukan solusi praktis di tahun-tahun mendatang.

Kemudian, Wakil Perdana Menteri Singapura, Teo Chee Hean, juga mempertimbangkan kebijakan berhijab bagi perawat, dengan mengatakan bahwa pemerintah harus "menjaga keselarasan sosial secara keseluruhan." Ia menjelaskan bahwa setiap komunitas yang mendesak keprihatinannya sendiri harus mengingat bagaimana itu memengaruhi komunitas lain.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kekhawatiran Hubungan Perawat dengan Pasien

Baru-baru ini, Menteri Urusan Muslim Singapura saat ini, Masagos Zulkifli, menjelaskan di Parlemen bahwa kebijakan seragam Singapura dalam layanan publik "tidak dapat dimiringkan ke arah keyakinan agama tertentu."

Ia mengatakan bahwa mengizinkan hijab akan memperkenalkan penanda religius yang "sangat terlihat" dan mengidentifikasi pemakainya sebagai seorang Muslim. Ini berimplikasi signifikan, kata Masagos, karena pemerintah tidak ingin pasien mengungkap preferensi ingin dilayani perawat Muslim atau non-Muslim.

Kendati demikian, kebanyakan perawat merasa hal itu tidak akan memengaruhi hubungan dengan pasien. "Kami tidak terlalu mengetahui reaksi yang kami dapat dari pasien sampai kami benar-benar melakukannya suatu saat nanti," ucap Farah.

Para perawat mengakui bahwa mengenakan hijab memang dapat memicu diskriminasi dari pasien, namun mereka tidak percaya itu merupakan alasan yang cukup untuk melanggengkan kebijakan tersebut.

Sarah lebih lanjut menambahkan, "Beberapa pasien mungkin rasis atau bias. Tapi tetap saja, itu tidak berarti kita tidak boleh memakai hijab karena mereka. Mereka harus mengubah pola pikir mereka, kita tidak harus berubah untuk mereka."

Narasi serupa juga diungkap Maria, bukan nama sebenarnya, yang baru saja lulus dan akan mulai bekerja sebagai staf perawat penuh waktu pada April 2021. Ia mengatakan bahwa mayoritas pasien tidak membenci perawat Muslim.

Faktanya, berdasarkan percakapan dengan pasien sebelumnya, Maria mengatakan bahwa mereka tahu apa agamanya, bahkan tanpa berhijab, dan mereka baik-baik saja.

Maria menambahkan bahwa ia telah menyajikan makanan yang mengandung daging babi pada seorang pasien, dan bahwa pasien tersebut merasa tidak enak karena ia harus melayaninya. "Tapi, ini pekerjaan saya dan saya akan terus melayani mereka tanpa memandang ras atau agama," katanya.

3 dari 4 halaman

Yakin Ada Perubahan

Hijab sendiri memiliki arti yang berbeda bagi setiap individu dan pengalaman tidak dapat memakainya di tempat kerja memengaruhi setiap wanita Muslim secara berbeda. Bagi Azlin, bukan nama sebenarnya, tidak berhijab membuatnya merasa kehilangan sebagian identitas.

Izzah, juga bukan nama sebenarnya, menjelaskan bahwa mengenakan hijab adalah "simbol kedekatan dengan Tuhan, Pencipta saya." Karena Izzah adalah perawat di ruang operasi (OT), ia tidak mengenakan seragam perawat setiap hari.

"Jadi, untuk menghibur diri, secara teknis kami masih tertutup. Seperti, rambut kami masih tertutup. Kami tidak terlalu diekspos sebanyak teman-teman kami yang berseragam,” terangnya.

Beberapa bahkan telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat karena kebijakan berhijab tersebut. Dilema ini diakui Masagos di Parlemen ketika mengatakan bahwa ia berempati dengan wanita Muslim yang mungkin merasa sulit memilih mempertahankan profesi yang tidak memungkinkan mereka memenuhi tugas agama dan profesional pada saat bersamaan.

"Di Singapura, kami memiliki orang-orang dari ras yang berbeda dan kami harus menerima perbedaan mereka," kata Sarah, mengatakan bahwa kebijakan itu "agak konyol" baginya.

Beberapa perawat juga menyoroti contoh dari negara lain yang memperbolehkan hijab dalam profesi garis depan. Maria berharap suatu saat Singapura akan lebih "berpikiran terbuka," seperti negara-negara termasuk Selandia Baru, di mana pegawai negeri diperbolehkan berhijab.

Izzah juga berpendapat bahwa kebijakan hijab harus diubah, mencatat bahwa kemajuan seragam tenaga medis telah dicapai selama satu dekade terakhir. Saat Izzah masih mahasiswa, perawat hanya diperbolehkan memakai baju perawat selutut dengan stocking berwarna kulit atau tanpa stocking sama sekali.

Pada saat Izzah mengambil diploma lanjutan pada tahun 2012, perawat diberi pilihan mengenakan setelan celana dan bukan gaun, berdasarkan tingkat kenyamanan mereka. "Saya pikir itu semacam kemajuan, dalam arti tertentu, menuju inklusivitas," katanya.

4 dari 4 halaman

Hati-Hati, Ini 5 Gejala Batuk Akibat COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.