Sukses

Mengapa Air Minum Kemasan di Indonesia Belum Sepenuhnya Gunakan Plastik Daur Ulang 100 Persen?

Salah satu produsen mengaku publik merespons postif terhadap produk air minum kemasan berbahan plastik daur ulang, tetapi kenapa belum berani terapkan seratus persen?

Liputan6.com, Jakarta - Tekanan mengurangi sampah plastik memaksa produsen berinovasi. Salah satunya dengan memproduksi air minum kemasan menggunakan plastik daur ulang seratus persen dan menghilangkan bahan plastik yang tidak perlu, seperti label.

Faktanya, mayoritas air minum kemasan yang dijual di pasar Indonesia masih didominasi oleh kemasan berbahan baku plastik virgin. Kalau pun ada, distribusinya masih terbatas di area tertentu, terutama di daerah yang tegas melarang penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Apa sebenarnya yang terjadi?

Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Danone Indonesia, menjelaskan pangkal utamanya terletak pada nilai investasi yang cukup tinggi. Biaya untuk membeli kemasan plastik daur ulang yang berkategori food grade tidak murah.

Ia menyebut banyaknya sampah plastik kemasan yang tidak terpilah dengan baik berkontribusi terhadap tingginya ongkos untuk mengolah kemasan plastik bekas menjadi bahan baku plastik daur ulang.

"Collection cost-nya tinggi, tapi kita yakin ada opportunity. Optimalisasi pengumpulan jadi penting, dan edukasi masyarakat juga sangat penting tentang kenapa harus produk ini, bukan yang lain," kata Karyanto dalam webinar Virtual Tour #BijakBerplastik Danone-AQUA & Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa, 2 Maret 2021.

Masalah lainnya adalah tentang memastikan kualitas produk. Masih ada masyarakat yang menganggap penggunaan kemasan daur ulang dalam produk tidak aman untuk kesehatan. Padahal, kemasan plastik yang akan dipakai harus melewati pengujian agar keamanannya terjamin.

"Kita harus hati-hati agar semua standar terpenuhi," ujarnya. Sejauh ini, ia mengklaim kemasan produk air minum yang digunakan rata-rata sudah mengandung 25 persen bahan plastik daur ulang.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Bisa Sendirian

Karyanto menyatakan produsen tak bisa sendirian mengatasi masalah tersebut. Karena mengadopsi ekonomi sirkular, partisipasi aktif para pemangku kepentingan jadi kunci kesuksesan, terutama dari masyarakat umum.

Sebagai awalan, ia mengusulkan agar pemerintah membuat semacam green procurement yang memungkinkan jajaran pemerintahan untuk mengutamakan konsumsi produk ramah lingkungan. Itu dipandang bisa memacu perubahan pola pikir masyarakat lebih cepat.

"Itu contoh stimulus yang bisa diberikan pemerintah," ucap dia.

Hal tersebut disambut baik oleh Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian LHK, Novrizal Tahar. Ia bahkan menyatakan tak hanya pemerintah, para pesohor juga bertanggung jawab untuk mempromosikan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan produk terkait agar gaungnya bisa berdampak kepada perilaku masyarakat.

"Minimal lifestyle, tapi lebih tinggi dari itu adalah prinsip hidup atau jalan hidup. Public figure sampaikan ke publik soal barang-barang yang lebih ramah lingkungan agar demand-nya juga meningkat," jelasnya.

Seiring peningkatan konsumen yang meningkat, dunia pun agar bergerak ke ekonomi sirkular. Dengan begitu, suplai yang tersedia bisa bertambah dan menekan biaya produksi secara signifikan.

"Kalau dukungan masyarakat memilah sampah meningkat sehingga collecting system punya plastik yang berkualitas, bersih dan baik, maka sirkular economy jadi realitas maksimal. Kita harus besarkan ekonomi sirkular dari hulu sampai ke hilir," papar Novrizal.

3 dari 3 halaman

Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.