Sukses

6 Fakta Unik tentang Singkawang, Kota Seribu Kelenteng

Singkawang pernah dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia pada 2018. Apa saja keunikan kota di Kalimantan Barat itu?

Liputan6.com, Jakarta - Singkawang di Kalimantan Barat ramai jadi perhatian saat dinobatkan sebagai peringkat pertama Kota Paling Toleran di Indonesia 2018 oleh Setara Institute. Penghargaan itu dianggap tepat lantaran kehidupan harmonis masyarakatnya yang majemuk.

Singkawang juga dikenal dengan banyak sebutan, mulai dari Kota Amoi, Kota Seribu Kuil, hingga Hong Kong van Borneo. Kota itu menjadi salah satu pusat penyelenggaraan perayaan Imlek di Indonesia, selain Semarang dan Jakarta. Hal ini karena Singkawang menjadi tempat tinggal etnis Tionghoa terbesar di Indonesia.

Kota Singkawang, berasal dari kata 'San Kew Jong' dalam bahasa Hakka. Artinya, kota di kaki gunung dekat muara laut, atau kota di antara gunung dan laut. Lokasinya berjarak sekitar 145 kilometer sebelah utara dari Kota Pontianak, ibu kota provinsi Kalimantan Barat, dan dikelilingi oleh pegunungan Pasi, Poteng, dan Sakok.

Di luar itu, masih banyak fakta unik lain terkait Singkawang. Berikut rangkumannya seperti dilansir Liputan6.com dari berbagai sumber, Sabtu, 23 Januari 2021 :

1. Destinasi Perayaan Cap Go Meh

Singkawang merupakan destinasi yang ideal buat para turis yang ingin menikmati kebudayaan Indonesia. Salah satu budaya yang masih cukup kental di Singkawang adalah Festival Cap Go Meh, perayaan yang dilakukan pasca-Imlek, tepatnya hari ke-15 imlek.

Rangkaian acara dimulai dari beberapa hari sebelum Cap Go Meh, dengan pawai lampion dan pemberkatan tatung di vihara-vihara. Tatung adalah orang yang dirasuki roh leluhur atau para dewa. Mereka menjadi kebal, tidak merasa sakit atau berdarah saat badannya ditusuk besi tajam dan disayat golok tajam.

Tujuan utama tatung adalah membersihkan kota dari roh-roh jahat agar masyarakat diberkati sepanjang tahun. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik ramainya kota Singkawang di awal tahun. Para Tatung digiring mengelilingi kota dan dilakukan pada pagi hari. Pertunjukan ekstrem ini merupakan kegiatan tahunan masyarakat etnis Tionghoa di Singkawang.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

2. Vihara dan Masjid Tertua Bertetangga di Singkawang

Salah satu wujud tingginya tingkat toleransi beragama di kota Singkawang adalah keberadaan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berseberangan dengan Masjid Raya, yang merupakan masjid terbesar di Kota Amoy itu.

Vihara yang populer dengan sebutan Pekong Toa ini sudah berusia hampir 200 tahun. Sampai sekarang vihara ini menjadi vihara utama di Singkawang. Semua tatung yang berparade di hari Cap Go Meh harus diberkati terlebih dahulu di sini agar mendapat kesaktian.

Sementara itu, bangunan asli Masjid Raya sudah berdiri sejak 1885. Tetapi, bangunan baru didirikan lebih megah pada 1936 untuk menggantikan masjid yang habis terbakar. Apabila dilihat dari sisi Vihara, terlihat seolah kedua tempat ibadah itu bersisian satu sama lain.

3. Kerukunan Antarumat Beragama

Kota Singkawang memiliki kerukunan antar-umat beragama yang sangat tinggi. Penduduknya mayoritas Melayu, Tionghoa, dan Dayak. Masjid dan vihara tertua yang bertetangga tadi adalah salah satu contoh kerukunan tersebut.

Masyarakat yang meyaksikan pertunjukan Cap Go Meh pun tidak hanya masyarakat Tionghoa, akan tetapi dari berbagai suku dan agama lainnya juga turut menyaksikan. Begitu pula saat perayaan agama lain, seperti menjelang Lebaran, penduduk lain yang nonmuslim pun ikut memeriahkan acara. Akulturasi budaya di kota ini sangat kental dengan sikap saling menghormati satu sama lain yang tetap terjaga.

 

 

3 dari 5 halaman

4. Perumahan Tionghoa Berusia Lebih dari Seabad

Di sekitar Pekong Toa terdapat sebuah kawasan yang bisa dibilang masih cukup tradisional. Lokasi tepatnya di Gang Mawar, di samping Sungai Singkawang.

Di kawasan ini ada beberapa rumah Tionghoa yang berusia lebih dari seratus tahun, lengkap dengan ruang serbaguna dan kelenteng kecil khusus untuk penghuni kawasan. Walaupun sudah direnovasi, model dan fungsi bangunannya masih dipertahankan seperti aslinya. Tidak sedikit para wisatawan yang berkunjung ke tempat ini.

5. Patung Naga di Tengah Kota

Bagi orang Tionghoa, naga melambangkan kekuatan dan keberuntungan. Tidak heran bila banyak patung naga di Kota Singkawang itu. Salah satunya adalah patung naga di tengah kota, tepatnya di persimpangan Jalan Kempol Mahmud dan Jalan Niaga.

Uniknya, patung naga dibuat menghadap cenderung ke atas, bukan ke samping seperti biasanya. Ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa toko yang berhadap-hadapan dengan naga akan bernasib sial sehingga tak ada pemilik toko yang mau kalau patung naga dibuat menghadap tokonya.

Karena dikelilingi toko di segala penjuru, patung ini dibuat menghadap cenderung ke atas, setidaknya badannya yang melilit dari bawah ke atas. Jadi, semua bisa dapat keberuntungan (hoki).

 

 

4 dari 5 halaman

6. Kota Seribu Kelenteng

Kota Singkawang di Kalimantan Barat dikenal memiliki arsitektur khas oriental. Sejumlah rumah bergambar naga dan bangunan kelenteng, rumah ibadah warga keturunan Tionghoa, menunjuk tegas siapa pemiliknya. Ini tak heran karena sekitar 42 persen penduduknya adalah warga etnis Cina atau Tionghoa.

Masyarakat Tionghoa, khususnya etnis Hakka, adalah penyebar kepercayaan konfusianisme di sana. Hal ini tergambar dari banyaknya kelenteng yang tersebar di Kota Singkawang. Tak heran jika Kota Singkawang juga dijuluki dengan Kota Seribu Kelenteng.

Salah satu dari deretan kelenteng yang terletak di tengah kota ini adalah Vihara Tridarma Bumi Raya. Umur kelenteng ini diperkirakan sekitar 200 tahun.

Selain itu, ada pula pekong atau kelenteng Surga Neraka yang terletak sekitar 12 kilometer dari Singkawang. Pekong ini terletak di sebuah bukit yang membuat pengunjung bisa menikmati pemandangan kota yang dikelilingi laut dan hutan.

Kelenteng Surga Neraka mempunyai beberapa ruang. Ada ruangan yang dindingnya ditempeli rangkaian gambar yang memperlihatkan tahapan hidup hingga meninggal yang harus ditempuh manusia.

Sejumlah gambar dewa maupun dewi terpajang di dinding. Selain itu ada pula ruang yang memperlihatkan perbuatan apa apa saja yang dilakukan manusia saat masih hidup di dunia. Ada juga bilik yang berfungsi untuk memberikan falsafah hidup. (Melia Setiawati)

5 dari 5 halaman

Imlek di Indonesia dari Masa ke Masa

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.