Sukses

Fesyen Berkelanjutan Tak Hanya Soal Perubahan Iklim tapi Isu HAM

Mengadopsi kultur fesyen berkelanjutan juga berarti memastikan pekerja pembuat busana tersebut digaji secara layak.

Liputan6.com, Jakarta - Melampaui semata perubahan iklim, berbelanja secara berkelanjutan berarti memilih pakaian yang dibuat pekerja dibayar dengan upah adil. Juga, mereka bekerja dalam kondisi yang aman.

Melansir laman Vogue US, Kamis, 5 November 2020, Ayesha Barenblat telah mendidik masyarakat tentang hal ini selama 15 tahun terakhir sebagai penasihat dan ahli strategi untuk PBB dan Bank Dunia, serta untuk merek kenamaan, seperti Nike dan H&M.

Pada 2017, ia mendirikan Remake, organisasi non-profit milenial dan perempuan Generasi Z yang bertujuan mengakhiri fast fashion dan kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan, serta mereka yang bekerja di dalamnya.

Menurut EPA, 11,2 juta ton tekstil berakhir di tempat pembuangan sampah pada 2017. Di Bangladesh dan pusat manufaktur lain di seluruh dunia, jutaan orang kehilangan pekerjaan utama mereka karena merek besar membatalkan pesanan saat pandemi melanda.

Remake menjalankan misinya dengan mengadakan acara komunitas, program pendidikan, serta kampanye dan tantangan media sosial baru yang disebut #NoNewClothes. Ide seputar kampanye ini adalah untuk mendorong mengganti kebiasaan belanja produk terbaru atau membeli dari merek fesyen cepat dengan sesuatu yang lebih cerdas.

Entah itu berarti menghentikan konsumsi pakaian sepenuhnya, menggunakan platform pertukaran atau persewaan, upcycling, maupun membeli barang vintage dan konsinyasi. Remake meminta peserta untuk mengikuti tantangan mengadopsi kultur fesyen berkelanjutan selama 90 hari pada pertengahan tahun 2020.

“Kami benar-benar menganggap ini sebagai diet mode,” kata Barenblat. "Kami akan mengambil tantangan ini untuk mengatur ulang hubungan dengan lemari kami, mencatat apa yang kami miliki, dan melakukannya selama musim panas."

Organisasi tersebut juga meminta anggota komunitasnya membagikan penampilan, serta mengadakan diskusi seputar upcycling. “Ini seharusnya jadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan komunitas, bukan sesuatu yang preskriptif,” kata Barenblat.

"Harapannya adalah kami akan menekan jeda pada pembelian sehingga dapat memasuki musim gugur dan kami akan benar-benar memahami berapa banyak yang sebenarnya kami butuhkan,” sambungnya soal praktik fesyen berkelanjutan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Beli dari Merek Kecil Paling Membutuhkan

Remake akan mengumpulkan data yang disusun anggota komunitasnya selama 90 hari. Termasuk di dalamnya persentase emisi yang disimpan dan jumlah limbah yang dihindari.

Insentif lain bagi peserta adalah mereka akan menghemat uang musim panas ini. Meski demikian, Barenblat menekankan fakta bahwa kampanye ini bukan tentang membujuk orang berhenti membeli dari merek kecil dan bisnis berkelanjutan yang paling membutuhkan di tengah pandemi.

Sebaliknya, ini tentang memahami bagaimana rantai pasokan mode cepat sebenarnya beroperasi. Kampanye Remake lainnya Pay Up adalah petisi daring yang ditandatangani lebih dari 52 ribu orang sejak awal April. 

Mereka menyoroti fakta bahwa beberapa merek fesyen terbesar di dunia berhutang lebih dari tiga miliar dolar Amerika pada pabrik garmen di Kamboja, Myanmar, dan Bangladesh untuk pesanan yang dibatalkan. Pada Juni 2020, kampanye tersebut telah membantu membuka 600 juta dolar Amerika pesanan dan gaji kembali untuk pekerja di Bangladesh, serta 7,5 miliar dolar Amerika dalam pesanan secara global.

Seperti yang ditunjukkan Barenblat, kampanye Pay Up dan No New Clothes dirancang untuk mengirim pesan ke merek-merek besar bahwa jika mereka tak membayar gaji untuk pesanan yang berasal dari bulan Maret, publik tak akan mengeluarkan uang untuk membeli produk-produk label tersebut.

Ia menambahkan, "Ini juga merupakan sinyal bagi industri secara keseluruhan bahwa jika Anda tak melakukan hal yang benar untuk planet kita dan orang-orangnya, itu bukan masa depan mode."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.