Sukses

Islam di Mata Warga Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok

Menyimak mulai dari awal mula, geliat, sampai pandangan warga lokal Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok terhadap Islam.

Liputan6.com, Jakarta - Berbeda dengan Indonesia, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok merupakan negara di mana penganut Islam jadi minoritas. Kendati dalam skala tak sebegitu besar, bukan berarti geliatnya tak ada sama sekali.

Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Saiful Hakam mengatakan, Kristen Protestan dan Buddha adalah dua agama mayoritas di Negeri Ginseng.

"Islam bagi warga Korea lebih dipandang ke bidang ekonomi. Tahun 70-an ketika orang Korea pergi ke Timur Tengah untuk bantu bangun infrastruktur, sekian banyaknya masuk Islam. Islam itu lekat dengan kepentingan ekonomi saat itu, yakni goal untuk impor minyak," tuturnya dalam 'Bincang Ramadan Jumpa Islam di Asia Timur' oleh Kewilayahan LIPI secara daring, Jumat (8/5/2020).

Pandangan ini kian melekat setelah kultur pop Korea digilai, termasuk oleh negara-negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia. Mereka kemudian melihat penganut Muslim sebagai pasar potensial. Alhasil muncullah canangan halal tourism yang beberapa tahun belakangan nyaring terdengar.

 "Komunitas Muslim di sini kebanyakan migran, pekerja asing. Jadi, bersentuhan dengan budaya Korea hanya di tempat kerja. Mereka hidup seolah terpisah dan punya dunia sendiri, mengingat Muslim di sini termasuk minoritas," sambungnya.

Firman Budianto, juga Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI yang sudah dua tahun tinggal di Jepang mengatakan hal serupa. Karena penganut Islam adalah minoritas, mereka hidup seperti di dunia sendiri di Negeri Matahari Terbit.

"Di sini, ada juga Muslim yang bekerja secara profesional. Karenanya, mereka mungkin bisa masuk ke masyarakat Jepang lebih luas, memperkenalkan konsep halal di tempat mereka bekerja. Tapi, bukan dalam konteks saling memengaruhi," tuturnya pada kesempatan yang sama

"Islam di Jepang lebih bisa dilihat di komunitas atau individu karena negara notabene tak mengakui agama. Itu dijalankan terpisah bagi masing-masing orang. Jadi, tak ada libur Idul Fitri atau Natal seperti di Indonesia," sambung Firman.

Sementara, menurut Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI Prima Nurahmi di kesempatan yang sama, Islam karena sudah berkembang sangat lama di Tiongkok pun telah berpadu dengan kultur setempat.

"Karena imam besar di Xi'an pernah belajar di Malaysia, mereka lebih tahu Muslim di sana. Pas tanya ke saya dari mana dan saya jawab dari Indonesia, mereka sedikit bingung, tidak tahu Indonesia," ungkap Prima.

"Soal interaksi dengan mayoritas, di sini (etnis) Han, (etnis) Hui yang notabene pemeluk Islam aktif berkomunikasi. Mereka terlibat dan berusaha menjalin hubungan yang sangat harmonis. Dengan begitu, gesekannya tak separah dengan Uighur," papar Prima.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perkembangan Islam

Ketimbang Tiongkok dan Korea Selatan, Jepang jadi yang paling baru mengenal Islam. Firman menjelaskan, ajaran Islam masuk ke Negeri Sakura pada tahun 80-an, seiring banyaknya migran.

"Migran ini maksudnya pekerja asing, bukan pengungsi karena Jepang terima hanya menerima sangat sedikit pengungsi. Mereka berasal dari Pakistan, Bangladesh, Iran, dan menyusul Indonesia," paparnya.

Setelah menetap, sebagian dengan menikahi orang Jepang untuk dapat izin tinggal, mereka membangun komunitas. Dari situ, para migran mulai mendirikan masjid dan berbagai usaha dengan pengenalan konsep halal.

"Beberapa (musalah) bahkan sudah ada yang sudah diubah ke masjid," tuturnya. Sementara, Korea Selatan berkenalan dengan ajaran Islam di masa perang tahun 50-an.

"Awalnya tentara Turki yang merupakan resimen kedua setelah Amerika Serikat yang membantu Korea di masa perang. Mereka mendirikan masjid darurat untuk ibadah. Disambung tahun 70-an saat kepentingan ekonomi dengan Timur Tengah dibangun. Disusul mulai banyaknya migran dari Asia Selatan," jelas Hakam.

Hingga pada 1976, dengan bantuan pemerintah Korea dan dipengaruhi gaya arsitektur khas Turki, Seoul Central Mosque dibangun. "Sekarang masjid ini malah jadi refleksi migran karena yang salat dan datang dari banyak etnis, serta negara. Nuansa Korea atau orang Koreanya sendiri masih jarang," paparnya.

Eksistensi masjid di kawasan Itaewon ini kemudian didukung dengan munculnya berbagai kafe dan restoran halal didominasi kuliner Turki, Pakistan, juga Indonesia.

Sebagaimana di Korea Selatan, Firman menyambung, masjid di Jepang juga punya fungsi sosial unttuk memberi kenyamanan, serta ketenangan dari hiruk-pikuk kehidupan, sekaligus sebagai ruang transnasional.

 

Berbicara Islam di Negeri Tirai Bambu, Prima menjelaskan setidaknya ada empat wliayah besar yang bisa disoroti, yakni Quanzhou, Beijing, Xi'an, dan Guangxi.

"Quanzhou sendiri terkenal lewat  makam dua sahabat Rasulullah yang disebut datang saat syiar Islam di masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan." paparnya

"Sekarang sudah ada 39 ribu masjid tersebar di seluruh penjuru Tiongkok, dan Islam sebenarnya dianut setidaknya 10 etnis, tak hanya Uighur yang sudah sering orang dengar," sambung Prima.

Pengaruh Islam pun berasimilasi dengan budaya lokal. Hal ini tampak di bangunan masjid maupun pemakaian hijab oleh perempuan Muslim di wilayah tertentu.

 

3 dari 3 halaman

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.