Sukses

Ekspor UKM Masih Sedikit, Penguasaan Teknologi Digital Mutlak Dibutuhkan

Untuk produk fesyen, hal pertama yang harus dilakukan untuk memasuki pasar luar negeri adalah membangun merek.

Liputan6.com, Jakarta - Ekosistem digital yang telah terbentuk di negara-negara maju mendorong pelaku UKM (Usaha Kecil dan Menengah) Indonesia untuk memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi dalam melakukan penetrasi pasar luar negeri.

Data dari PPEI Kemendag menunjukkan di 2019, ada 41 UKM yang telah melakukan ekspor dengan produk seperti furnitur, gula kelapa semut, kapuk, buah dan sayuran, serta makanan dan minuman dari total 75 peserta yang mendapat pendampingan. Tentunya jumlah ini masih sangat sedikit, perlu lebih banyak UKM yang masuk ke pasar internasional.

Hal ini dikemukakan oleh pengamat strategi korporasi dan pemasaran dari Universitas Bina Nusantara Asnan Furinto saat ditemui di Jakarta, 28 Maret 2020. Menurutnya, kemampuan menggunakan tools dan platform e-commerce untuk go international sudah harus dimiliki oleh UKM.

“Selain itu, kemampuan intelijen seperti identifikasi kebutuhan pasar di sebuah negara, strategi penetrasi, akses dan survei pasar melalui internet juga harus dikuasai. Pelaku UKM juga harus memahami aspek legal administrasi seperti prosedur ekspor, negosiasi, sistem pembayaran, kontrak dagang, dan sistem manajemen keamanan,” ungkapnya.

Untuk produk fesyen, dosen Program Doctor of Research in Management (DRM) Binus ini mengungkapkan bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk memasuki pasar luar negeri adalah membangun merek.

“Fesyen jangan dianggap seperti komoditas atau barang generik, apalagi sebagai barang curah. Merek adalah modal yang kuat sekaligus aset yang akan membuat produk dikenal pasar ekspor. Dan tentunya sebagai awal dari membangun basis pelanggan yang loyal,” terangnya.

Sejalan dengan itu, pelaku UKM produk fesyen asal Bandung Cottonology berencana melakukan ekspansi ke pasar Asean. Carolina Danella Laksono, pendiri sekaligus CEO Cottonology, mengkalkukasikan bahwa pasar Asean cukup besar dan memiliki potensi yang menarik.

“Ada lebih dari 600 juta jiwa penduduk Asean, mulai dari Singapura, Malaysia, Thaliand dan sebagainya. Jika kita ambil 0,1 persen saja, maka kami sudah memiliki pasar 600 ribu orang. Dengan konsumen sebesar itu, banyak sekali efek dominonya,” jelas Carolina.

“Pertama, kami akan membutuhkan tenaga kerja baru dan ini membantu pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran. Selain itu, kami pasti akan menambah mitra-mitra penjahit baru di mana mereka juga masing-masing sudah punya karyawannya sendiri,” lanjut mojang asal Bandung tersebut.

Carolina menambahkan, ekspor membuat kualitas produk dalam negeri meningkat dan siap bersaing di pasar global.

“Kami saat ini sedang proses untuk mendapatkan sertifikasi ISO. Standarisasi dan sertifikasi ini akan menjamin produk UKM kami lebih aman dari pencurian hak cipta. Selain itu, juga bermanfaat sebagai aset UKM itu sendiri. Dan ke depan juga bisa memberi kemudahan dalam pengembangan usaha antara lain melalui waralaba dan lisensi,” tuturnya.

Menurutnya, kalau nanti Cottonology sudah menjadi merek global, tentu peluang dipalsukan juga banyak. “Dengan adanya sertifikasi, secara hukum kami bisa menuntut dan secara bisnis kami bisa tetap tumbuh tanpa khawatir akan “diganggu” oleh pembajak hak cipta yang memang sudah sangat banyak di pasar global.

”Ekspor bagi Cottonology bukan sekedar membuka peluang penjualan baru, namun lebih mengarah kepada memperkenalkan Indonesia ke dunia melalui fesyen. “Intinya kami ingin sharing value, bukan sekedar selling value,” imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini