Sukses

Kemajuan Kesetaraan Gender Melambat, Bagaimana Status Indonesia?

Pengarusutamaan gender menjadi kata kunci untuk mewujudkan kesetaraan gender. Tapi, bagaimana pengaplikasiannya sejauh ini di Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta - Secara global, kemajuan menuju kesetaraan gender mulai melambat. Dalam laporan UNDP 2020 Human Development Perspectives, dengan laju yang ada sekarang, dunia membutuhkan 257 tahun untuk mengatasi kesenjangan gender. 

Global Gender Gap Report 2020 dari World Economic Forum menempatkan Indonesia pada posisi ke 85 dari 153 negara dalam hal kesetaraan gender. Padahal, keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam setiap aspek pembangunan menjadi penentu dalam memastikan pemenuhan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

Secara konseptual kesetaraan gender merujuk pada kesamaan akses dan kesempatan tanpa membedakan gender, terutama untuk mencapai kesempatan dalam ketenagakerjaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Menanggapi timpangnya relasi gender yang disebabkan oleh berbagai macam persoalan, termasuk ekonomi dan budaya di setiap negara, diskursus kesetaraan gender di tingkat internasional menyoroti pentingnya implementasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan.

"Pengarusutamaan gender bukanlah upaya untuk memberi keadilan pada satu gender atau kelompok tertentu saja, melainkan untuk semua," kata Diah Saminarsih, Senior Advisor on Gender and Youth to the WHO Director General, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Kamis (12/3/2020)

Dalam pembangunan kesehatan, kesetaraan gender memiliki daya ungkit mewujudkan target-target kesehatan karena kelompok perempuan, kelompok rentan, dan minoritas kerap menghadapi kendala dalam mengakses pelayanan kesehatan dasar akibat norma sosial dan budaya.

"Pendekatan transformatif gender adalah sebuah cara membangun norma-norma baru untuk memenuhi hak setiap orang dalam mengakses pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan perempuan dan pelibatan kelompok pria dalam diskusi," ujarnya lagi.

Pengarusutamaan gender adalah serangkaian kegiatan, dari perencanaan hingga evaluasi, yang mempertimbangkan dampak sebuah kebijakan terhadap kelompok rentan dan minoritas gender, termasuk perempuan dan gender minoritas lainnya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.

Pemerintah berkomitmen untuk mengupayakan pengarusutamaan gender di Indonesia melalui Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional. Sejak itu, kementerian dan lembaga pemerintahan menerapkan PUG sebagai rencana pembangunan. Namun, hasil evaluasi berbagai indeks gender menyatakan pemerintah harus lebih berupaya mendorong kesetaraan gender dalam pembangunan.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), lembaga think tank pembangunan kesehatan, menekankan pentingnya implementasi pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi dalam mencapai kesetaraan gender. Pada diskusi bertajuk Ruang.Temu Edisi Tematik Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan melalui live di kanal Youtube CISDI TV, CISDI menyatakan bahwa penerapan perspektif gender, terutama oleh berbagai pihak yang berkepentingan, adalah sebuah prasyarat terwujudnya pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

 

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pelibatan Semua

Dalam pembangunan kesehatan, isu gender menjadi penting karena gender merupakan determinan kesehatan yang berinteraksi dengan faktor lainnya dalam kesehatan, seperti kelas sosial, ras, dan etnis. Pendekatan gender dalam kesehatan mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang berperan penting dalam menentukan status kesehatan dan kesejahteraan individu. Sebagai contoh, kematian ibu di Indonesia masih di angka 305/100.000 kelahiran hidup, pun kematian pria akibat tuberkulosis, kecelakaan, dan alkohol jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Data WHO pada 2019 menyebut 70 persen tenaga kesehatan di seluruh dunia adalah perempuan. Maka itu, lensa gender menjadi sudut pandang yang signifikan dalam intervensi kesehatan mengingat saat ini 70 persen tenaga kesehatan di seluruh dunia adalah perempuan (WHO, 2019).

WHO telah mengintegrasikan posisi gender, keadilan, dan hak asasi manusia dalam satu kesatuan sebagai cara untuk mencapai kesehatan bagi semua. Maka itu, berbagai upaya implementasi pengarusutamaan gender melalui proses integrasi, intervensi, dan dialog harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah namun berbagai pihak untuk mencapai kesetaraan gender.

"Pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini, CISDI sebagai think tank yang berfokus pada pembangunan kesehatan, menyadari betapa isu gender seringkali menjadi hambatan dalam penyelesaian masalah kesehatan," ujar Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI.

Untuk itu, CISDI berkomitmen untuk terus mendorong pengarusutamaan gender dalam berbagai lini pembangunan serta keterlibatan berbagai pihak untuk menciptakan kesempatan yang sama untuk semua gender, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga laki-laki dan kelompok gender minoritas lainnya.

Olivia juga menambahkan bahwa perempuan bukan satu-satunya yang diuntungkan dari kesetaraan gender. Laki-laki, tambahnya, juga semestinya terlibat dalam upaya memutus rantai perkawinan anak, angka putus sekolah, kekerasan berbasis gender, dan segala bentuk ketidakadilan yang berimplikasi serius terhadap permasalahan kesehatan serta memiliki konsekuensi pada kondisi ekonomi dan kesejahteraan.

Situasi kesetaraan gender yang masih rendah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih oleh semua pihak, baik oleh pemerintah maupun elemen lainnya seperti media, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Pelibatan laki-laki dalam diskursus gender sangat diperlukan.

Laporan WHO terbaru di 41 negara menunjukkan, pada kelompok masyarakat yang lebih setara secara gender, laki-laki memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi. Pertumbuhan ekonomi dan sosial negara pun memiliki dampak positif dengan adanya kontribusi dari kelompok perempuan.

"Untuk itu, CISDI menganggap kebijakan seperti RUU Ketahanan Keluarga yang dibangun tanpa menggunakan lensa gender justru akan berdampak buruk pada pembangunan secara luas. Ditambah dengan tidak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, situasi ini berpotensi membiarkan terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi akses kesehatan pada kelompok perempuan, dan merebaknya stigma pada orang dengan kondisi kesehatan tertentu seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, dan depresi," tutup Olivia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.