Sukses

Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Terbuat dari Putih Telur, Mitos atau Fakta?

Pulau Penyengat merupakan hadiah pernikahan seorang sultan untuk permaisurinya.

Liputan6.com, Jakarta - Kemegahan Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat menyimpan sejuta cerita dan sejarah kejayaan di masa lalu. Menurut catatan Raja Hamzah Yunus, sejarawan Pulau Penyengat, masjid pertama kali terbuat dari kayu.

Pada 1803, Pulau Penyengat menjadi hadiah pernikahan seorang sultan untuk permaisurinya yakni Raja Hamidah. Terjadi tahap perluasan, di mana saat selesai dibangun Raja Hamidah tinggal di Pulau Penyengat kurang lebih selama dua tahun, penduduk pulau ini kian ramai.

"Pada masa itu, Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda VI diperintahkan untuk menjadi Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat awalnya di Pulau Bayan pindah ke Pulau Penyengat untuk membantu adiknya yaitu Raja Hamidah. Pada masa Raja Jakfar itulah dilakukan perluasan karena (penduduk) semakin banyak," kata Nurfatilla, interpreter Pokdarwis di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

Sementara masjid beton yang saat ini berdiri kokoh dan terselip kisah tersendiri. Pada masa Yang Dipertuan Muda VII yaitu Raja Abdurrahman tepat pada 1 Syawal 1832, Raja Abdul Rahman mengumumkan mengajak seluruh masyarakat untuk saling bergotong royong membangun masjid.

"Raja Abdurrahman ikut turun dalam pembangunan masjid. Ada berita beredar, masjid dari putih telur. Pada masa pembangunan tidak ada perencanaan untuk penggunaan putih telur," lanjut Tilla, begitu ia akrab disapa.

Lewat cerita yang berkembang di masyarakat, banyak penduduk dari luar dan dalam Pulau Penyengat yang menyumbangkan telur untuk makan para pekerja.

"Saking banyak, jadi pekerja India yang didatangkan dari Singapura mereka bilang kalau di tempat (mereka) putih telur bisa dijadikan bahan perekat bangunan jadi berkembang seperti itu," ungkap Tilla.

Di dalam kompleks Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat juga terdapat dua balai yang biasanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Ada pula dua bangunan lain.

"Kita menyebutnya rumah sotoh atau rumah terbuka fungsinya sebagai tempat belajar masyarakat. Pihak kerajaan mendatangkan syekh, ustad untuk mengajarkan kepada masyarakat. Di sebelah itu untuk peristirahatan sementara para musafir," katanya.

Selain itu, ada pula tempat wudhu wanita yang oleh warga sekitar disebut sebagai kulah atau kolam kecil. Dahulu, saat wudhu langsung mengambil air dari kolam tersebut.

"Kulah ini dalam agama Islam, Rasulullah pernah bersabda, jikalau air terdapat dua kulah berarti tidak mengandung najis. Maksudnya, apabila terkena najis itu kalau dua kulah dia tidak akan mengubah karakter air baik warna, bau, dan rasa. Menurut ahli fikih, dua kulah itu sama dengan 270 liter air," terangnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Arsitektur dan Dekorasi Masjid

Selain bangunan, arsitektur Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat sangat kental bernapas Islam. Pada bagian atas masjid, terdapat empat menara dan 13 kubah.

"Jika dijumlahkan antara kubah dan menara adalah 17 di mana 17 melambangkan jumlah rakaat salat," kata Tilla.

Berlanjut pada pintu utama yang terdiri atas dua pintu yang simetris di sisi satunya jadi berjumlah empat dan tiga di bagian lain. Jika dijumlah sebanyak tujuh, dalam Islam ketika pertama membuka Alquran akan menemukan surat Alfatihah berjumlah tujuh ayat sebagai pembuka masuk.

"Selain pintu juga ada jendela dua simetris di sana juga ada dua, jadi empat, di bagian belakang ada dua jadi jumlahnya enam. Enam dalam agama Islam mengingat yaitu Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah enam," lajutnya.

Di dalam masjid juga terdapat lima ruangan dan empat tiang. Simbol empat tersebut adalah sahabat nabi atau mazhab. "Ada yang mengatakan tiang mazhab, ada juga yang mengatakan tiang sahabat," kata Raja Muhammad Syafarullah, salah seorang pemandu wisata kepaada Liputan6.com.

Lalu ada pula mimbar atau tempat khotbah yang dipesan dari Jepara dengan ukiran dengan pengaruh Nusantara yang memang sengaja dipesan. " Masjid ini juga lambang kegemilangan masa lalu. Pada saat Kerajaan stabil masa itu, pembangunan banyak barang yang dipesan," tambah Farul, begitu ia akrab disapa.

Napas toleransi juga begitu terasa lewat pembangunan masjid ini. Salah satunya hadir dari lampur gantung yang merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia, kerajaan cikal bakal Jerman.

Saat masjid diselesaikan pada masa Raja Ali, saat itu ada catatan Belanda mengatakan bahwa Raja Prusia memberikan hadian kepada Raja Ali berupa sebuah lampu crown, jam dinding, dan stinger atau pistol.

"Kenapa menghadiahkan, di catatan itu mengatakan Pastor mereka hidup dengan tenang dan damai di Kerajaan Riau ini. Artinya toleransi pada non-muslim padahal kerajaan ini 100 persen muslim. Raja Ali sangat keras pada penegakan agama, tapi (menjunjung) toleransi," lanjutnya.

Setelah itum Raja Ali juga membalas kepada Kerajaan Prusia dengan menghadiahkan tepak sirih dari emas serta cangkir.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.