Sukses

Cerita Akhir Pekan: Nikmatnya Menyeruput Kesederhanaan di Kedai Kopi Es Tak Kie

Apa yang membuat kedai Kopi Es Tak Kie bisa bertahan selama hampir satu abad?

Liputan6.com, Jakarta - Menjamurnya kedai kopi belakangan ini membuat kita punya banyak pilihan tempat buat menyeruput minuman dengan wangi khas ini. Mungkin Anda sudah pernah mengunjungi sejumlah gerai kopi kekinian.

Tapi kalau mau mencoba suasana yang agak beda dan vintage, cobalah datang ke kedai Kopi Es Tak Kie. Kedai kopi legendaris ini sudah ada sejak 1927 dan masih mampu bertahan sampai sekarang.

Kalau penasaran ingin mencoba, datang saja ke kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kedai ini berlokasi di Jalan Pintu Besar Timur III, Glodok, Pinangsia, Taman Sari, Kota, Jakarta Barat. Tempatnya tak jauh dari Jembatan Glodok ke arah Kota. Beberapa meter setelah jembatan, belok ke kiri ke Jalan Pintu Besar Timur III yang hanya bisa dilalui motor.

Setelah itu di sebelah kiri jalan ada sebuah gang yang agak sempit karena dipenuhi pedagang di kiri dan kanan jalan. Gang yang hanya bisa dimasuki dengan berjalan kaki itu adalah Gang Gloria yang legendaris karena terkenal dengan berbagai gerai kuliner dan salah satunya adalah Kopi Es Tak Kie.

Uniknya, di depan kedai justru ada nama Nasi Campur Tak Kie, sedangkan papan nama Kopi Es Tak Kie justru ada di bagian dalam. Buat yang pernah mengunjungi kawasan Glodok saat masih kecil, nuansa nostalgia sangat terasa terutama karena banyak bangunan masih seperti puluhan tahun lalu dan pedagang makanan tradisional cukup banyak berderet.

Sementara di depan kedai Tak Kie, kita akan disambut salah seorang karyawan. Aroma kopi yang khas sudah terasa saat memasuki kedai. Menjelang siang di hari Sabtu, suasana kedai cukup ramai. Kalau Anda datang sendirian, biasanya karyawan kedai akan memberikan tempat di meja yang sama dengan pengunjung yang juga datang sendirian.

Setelah dapat tempat duduk, tinggal pesan kopi yang diinginkan. Pilihannya hanya dua, kopi hitam atau kopi susu lalu mau yang hangat atau dengan es batu. Dua-duanya nikmat dan rasanya pas, tidak terlalu pahit atau manis dengan harga sekitar Rp20 ribuan.

Meski cuma ada dua pilihan kopi, ada nuansa yang beda dank has yang bikin kita merasakan atmosfer yang beda dengan kedai kopi kekinian. Selain desain interior ruangan yang masih seperti bangunan tempo dulu, tempat ini tetap menawarkan panorama masa lalu yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Bisa-bisa kita terbawa suasana yang bisa bikin lupa waktu.

Mungkin karena itu pengunjungnya lebih banyak orang dewasa terutama orang tua keturunan Tionghoa. Bahkan banyak yang bercakap-cakap dengan bahasa Mandarin sambil menghisap rokok dan menyeruput kopi mereka. Tak ada AC, tapi kipas angin yang menggantung di dinding membuat suasana hari yang panas itu jadi terasa adem.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tetap Tutup Meski Ramai Pengunjung

Di beberapa bagian dinding juga ada beberapa bingkai foto dari para selebriti maupun pejabat yang pernah berkunjung ke sini. Terlihat ada foto Jokowi yang datang saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Lalu ada foto Djarot Syaiful Hidayat dan Sandiaga Uno terpampang di dinding.

Tak hanya kopi, ada beberapa pilihan menu makanan di tempat ini. Ada nasi campur dan bakmi ayam sebagai menu utama selain beberapa kudapan seperti bacang dan pangsit goreng. Tapi sebelum memesan makanan, baik bagi yang muslim sebaiknya bertanya lebih dulu apakah makanan yang disajikan halal atau tidak.

"Wah, hari ini kebetulan yang halal lagi nggak ada, mungkin besok baru ada," ujar salah seorang karyawan. Buat menjaga kualitas minuman dan makanan, semua bahan diolah setiap hari dan kalau sudah habis mereka akan tutup.

Kalaupun belum habis, tapi kedai yang sudah buka sejak pukul 6.30 pagi akan tetap tutup pukul 14.00 meski masih ada pengunjung yang datang. Ciri khas ini tentu kontras dengan kedai kopi kekinian yang biasanya tetap bukan sampai malam hari atau bahkan 24 jam.

Bagi pemilik kedai, kesegaran dan kualitas bahan jadi hal utama yang tak bisa ditawar-tawar. Bukan itu saja, mereka tidak pernah berminat untuk membuka cabang di tempat lain atau menerima pesanan ojek online. Lalu, siapa pemilik kedai ini yang mampu konsisten mempertahankan rasa, kualitas maupun nuansa klasik dari kedai tersebut?

Menurut salah seorang pemiliknya, Akwang yang juga kasir di kedai ini, Tak Kie didirikan oleh kakeknya, Liong Kwie Tjong pada 1927. Waktu itu sang kakek masih berjualan kopi keliling di kawasan Glodok. Setelah itu mendirikan kedai yang tempatnya masih sama sampai saat ini. Beberapa tahun kemudian mereka juga menjual makanan.

3 dari 3 halaman

Sederhana dan Mudah Diingat

"Kedai ini sebenarnya usaha keluarga. Usaha kakek saya diterusin sama anak-anaknya, dan mereka bareng-bareng ngurusin kedai kopi ini," tutur Akwang sambil sesekali melayani pengunjung yang membayar pesanannya.

"Setelah itu usaha dilanjutkan cucu-cucunya termasuk saya dan kakak saya, Ayauw yang sekarang ngurusin kedai ini. Ya bareng saudara-saudara kita juga. Kalau kita udah nggak ada, ya nanti diterusin sama keluarga kita. Mudah-mudahan masih terus ada," sambung pria berusia 60 tahunan ini.

Meski termasuk ramai, Akwang mengungkapkan kedai kopinya tidak seramai dulu yang di hari biasa atau weekday pun sulit bagi pengunjung mendapatkan tempat duduk.

"Kalau kita bilang, kebijakan ganjil genap ini pengaruh juga. Soalnya selain pelanggan dari daerah sini, dulu banyak pelanggan tempat tingganya atau kantornya jauh dari sini. Sekaran jadi agak berkurang, ya mungkin karena pengaruh aturan itu tadi, Udah gitu ekonomi sekarang lagi menurun, terus saingan juga makin banyak," ungkap Akwang.

Meski begitu, Akwang dan keluarganya tetap optimis dan berharap kondisi akan membaik lagi dan kedai Tak Kie masih tetap ramai. Apalagi sekarang mulai banyak generasi milenial yang menyukai tempat-tempat kuliner vintage dan legendaris.

"Kita punya satu cabang di daerah sini juga. Terus ada satu di mal di Citywalk Sudirman. Tapi di situ malah sepi, makanya kita ngga minat buat buka cabang lagi. Pakai pesanan online juga nggak usah, soalnya pengunjung memang suka suasana di sini, ya kita memang warung kopi jadul ya memang itu yang bikin kita dikenal," jelas Akwang dengan nada semangat.

Sepertinya nama Tak Kie memang pas dengan kedai ini. Tak berari sederhana dan apa adanya, sedangkan Kie berarti mudah diingat. Kalau digabungkan berarti sederhana dan apa adanya tapi diingat banyak orang. Pas dengan situasi kedai kopi yang buka setiap hari ini. Baru sekali datang, rasanya ingin datang lagi menyeruput kopi di kedai sederhana tapi sangat nikmat dan berkesan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.