Sukses

Menengok Ruang Tahanan Pangeran Diponegoro di Batavia

Sebelum dibuang ke Makassar, Pangeran Diponegoro diadili di Dewan Pengadilan Belanda di kawasan Kota Tua. Di manakah letaknya?

Liputan6.com, Jakarta - Selama puluhan tahun dibuka, tidak ada yang menyangka bila Museum Sejarah Jakarta, yang dulu dikenal dengan Museum Fatahillah ternyata pernah menahan Pangeran Diponegoro, pemimpin perang yang membuat Belanda rugi besar. 

Puluhan anak tangga menyambut saat hendak menuju ruang tahanan Diponegoro yang berada di lantai 2 Museum Sejarah Jakarta. Gerah, kesan pertama Liputan6.com saat menyambangi ruangan bercat putih pada Rabu, 17 April 2019.

Di dalam ruang seluas kira-kira 4x5 meter persegi itu, Pangeran Diponegoro tinggal selama 26 hari menunggu putusan Dewan Pengadilan Belanda. Keputusan akhir pengadilan saat itu memvonis Diponegoro dibuang hingga ke Sulawesi, tepatnya di Makassar.

Terdapat replika dipan kayu, mirip dengan tempat berbaring sang pangeran untuk beristirahat. Pada dipan terdapat kayu yang dibuat sebagai tiang untuk menyematkan kelambu. Di atas dipan tak ada matras, hanya terdapat tikar dari daun pandan sebagai alas.

Di sampingnya, terdapat meja dan dua bangku yang digunakan Diponegoro saat itu untuk menulis. Di atasnya pun dipamerkan kopian dari tulisan asli Diponegoro berupa surat yang ditulis untuk istri dan anak tertuanya.

 

 

 

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lukisan Sang Pangeran

Dalam ruangan tersebut dipamerkan lukisan-lukisan yang berhubungan dengan Diponegoro. Seperti lukisan Diponegoro saat ditangkap oleh Jenderal Hendrik Markus de Kock karya Raden Saleh yang dibuat pada 1857. Ada pula sketsa lukisan Diponegoro yang dilukis oleh A.J Bik yang aslinya ada di Museum Rijks, Amsterdam.

Ada pula peta perjalanan Diponegoro dari ditangkap hingga dibuang ke Makassar. Terdapat replika batik yang digunakan Diponegoro pada saat Perang Jawa yang berada di balik kaca. Uang kertas pecahan Rp 1 ribu, Rp 100, dan logam dengan gambar Pengeran Diponegoro pun bertengger di balik pigura.

"Pengorbanan Diponegoro masih bergaung. Ratu adil masih dibutuhkan. Ini adalah satu sosok yang patut diperingati, patut dihormati," ujar cerita Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang meneliti tentang Diponegoro dan Perang Jawa, dikutip dari video TedxTalk, Kamis, 18 April 2019.

 

3 dari 3 halaman

Tragedi Diponegoro

Salah satu bayi yang lahir pada 17 November 1785 bernama Diponegoro tak disangka akan menjadi sang Ratu Adil. Saat bayi, ia dipertemukan dengan Pangeran Mangkubumi, sultan pertama Kerajaan Yogyakarta. Ramalannya mengenai masa depan Diponegoro pun ditunggu dunia. 

"Anak ini akan membawa lebih banyak rusak pada Belanda daripada saya pada Perang Giyanti tapi hanya Tuhan yang tahu," kata Peter.

Diponegoro menjadi pemimpin pada Perang Jawa setelah bertahun-tahun dari ramalan Pangeran Mangkubumi. Masa itu menjadi masa yang kelam bagi masyarakat Jawa. Perang selama 1925-1830 menelan korban hingga 200 ribu jiwa.

Setelah berjuang mati-matian melawan Belanda dalam Perang Jawa, pada 5 April 1830, Diponegoro ditangkap dan dibawa dengan kapal SS van der Capellen dari Magelang ke Batavia. Ia diadili oleh Dewan Pengadilan Belanda di pusat kota Batavia. Putusan itumembuat Diponegoro dibuang hingga ke Makassar.

"Keluarganya menderita. Uangnya habis. Padahal, ia merupakan pengeran terkaya di Jogja. Semuanya dikorbankan. Beratus tahun hingga merdeka, keluarganya tetap menderita, bahkan dicap G30S," cerita Peter. (Fairuz Fildzah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini