Sukses

Kisah Inspirasi di Balik Suka-Duka Menjadi Sukarelawan

Siapa bilang sukarelawan punya peran yang kecil? Simak dulu ragam ceritanya sejumlah sosok yang ketagihan jadi volunteer.

Liputan6.com, Jakarta - Muka-muka lelah memadati kota-kota besar. Terjebak rutin dan tagihan yang menunggu untuk dibayarkan di akhir, awal, maupun tengah bulan. Tuntutan hidup modern membuat sekian banyak orang jadi money oriented. Sampai lupa betapa menyenangkannya jadi sukarelawan.

Ya, dari sekian banyak, ternyata masih ada orang yang meluangkan waktu untuk 'menoleh kanan-kiri', membantu mereka yang membutuhkan. Mereka yang di tengah lelah tetap berdedikasi untuk berbagi. Tak hanya uang, namun juga curahan perhatian dan tenaga.

Kalau dipikir secara kapitalis, buat apa? Itu bukan rentetan aktivitas yang tak mendatangkan profit. Tak cukup untuk menutup kebutuhan secara materiil. Namun, nyatanya, masih tetap saja dilakukan, bahkan jumlahnya terus bertambah.

Chiki Fawzi, misalnya. Putri pasangan Ikang Fawzi dan Marissa Haque ini terbilang cukup aktif dalam kegiatan volunteer. Perempuan 29 tahun tersebut meninggalkan Ibu Kota, 'bergerilya' ke pelosok negeri, hingga border nun jauh di Kalimantan sana.

"Happy (jadi sukarelawan). Lebih happy. Jadi, aku nggak melihat sesuatu dari segi kapitalis. Bahagiaku nggak distandarin oleh materi. Jadi pribadi yang lebih pandai bersyukur juga," ceritanya usai mengisi talkshow di Indonesia Halal Expo (Indhex) 2018 di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis, 1 November 2018.

Ia pun mengisahkan, bagaimana serunya pergi ke wilayah Nunukan, Kalimantan Timur. "Jadi aku belum lama ini sempat mendampingi PJN (Pengajar Jelajah Nusa) ke Desa Binter dan Desa Sekikilan. Di perbatasan sana. Tantangan pendidikan itu dijawab dengan perjuangan nyata," tambahnya.

Gadis yang sempat berkarier sebagai animator ini mengaku kagum dengan seorang teman yang ditempatkan di Desa Binter. "Temanku Muslim. Minoritas di sana. Tapi, dia kayak jadi lentera di tempat itu. Disayang penduduk sana karena dia memberantas buta aksara," papar Chiki.

Sukarelawan, menurut Chiki, tak perlu membuat Anda meninggalkan kewajiban bekerja. "Kan paket pengorbanan beda. Teman aku di Ruang Berbagi Ilmu (Rubi) itu banyak yang orang kantoran. Mereka meeting setelah jam kantor. Kalau mau jalan ke pelosok, ya tinggal ambil cuti." kata perempuan lulusan salah satu univeritas di Malaysia tersebut.

Bagi Chiki Fawzi, menjadi sukarelawan itu harus didasari keinginan yang kuat. "Karena kalau pengin banget pasti nemu jalannya. Selalu ada cara. Namanya juga sukarelawan, jadi kita memang harus suka dan harus rela," tandasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Agustinus Wibowo dan Cerita Jadi Sukarelawan 2 Bencana Besar

Penulis buku perjalanan, Agustinus Wibowo, juga pernah mendapati dirinya sebagai sukarelawan. "Saya dua kali jadi volunteer. Pertama waktu tsunami Aceh 2004. Kemudian, gempa di Kashmir, Pakistan," kata lelaki asal Lumajang, Jawa Timur, tersebut, lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 2 November 2018.

Ia menceritakan, pertama kali terjun sebagai volunteer karena tergerak melihat Aceh dilanda bencana begitu hebat. "Kebetulan sebetulnya di waktu itu saya lagi libur kuliah dan mau ke Aceh. Tapi, ternyata ada musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Banyak teman juga di sana. Jadi, kurang lebih ada ikatan emosional," sambung penulis buku Titik Nol tersebut.

Menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah dengan wajah yang jauh dari rupawan, Agustinus merasakan luapan emosi luar biasa. "Melihat langsung. Efeknya dahsyat sekali. Orang di sana yang sudah kehilang sebegitunya, tapi masih tetap bersyukur," ujarnya.

"Kita nggak akan paham sampai melihat sendiri rasa kehilangan yang luar biasa. Pengalaman jadi sukarelawan di Aceh mengubah total hidup saya. Dari situ saya memutuskan jadi jurnalis," sambung lelaki lulusan salah satu universitas di Beijing, Cina, tersebut.

Begitu pun di Kashmir, Pakistan. Pengalaman sebagai volunteer di sana membuat Agustinus memaknai hidup dari cara berbeda. "Saya belajar untuk bersyukur. Mereka dengan kehilangan sebesar itu, tapi masih punya semangat hidup luar biasa," tuturnya.

"Saya jadi lebih menyayangi hidup, menyayangi waktu. Sadar kalau hidup bukan untuk diri sendiri. Kalau boleh jujur, justru saat menjadi volunteer, saya merasa mereka yang lebih banyak membantu saya memandang hidup ketimbang apa yang saya berikan," tambah lelaki yang pernah bekerja sebagai jurnalis di Afghanistan tersebut.

Kini, Agustinus tengah menjalani peran sukarelawan dengan cara berbeda. "Sekarang saya lagi menjadi volunteer dengan menulis. Menyebarkan kisah-kisah mereka yang jarang terekspos, sekaligus mempertanyakan kegelisahan saya sendiri. Nantinya semoga buku ini bisa jadi renungan kita bersama," Agustinus menjelaskan.

"Sudah 2-3 tahun ini jelajah nusantara. Coba mengulik sejarah bangsa ini dari banyak sisi. Mulai dari agama, kehidupan bernegaranya itu sendiri. Saya jalan ke perbatasan-perbatasan untuk melihat bagaimana kehidupan di sana. Semua pakai dana pribadi. Buku ini memang tak semata bermaksud komersil," katanya.

Selagi ada waktu, Agustinus Wibowo menuturkan, ambilah kesempatan untuk jadi sukarelawan. "Sayang sekali kalau ditunda terus. Ambil kesempatan yang ada sekarang. Kebahagiaan terbesar itu saat kita bisa berbagi dengan orang lain, bermakna buat orang lain. Jangan menunda untuk memberi kebahagiaan dan menerima kebahagiaan yang lebih besar lagi," tutupnya.

3 dari 3 halaman

Pengalaman Menjadi Sukarelawan Asian Games 2018

Berbeda dengan Chiki Fawzi yang bergelut sebagai sukarelawan di bidang pendidikan dan volunteer bencana seperti Agustinus Wibowo, Laila Yasmin, seorang mahasiswa salah satu universitas swasta di Tangerang, Banten, telah mengantongi pengalaman jadi volunteer Asian Games 2018.

Ia mengaku, awalnya hanya iseng mengajukan diri. "Tapi, di balik keisengan saya, saya punya ambisi dan akhirnya saya sadar, 'Wah ini event jarang bgt ada di Indonesia. Gue harus dapat. Gue harus dukung dengan cara ini. Bikin sukses dibalik layar'. Itu yang saya pikir," cerita Yasmin pada Liputan6.com lewat pesan singkat.

Niat itu kemudian membawanya pada ragam pengalaman baru. "Selain ketemu banyak teman baru yang sesama volunteer, saya juga dapat teman baru dari luar negeri. Terus saya juga bisa melatih skill berbahasa inggris saya. Saya bisa mengenal sedikit budaya dari sekian puluh negara yang ada," tuturnya.

Pengalaman selama menjadi volunter Asian Games 2018, mulai dari bisa langsung mengenal atlet, sampai kena omel banyak pihak, Yasmin malah ketagihan untuk kembali jadi sukarelawan sejumlah event olahraga.

"Kebetulan setelah main event Asian Games 2018, saya langsung daftar untuk main event Asian Para Games 2018. Jadi, menurut saya sekalian saja diterusin untuk ngisi libur kuliah. Rencana ke depan, saya sudah mulai berani untuk jadi volunteer di acara pesta olahraga," kata gadis 20 tahun tersebut.

"Kemarin saya coba daftar sebagai volunteer Qatar World Cup 2022 karena di tahun segitu, saya pikir cukup waktunya untuk nyiapin semua-muanya. Kalau lolos ya Alhamdulillah, kalau belum bisa lolos ya nggak apa-apa," jelasnya.

"Saat ini saya lagi nunggu open regist untuk Sea Games 2019 di Filipine dan mungkin saya juga berminat daftar untuk acara PON 2020 di Papua. Apapun itu, mungkin ke depannya kalau pengaruhnya positif akan saya coba," tambah perempuan yang pernah berlaga di PON 2016 sebagai atlet cricket tersebut.

Berbagai kesempatan yang dicoba, dituturkan Laila Yasmin, sengaja diambil agar tak ada penyesalan di kemudian hari. "Teman-teman yang di luar sana dan pengin banget jadi volunteer tapi masih minder dengan alasan takut tugas kuliah keteteran atau nggak lancar bahasa inggris, tenang saja pengalaman volunteering itu banyak," katanya.

"Kalian bisa cari event di hari-hari libur atau kalau memang kepengin banget, jalanin 2-2nya kalau sanggup. Tapi, kalau nggak sanggup ya tetap ya pendidikan nomor 1. Buat yg minder karena kendala bahasa asing, tenang saja. Justru dengan jadi volunteer, skill kalian makin terasah," sambungnya.

"Kalau benar-benar kendala bahasa, contoh seperti lawan bicara kita hanya bisa bahasa ibunya, zaman sekarang kan teknologinya sudah canggih, jadi bisalah kita translate sama lawan bicara kita. Karena jujur waktu Asian Games 2018 kemarin saya juga gitu," tambahnya.

"Ketemu sama atlet Uzbekistan yang nggak bisa Bahasa Inggris dan mereka mau beli oleh-oleh. Jadi, kita harus improve dan berpikir cepat buat gunain translator. Pokoknya, kalau ada kesempatan di depan mata, diambil saja. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Jadi volunteer itu pengalamannya banyak bgt!" tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.