Sukses

Marak Kapitalisasi 'Gus' oleh Politikus hingga Dukun, Ini Arti Gus Sebenarnya

Malah kalau standar Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) lebih ekstrem lagi. Nama Gus tidak hanya bernasab, tapi juga ada syarat standar keilmuan

Liputan6.com, Banyumas - Akhir-akhir ini sematan kata 'Gus' begitu kerap didengar. Entah itu itu politikus, YouTuber, paranormal, pelaku praktik perdukunan, pengobatan alternatif, atau yang hanya pura-pura dukun.

Sematan Gus telah dikapitalisasi menjadi sebuah brand, merek dagang yang diyakini bernilai jual tinggi. Gus telah menjelma menjadi kebutuhan untuk orang-orang yang tengah menyasar segmen masyarakat tertentu.

Padahal, sejatinya Gus tidaklah sesederhana katanya yang hanya terdiri dari tiga huruf. Gus mewakili sosok, nasab, keilmuan dan tradisi pesantren.

Soal pemanfaatan kata Gus oleh orang yang 'tak berhak' ini, pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) mengatakan bahwa orang yang bukan keturunan kiai, tapi dipanggil 'Gus' adalah 'Gus' naturalisasi. Termasuk kapitalisasi panggilan 'Gus'.

“Definsi 'Gus' itu simpel. 'Gus' adalah sebutan untuk putra seorang kiai. Sebutan 'Gus' untuk seseorang yang bukan putra kiai adalah Gus jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut atau pengagumnya,” jelas Gus Hans dikutip NU Online, Jumat (15/10/2022).

Menurutnya, mereka yang menyandang panggilan 'Gus' tidak harus alim dalam bidang agama. Namun, sangatlah disayangkan jika panggilan 'Gus' dikapitalisasi untuk menipu atau mencari keuntungan materi. “Saat ini, siapa saja bisa mengaku 'Gus' untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi,” jelasnya.

Bagi dia, sangat disayangkan juga ketika praktik pengobatan alternatif dibungkus dengan atribut agama atau panggilan 'Gus' agar laris. Ada juga orang yang mendadak 'Gus' saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya.

“Bisnis permainan kepercayaan ini memang lebih menggiurkan karena tidak perlu ada alokasi anggaran uji kompetensi, uji klinis, dan penelitian. Penentuan tarifnya pun tidak ada HET (harga eceran tertinggi) layaknya obat pabrikan,” ucap dia.

Praktik pengobatan alternatif atau biasanya disebut perdukunan akan semakin laris ketika ada label panggilan 'Gus' di depannya. Status sosialnya akan naik dan banyak yang datang minta obat. Harga biasanya seikhlasnya, tapi tanpa penentuan batas harga tertinggi.

“Penghasilan tinggi ini yang dibutuhkan hanyalah kemampuan komunikasi dan teaterikal dalam meyakinkan pasien. Kemampuan yang tidak kalah penting untuk dimiliki adalah tatag melawan hati nurani,” imbuh Wakil Rektor UNIPDU Jombang ini.

Seharusnya, kata dia, jika sebutan 'Gus' diberikan kepada seseorang karena dia putra kiai, lalu apa yang bisa dibanggakan? Justru yang ada adalah beban moral menjaga nama besar orang tuanya. “Ada beban mental ketika kemampuannya terkadang tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat,” ujar Gus Hans.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Standar Keilmuan Gus

Hal senada disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadzik mengatakan bahwa gelar 'Gus' tidak sembarangan boleh dipakai seseorang.

Menurut Gus Fahmi, menyandang gelar 'gus', lora, ajengan, dan lain sebagainya merupakan penanda bahwa dia putra ulama/kiai, tentu tidak sembarangan. Harus diiringi sifat, akhlak, dan adab yang baik.

“Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil 'Gus'. Repotnya lagi, banyak yang memanipulasi gelar 'Gus' untuk keburukan. Tentu ini berbahaya bagi 'Gus-Gus' yang baik dan memang putra kiai,” kata cucu Hadratussekh Hasyim Asy'ari ini.

Sementara, Mudir Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang Kiai Ahmad Roziqi menjelaskan gelar 'Gus' seharusnya bernasab dan bersanad. Bersanad dimaksudkan yaitu memiliki kapasitas keilmuan Islam yang mumpuni. Sedangkan bernasab memiliki garis keturunan dari tokoh agama Islam.

Hal ini disampaikannya saat menanggapi penggunaan kata 'Gus' untuk pria asal Blitar bernama Samsudin. Samsudin diketahui membuka padepokan dan praktik pengobatan alternatif. "Malah kalau standar Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) lebih ekstrem lagi. Nama Gus tidak hanya bernasab, tapi juga ada syarat standar keilmuan," kata Fahmi, melansir NU Online, Jumat (14/10/2022).

Menurutnya, walaupun seseorang dipanggil dengan sebutan 'Gus' atau kiai sebaiknya bersikap biasa saja. Karena panggilan 'Gus' terkadang hanya bermakna 'kakak' dan terkadang anak kiai juga tidak disebut 'Gus'. Hal tersebut juga berlaku pada panggilan 'Kiai'.

Ada kiai yang menjadi gelar kehormatan di bidang penguasaan ilmu agama Islam, tetapi juga ada di segmen yang lain, misal hewan dan pusaka. "Ada meme bagus, Gus harus bernasab dan kiai harus bersanad," imbuh pria yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini.

Kiai Roziqi memperingatkan, bagi yang berniat memanfaatkan gelar 'Gus' sedangkan ia tidak berhak menyandangnya, ia berharap segera insaf.

Jangan mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Bagi masyarakat umum, jangan 'nggumunan' atau mudah terkesima dengan hal-hal yang sepertinya khariqul 'adah (tidak biasa). Syaitan pun mampu membantu kekasihnya untuk menampilkan kkhariqul 'adah.

Tim Rembulan

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.