Sukses

Sekum Muhammadiyah: Korupsi Sejajar Kejahatan Terorisme

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Indonesia layak menerapkan hukuman mati bagi tersangka korupsi dan memberikan definisi baru di dalam Undang-Undang bahwa korupsi adalah perbuatan yang sejajar dengan terorisme

Liputan6.com, Jakarta - Kasus korupsi di Indonesia tak ada habisnya. Bahkan, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) pun tak luput dari jerat rasuah ini.

Kamis, 22 September 2022, KPK melakukan OTT terhadap salah satu hakim agung MA. Di hari yang sama, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap publik figur, Hasnaeni Moein si Wanita Emas.

Padahal, ancaman terhadap koruptor tak main-main, yakni hukuman mati. Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):

Ayat (1):Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2):Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Akan tetapi, korupsi seolah sudah mengakar kuat dan begitu massif terjadi. Karena itu, kejahatan korupsi dianggap sebagai extraordinary crime.

Meski begitu, hukuman mati juga masih menjadi polemik. Ada yang menganggap hukuman mati mencederai dan bertentangan dengan hak azasi manusia (HAM).

 

Tampaknya, masalah korupsi di Indonesia sudah berakar kian dalam sehingga tidak bisa diatasi dengan cara-cara biasa, tetapi harus menggunakan pendekatan radikal.

 

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penegakan Hukum Tumpul dan Asas Pembuktian Terbalik

 

Soal hukuman mati ini, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan Indonesia layak menerapkan hukuman mati bagi tersangka korupsi dan memberikan definisi baru di dalam Undang-Undang bahwa korupsi adalah perbuatan yang sejajar dengan terorisme.

“Perlu ada definisi bahwa korupsi itu adalah extra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa yang itu bisa menimbulkan akibat yang juga sangat massif dan indiskriminatif, bisa kena semuanya,” ujar Abdul Mu’ti dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, seperti tertulis di muhammadiyah.or.id, Jumat (11/12/2020).

Tidak hanya disebabkan oleh masalah struktural di sistem pemerintahan dan politik, korupsi di Indonesia tumbuh subur juga dikarenakan masalah penegakan hukum yang tumpul dan sifat masyarakat sendiri yang kebanyakan masih permisif melakukan tindakan tidak jujur.

“Sekarang kita buktikan apakah benar hakim-hakim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) itu berani menjatuhkan hukuman mati kepada sang menteri?” sangsi Abdul Mu’ti menyitir kasus terbaru korupsi Rp17 miliar bantuan sosial.

“Karena itu ini menjadi persoalan legal yang kalau tidak berani kita melakukan upaya-upaya penegakan itu ya memang tidak akan bisa menimbulkan efek jera sama sekali,” imbuhnya.

Karena itu, kerja keras melawan korupsi tidak hanya dilakukan di aspek hukum, tapi juga diperlukan melalui hal kecil dari diri sendiri seperti kesadaran untuk selalu bersikap jujur.

Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah sejak lama telah menaruh perhatian besar melakukan dakwah kultural membangun kesadaran masyarakat, termasuk seperti meluncurkan buku Fikih Anti Korupsi bersama Nahdlatul Ulama pada tahun 2006.

Asas Pembuktian Terbalik

Menjadi solusi efektif, Abdul Mu’ti berharap pemerintah mulai menggunakan Asas Pembuktian Terbalik secara tidak terbatas bagi para pejabat negara.Asas Pembuktian Terbalik (Reversal Burden of Proof, Pembalikan Beban Pembuktian) adalah asas yang mencurigai setiap pejabat publik sehingga mereka wajib menjelaskan semua asal usul aset kekayaannya meski tidak tersangkut tindak pidana korupsi.

Di Indonesia sendiri, Asas Pembuktian Terbalik terangkum dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang Tipikor namun hanya bersifat terbatas.“Berulangkali misalnya PP Muhammadiyah dalam berbagai forum mengusulkan perlu pembuktian terbalik yang banyak dilakukan banyak negara yang memiliki banyak kasus korupsi merajalela, tapi dengan Pembuktian Terbalik ini bisa memperbaiki keadaan dan bisa relatif mengurangi secara signifikan korupsi di negaranya,” saran Abdul Mu’ti.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.