Sukses

Hukum Pernikahan yang Diawali dari Perselingkuhan

Lantas apa hukum pernikahan yang diawali perselingkuhan? akan diterangkan pandangan ulama mazhab, mulai dari Imam Maliki, Syafi'i dan Hanafi

Liputan6.com, Purwokerto - Istilah pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang) belakangan makin populer seturut massifnya penggunaan media sosial. Pelakor dan pebinor merujuk pada seseorang yang merebut pasangan orang lain.

Pebinor memang tak sepopuler pelakor. Tapi, artinya sama, ada selingkuh atau perselingkuhan. Laki-laki yang selingkuh dengan istri orang lain, maupun wanita yang selingkuh dengan suami orang lain.

Selingkuh menjadi salah satu pemicu tingginya perceraian. Karena itu, dalam pandangan Islam, upaya-upaya apapun yang merusak keutuhan rumah tangga orang lain adalah haram.

Tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain termasuk dalam kategori dosa besar. Sebab, hanya meminang (khitbah) perempuan yang sudah dipinang pria lain sudah dilarang. Terlebih, ini merebut atau merusak rumah tangga orang lain.

Dalam sebuah hadits dikatakan:

وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا -رواه النسائي

“Dan barang siapa yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami”. (H.R. an-Nasai).

Dari penjelasan singkat ini maka dapat dipahami bahwa hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang statusnya masih bersuami adalah hubungan terlarang. Dan lelaki tersebut dianggap sebagai perusak.

Lantas apa hukum pernikahan yang diawali perselingkuhan? Di bawah ini, akan diterangkan pandangan ulama mazhab, mulai dari Imam Maliki, Syafi'i dan Hanafi.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pandangan Ulama Mazhab Imam Maliki

Pendapat yang sangat keras disampaikan oleh Madzhab Maliki. Jika ada seseorang laki merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, kemudian suaminya menceraikan perempuan tersebut, lantas laki-laki yang merusak hubungan itu, setelah selesai masa iddah, menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan, walaupun setelah terjadi akad nikah. Sebab terdapat kerusakan dalam akad.

وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْأَجْهُورِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا نَصُّهُ ذَكَرَ الْأَبِيُّ مَسْأَلَةً مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ يُفْسَخُ , وَلَوْ بَعْدَ الْبِنَاءِ , فَإِنَّهُ نُقِلَ عَنْ ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّ مَنْ سَعَى فِي فِرَاقِ امْرَأَةٍ لِيَتَزَوَّجَهَا فَلَا يُمْكِنُ مِنْ تَزْوِيجِهَا وَاسْتَظْهَرَ أَنَّهُ إنْ تَزَوَّجَ بِهَا يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ لِمَا يَلْزَمُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْفَسَادِ

“Syaikh Ali al-Ajhuri ra berkata—bunyinya adalah—bahwa al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, bahwa pernikahan keduanya (lelaki yang merusak dan wanita yang dirusak) itu harus dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu Arafah yang menyatakan, bahwa barang siapa yang berusaha memisahkan seorang perempuan dari suaminya agar ia bisa menikahi perempuan tersebut, maka tidak mungkin baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan hal ini menjadi jelas bahwa jika lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena hal itu menyebakan kerusakan dalam (akad, pent)” (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 1, h. 397)

Jika dicermati, pandangan Madzhab Maliki di atas, maka konsekuensinya adalah pihak perempuan yang telah diceraikan suaminya haram dinikahi oleh si lelaki yang menyebabkan perceraian tersebut selama-lamanya. Namun ada juga pandangan lain dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa yang demikian itu tidak selamanya haram dinikahi.

Dan hal ini dianggap tidak bertentangan dengan pandangan di atas yang menyatakan harus dibatalkan baik sebelum akad maupun setelahnya.

مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَطَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا الْمُفْسِدُ الْمَذْكُورُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَلَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ وَذَلِكَ لَا يُنَافِي أَنَّ نِكَاحَهُ يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ

“Barang siapa merusak hubungan seorang istri dengan suaminya kemudian si suami menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai masa iddah maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tidak menjadi selamanya. Dan hal itu tidak bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau sesudahnya.” (‘Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi ‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil, Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, juz, 3, h. 170-171).

 

3 dari 3 halaman

Mazhab Imam Hanafi dan Syafi'i

Sementara, menurut Mazhab Hanafi dan Syafii perusakan terhadap hubungan istri dengan suaminya tidak mengharamkan pihak yang merusak untuk menikahinya.

Tetapi pihak yang merusak itu termasuk orang yang paling fasik, tindakannya merupakan maksiat yang paling mungkar dan dosa yang paling keji di sisi Allah swt.

اَلْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: إِنَّ إِفْسَادَ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا لَا يُحَرِّمُهَا عَلَى مَنْ أَفْسَدَهَا بَلْ يَحِلُّ لَهُ زَوَاجُهَا وَلَكِنْ هَذَا الْإِنْسَانُ يَكُونُ مِنْ أَفْسَقِ الْفُسَّاقِ وَعَمَلُهُ يَكُونُ مِنْ أَنْكَرِ أَنْوَاعِ الْعِصَيَانِ وَأَفْحَشِ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Para ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat: bahwa perusakan hubungan seorang istri dengan suaminya tidaklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yang merusakknya untuk menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yang paling fasik, tindakannya termasuk salah satu kemaksiatan yang paling mungkar, dan dosa yang paling keji di sisi Allah swt kelak pada hari kiamat,".

Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama mengenai hukum pernikahan orang yang merusak rumah tangga orang lain, yang jelas tindakan tersebut adalah masuk kategori dosa besar, dan sudah seharusnya dihindari.

Dengan pertimbangan saddudz-dzariah (menutup jalan keburukan), maka pandangan dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa lelaki yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya diharamkan untuk menikahinya selamanya, hemat kami perlu dijadikan pertimbangan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bermanfaat, jangan sekali-kali mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain karena itu masuk kategori dosa besar di sisi Allah swt dan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat.

(Sumber: https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-pernikahan-yang-dihasilkan-dari-perselingkuhan-qRWIA)

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.