Sukses

Hari Kerja Layak Internasional: PRT Masih Jauh dari Kondisi Layak Kerja

PRT hingga kini masih memperjuangkan haknya.

Liputan6.com, Jakarta 7 Oktober diperingati sebagai Hari Kerja Layak Sedunia. Penetapan Hari Kerja Layak Sedunia ini dalam sejarahnya dilakukan untuk menyatukan pekerja agar berani bicara menentang kebijakan ketenagakerjaan yang lebih mengutamakan peningkatan keuntungan bagi para pemilik modal ketimbang hak dan kebutuhan pekerja.

Momen Hari Kerja Layak Sedunia 2022 digunakan sejumlah organisasi mengkritisi situasi kerja layak yang tidak didapatkan oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hingga saat ini, PRT masih belum dianggap sebagai pekerja. Ini membuat hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi.

Padahal, PRT merupakan bagian dari tonggak perekonomian negara. PRT adalah orang yang mengurus pekerjaan domestik para anggota DPR dan para elite negara, namun kedudukannya tak lantas dipedulikan.

"PRT ini kan soko guru dari perekonomian yang tak terlihat. Tidak diakui, tidak dihitung kontribusinya" Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dalam Konferensi Pers Peringatan Hari Kerja Layak Internasional 7 Oktober 2022 Jumat(7/10/2022).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Situasi kerja PRT jauh dari kata layak

Hingga saat ini, situasi kerja PRT jauh dari kata layak. PRT yang tidak diakui sebagai pekerja di Indonesia, tidak punya upah layak, tidak mendapatkan perjanjian kerja dan cuti, tidak medapat jaminan kesehatan dan sosial, tidak punya hak untuk berorganisasi, hingga akses penyelesaian perselisihan.

Tidak terpenuhinya hak-hak dasar PRT di Indonesia disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur dan mengakui PRT sebagai pekerja di Indonesia. Padahal mayoritas pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia jumlahnya diperkirakan mencapai 5 juta orang bekerja dalam kondisi yang jauh dari kategori layak kerja.

Kondisi ini juga membuat posisi PRT rentan terhadap kekerasan. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sejak 2012 hingga Desember 2021 rata-rata dalam setahun sekitar 400 pekerja rumah tangga mengalami beragam kekerasan mulai dari fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual, dan perdagangan manusia.

Royanah yang merupakan PRT yang tergabung dalam JALA PRT memaparkan situasi kerja tidak layak yang dialami para PRT di Indonesia. PRT sangat rentan mengalami kekerasan dan kesewenang-wenangan pemberi kerja. Royanah bahkan mengalami sendiri gajinya dipotong dan tidak diberikan sepenuhnya.

"Saya dan kawan-kawan pekerja rumah tangga (berharap) agar secepatnya RUU PPRT disahkan, supaya PRT mendapatkan hak-haknya, serta ketika bekerja merasa aman dan nyaman, serta ada perlindungan dari pemerintah." ujar Royanah.

Salah satu kesulitan yang dialami PRT ketika mengalami kekerasan adalah adanya relasi kuasa antara pemberi kerja dengan PRT. Hal ini disampaikan oleh Nur Meylawati dari LBH APIK Jakarta.

"Karena ranahnya yang privat, jadi tidak ada orang yang melihat kejadian secara langsung ketika PRT mengalami kekerasan" jelas Meyla.

Tantangan lainnya adalah kesulitan menemukan Aparat Penegak Hukum (APH) yang memiliki perspektif terhadap kasus-kasus yang dialami PRT.

3 dari 4 halaman

18 tahun RUU PPRT tak kunjung disahkan

Parlemen maupun pemerintah dinilai tidak serius membahas RUU PPRT. Salah satu yang menghambat perjalanan disahkannya RUU PPRT hingga 18 tahun adalah karena situasi-situasi kerja tidak layak PRT ini justru memberikan hal-hal yang dianggap menguntungkan pekerja. Mandeknya pembahasan RUU PPRT selama 18 tahun menunjukkan adanya arogansi dan kepentingan politis para pembuat kebijakan.

"Ketika terjadi pembahasan RUU PPRT para anggota legislatif ini lebih mencerminkan sebagai pemberi kerja daripada wakil rakyat yang harus memperjuangkan kepentingan konstituen." ujar Lita.

Padahal kehadiran RUU PPRT akan membongkar pembagian kerja yang tidak adil di ranah domestik dan membangun budaya kerja yang lebih berperspektif gender. Sekaligus sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa care work atau kerja-kerja pengasuhan dan perawatan merupakan pekerjaan bernilai yang harus dihargai, diapresiasi, dan diupah secara layak sebagaimana pekerjaan lainnya.

Jala PRT dan organisasi-organisasi terkait juga mendesak pemerintah agar segera meratifikasi ILO No.189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No.190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja sebagai mekanisme dalam memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja informal seperti PRT.

4 dari 4 halaman

Ajak lebih peka dan menilik sekitar

Dea Safira dari Indonesia Feminis sekaligus dokter gigi, mengungkapkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda harus lebih berempati dan peka dengan isu-isu seperti PRT. Dea merasa dekat dengan PRT karena pasien-pasien yang pernah ia tangani juga berprofesi sebagai PRT.

"PRT itu ada di sekitar kita, ada di lingkungan kita, ada di mana-mana. Jadi kalau kita beranikan diri saja tanya ke mereka, bagaimana kondisi kerja kamu? apa yang kamu alami? itu yang akan memudahkan kita memahami pengalaman yang mereka lalui sebagai PRT" ujar Dea.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yuri Muktia dari Jakarta Feminist. Menurutnya, sudah saatnya anak muda menjadikan isu PRT sebagai isu bersama.

"Kita perlu memperluas dan memperbanyak lagi dukungan dari anak-anak muda. Kita butuh anak-anak muda supaya lebih tahu bahwa isu pekerja rumah tangga itu isu kita juga." terang Yuri.

Selain itu, penting juga menurut Yuri untuk menilik sekitar. Apakah ada orang-orang di sekitar yang menggunakan jasa PRT, namun tidak memberi situasi kerja layak pada PRT. Dari sini, sebagai warga yang berempati kemudian bisa menegur dan memberi penjelasan tentang pentingnya situasi kerja layak bagi PRT.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.