Sukses

Liku Pekerja Rumah Tangga Angkat Isu PRT, dari Berserikat sampai Bermedsos

PRT masih belum mendapat hak-haknya sebagai pekerja.

Liputan6.com, Jakarta Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu profesi yang cukup banyak ditemui di Indonesia. Menurut data dari International Labour Organization (ILO) pada 2015, jumlah PRT di Indonesia diperkirakan mencapai 4,2 juta pekerja. Dari kuantitas, jumlah PRT di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. 

Meski terbilang tinggi, PRT hingga kini masih belum mendapat status yang jelas sebagai pekerja. PRT sering bekerja dalam situasi yang tidak layak. Mulai dari beban kerja yang berat, jam kerja panjang, tidak mendapat libur yang cukup, upah rendah, minim jaminan sosial, hingga ancaman kekerasan. PRT juga rentan mengalami pelecehan dan perendahan pada profesi mereka.

Pekerja Rumah Tangga atau PRT mungkin lebih akrab dengan sebutan Pembantu Rumah Tangga atau Asisten Rumah Tangga. Padahal, PRT adalah Pekerja Rumah Tangga. Pekerjaan PRT yang masuk dalam ranah informal membuat PRT menghadapi berbagai ketidakpastian.

PRT tidak memiliki kepastian tentang upah, jam kerja, serta deskripsi pekerjaan yang jelas. Ini membuat PRT dianggap bukan pekerja, melainkan i pembantu dalam keluarga majikan. Padahal, sama seperti pekerja lainnya, PRT juga bekerja mengerahkan tenaganya dan mendapat upah dari pemberi kerja.

"Kami ingin disebut Pekerja Rumah Tangga karena kami juga bekerja, ada pemberi kerja, ada yang dikerjakan, ada upah, sama seperti pekerja lainnya, kalau disebut Asisten atau Pembantu, kami merasa tidak dianggap sebagai pekerja yang mendapatkan hak-hak semestinya," Jelas Jumiyem, anggota sekaligus tim advokasi Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia (SPRT-Tunas Mulia) ketika dihubungi via telepon Sabtu(23/4/2022).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Jam kerja tak menentu, minim jaminan sosial

PRT menjadi pekerja yang punya beban jam kerja yang berat. Jam kerja ini terkadang tidak sesuai dengan standar jam kerja pekerja. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, jam kerja pekerja adalah 7 jam dalam sehari atau 40 jam dalam satu minggu untuk 6 hari kerja dengan 1 hari istirahat dalam 1 minggu.

Berdasarkan data ILO, di Indonesia, 90 persen PRT anak dan 81 persen PRT dewasa bisa bekerja 6 atau 7 hari dalam seminggu. Sementara 60 persen PRT dewasa dan 76 persen PRT anak bisa bekerja 40 jam atau lebih per minggu.

Jam kerja yang panjang ini ternyata juga tidak sesuai dengan upah dan kesejahteraan yang didapat. Karena tidak termasuk pekerja formal, PRT belum bisa dimasukkan dalam keanggotaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Posisisnya yang bukan pekerja formal membuatnya kesulitan didaftarkan layanan tersebut oleh pemberi kerja. Sementara gaji mereka yang terkadang tak layak pun tak memungkinkan untuk membayar iuran secara mandiri.

3 dari 6 halaman

Beban ganda perempuan

Mayoritas PRT adalah perempuan. Dari keterangan Jumiyem, di SPRT-Tunas Mulia, seluruh anggotanya, sekitar 800 adalah perempuan. Dari data ILO, berdasarkan perkiraan global dan regional terbaru setidaknya ada 52,6 juta perempuan berusia di atas 15 tahun yang pekerjaan utamanya adalah pekerja rumah tangga. Lebih dari 80% pekerja rumah tangga di seluruh dunia adalah perempuan dan anak perempuan.

"Perempuan yang bekerja sebagai PRT memiliki beban ganda, mengurus rumah tangga orang lain, dan rumah tangganya sendiri." ujar Jumiyem yang juga merupakan tim advokasi di Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).

Perempuan secara tidak proporsional melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga tanpa imbalan yang sepadan. Pekerjaan PRT yang dianggap pekerjaan domestik, tidak mendapat imbalan yang sesuai karena beragam alasan yang sebenarnya saling terkait.

Pengupahan rendah ini berasal dari norma dan praktik sosial berbasis patriarkis. Dengan kata lain, tugas-tugas rumah tangga masih dipandang sebagai “pekerjaan perempuan” dan dibayar rendah.

Ini sebabnya, untuk mengatasinya, perlu pengakuan sosial dan nilai ekonomi bagi pekerjaan rumah tangga. Isu ini harus menjadi agenda utama untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan.

4 dari 6 halaman

18 tahun macetnya RUU PPRT

Sebenarnya perlindungan hukum bagi PRT sudah digodok sejak 2004 silam dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT). RUU-PPRT membahas tentang pengakuan PRT sebagai pekerja, memperjuangkan kesejahteraan PRT sebagai pekerja dan warga negara, serta memberi perlindungan dan keseimbangan hubungan kerja antar PRT dan pemberi kerja. RUU-PPRT menjamin hak-hak PRT sebagai pekerja, sama dengan pekerja lainnya.

Namun, hingga 18 tahun berlalu, RUU-PPRT tak kunjung disahkan karena adanya resistensi dari sejumlah pihak. Padahal, pekerja rumah tangga sudah diakui dan dilindungi secara internasional dengan disahkannya Konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 189 tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga pada 16 Juni 2011. Tanggal ini yang kemudian menjadi Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional.

"Sebenarnya tidak ada alasan negara untuk tidak memberi perlindungan pada kawan-kawan PRT karen PRT juga warga negara dan juga sebagai pekerja" ujar Jumiyem.

Jumiyem dan kawan-kawan menyayangkan para pemangku kebijakan yang tidak serius menyoal perlindungan PRT. Padahal, PRT sebenarnya memiliki peran besar terhadap keberlangsungan sebuah negara. PRT adalah orang yang mengurus pekerjaan domestik para anggota DPR dan para elite negara, namun kedudukannya tak lantas dipedulikan.

"Meski PRT melakukan pekerjaan, ada pemberi kerja, ada yang dikerjakan, dan ada upah, tapi karena pekerjaan ini termasuk dalam pekerjaan informal, jadi negara tidak atau belum mau menganggap PRT sebagai pekerja." tambah Jumiyem.

Pada 2020, RUU ini sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Tapi kemudian batal karena diyakini ada resistensi dari sejumlah fraksi.

RUU-PPRT menjadi harapan besar bagi para PRT di negeri ini. Dari RUU-PPRT, PRT akan mendapat perlindungan berupa perjanjian kerja yang mengikat dan berpayung hukum. Dari RUU-PPRT juga, PRT akan mendapat haknya untuk menerima jatah cuti, mendapat THR, jam kerja yang manusiawi, hingga mendapat jaminan sosial yang layak.

5 dari 6 halaman

PRT adalah Isu Kompleks

Isu tentang PRT sebenarnya merupakan isu kompleks. Di dalamnya terdapat isu HAM, perempuan, seksualitas, hingga ketenagakerjaan. Semua saling berkelindan dalam isu PRT.

Kompleksnya isu ini menjadi tantangan tersendiri bagi para serikat PRT dan JALA PRT untuk bergerak di kampanye PRT. Di sini, mereka dihadapkan dengan bagaimana cara meramu semuai isu ini menjadi sebuah informasi yang jelas dan singkat meski punya banyak persoalan.

"Dengan adanya media sosial ini baik itu Facebook, Twitter, Instagram, dan juga Youtube ini juga semakin mudah untuk penyebaran isu PRT meskipun ada yang mendukung atau belum mendukung. Tapi kemudian bahwa banyak sekali peningkatan dari awal penggunaan medsos hingga saat ini." jelas Jumiyem.

Kini para PRT mulai menjamah media sosial untuk menyerukan isu-isu PRT dan pengesahan RUU-PPRT. Dari media baru ini, makin banyak masyarakat yang tertarik akan isu ini.

6 dari 6 halaman

Pentingnya PRT untuk berserikat

Tantangan juga datang dari masih kurangnya kesadaran PRT untuk berserikat. Di DIY sendiri, jumlah PRT yang turut berserikat masih jauh dari kata lebih. Advokasi dan komunikasi persuasif terus dilakukan oleh Jumiyem dan kawan-kawan untuk menjaring lebih banyak PRT agar mau berserikat.

“Di Jogja, perkiraan ada sekitar 4 ribu sampai 5 ribu PRT yang bekerja, tapi yang berserikat masih 800an, jumlahnya masih sedikit sekali. Padahal, berserikat adalah salah satu cara untuk mengadvokasi diri sebagai pekerja.” Papar Jumiyem.

Pada awal berdirinya SPRT-Tunas Mulia, para PRT yang tergabung dalam serikat mengajak PRT lainnya dengan cara yang masih konvensional. Mereka melakukan persuasi secara langsung di tempat-tempat PRT berkumpul seperti tukang sayur, pasar, sekolah, atau pusat perbelanjaan. Serikat juga membuat buletin atau publikasi yang masih ditulis dengan tangan yang kemudian dibagikan pada PRT melalui pos atau cara-cara konvensional lainnya untuk menumbuhkan keinginan bergabung ke serikat.

Bentuk advokasi serikat PRT pada awalnya bertumpu pada aksi-aksi, konferensi pers, dialog, hingga seminar. Di pertengahan tahun 2000, media sosial mulai masif digunakan. Saat itu, Facebook menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan para PRT untuk berjejaring. Dari sinilah, penggunaan media baru, dimanfaatkan untuk melakukan persuasi dan menyebarkan informasi terkait isu PRT secara lebih luas. Tak cuma Facebook, serikat juga mencoba menjangkau platform media sosial lainnya seperti Twitter, Instagram, dan YouTube.

Jumiyem melihat ada perubahan signifikan dari penggunaan sosial media untuk mengkomunikasikan isu-isu PRT. Menurutnya, ada peningkatan dukungan publik berkat penggunaan media sosial. Jika dahulu hanya menjangkau PRT, pemberi kerja, atau pihak yang bersinggungan langsung dengan PRT, kini dukungan publik mulai banyak masuk seperti dari media atau masyarakat umum.

"Misal dari buletin, yang disebar melalui pos, kalau dulu jaringannya hanya di tingkat lokal, dengan semakin berjalannya waktu (dari penggunaan media sosial), kemudian tidak hanya lokal tapi juga nasional" ujar Jumiyem.

Bermedia sosial menjadi salah satu upaya para PRT dan pihak-pihak yang konsen terhadap isu tersebut untuk menyerukan isu yang kompleks ini. Melalu media sosial, PRT mengomunikasikan isu-isu PRT serta pentingnya PRT untuk berserikat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.