Sukses

Soal Disiplin Minum Obat TB, Menkes Budi Ngobrol dengan Kemenkes India

Belajar kepatuhan disiplin minum obat tuberkulosis (TB) dari India.

Liputan6.com, Bali - Minum obat tuberkulosis (TB) menjadi salah satu upaya perawatan pasien TB untuk sembuh, terutama bagi pengidap TB paru. Biasanya dokter akan menganjurkan pengidap TB paru untuk mengonsumsi obat secara disiplin selama 6 - 12 bulan.

Walau begitu, menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin, orang Indonesia termasuk yang tidak disiplin minum obat TB. Permasalahan ini berujung belum tuntasnya pengobatan sehingga pengidap TB yang bersangkutan lama sembuh.

“Jika terserang penyakit TB kan sebenarnya penyakit menular, maka Anda harus memahami cara merawat pasien tuberkulosis. Sebenarnya, kami memiliki terapi atau pengobatan standar, yaitu Anda harus menelan obat selama enam bulan,” ucap Budi Gunadi saat memberikan keterangan pers 'G20 2nd Health Ministers Meeting' di Hotel InterContinental Bali Resort, Bali, ditulis Senin (31/10/2022).

“Jadi obatnya sendiri sudah teridentifikasi, susahnya harus enam bulan dan orang Indonesia bukan yang paling disiplin. Ya Anda tahu kan, (orang Indonesia) tidak seperti negara lain.”

Obat TB paru umumnya mengandung jenis antituberkulosis, yaitu antibiotik yang khusus digunakan untuk mematikan infeksi bakteri TB. Pengobatannya sendiri terdiri dari dua tahap, yaitu intensif dan lanjutan.

Kedisiplinan minum obat TB pun rupanya menjadi salah satu perbincangan Budi Gunadi bersama pejabat di Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India (Ministry of Health and Family Welfare/MoHFW India). Di India, pasien atau pengidap TB selalu dipantau, apakah sudah minum obat TB atau belum.

“Itulah sebabnya, kami perlu memastikan, menemukan mekanisme (baru pengobatan TB). Saya baru saja berbicara dengan Kementerian Kesehatan di India, mereka memiliki foster parent atau disebutnya orangtua asuh,” terang Budi Gunadi.

“Orangtua asuh di sini bukan membiayai hidup Anda, tetapi mereka yang menelepon Anda setiap minggu, apakah sudah minum obat TB atau tidak. Mereka akan menelepon Anda untuk memastikan, bahwa Anda mendapatkan dan minum obat tuberkulosis, setidaknya selama enam bulan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jamin Pasien TB Minum Obat

Di India, tindakan pencegahan dan pengendalian tuberkulosis diawasi dan diimplementasikan di bawah Program Pengendalian TB Nasional Revisi (Revised National TB Control Program/RNTCP), yang mengakui bahwa penerapan Directly Observed Treatment with Short course chemotherapy (DOTS) yang berkualitas baik adalah prioritas pertama untuk pengendalian TB. 

Directly Observed Treatment (DOT) adalah elemen kunci dalam strategi DOTS, yang mana penyedia DOT menjamin dan mendukung pasien untuk mengonsumsi obat mereka selama pengobatan, sesuai jurnal berjudul, Fostering Directly Observed Treatment in Tuberculosis: A Program Manager’s Perspective yang dipublikasikan di International Journal of Health Policy and Management tahun 2014.

Untuk memenuhi visi negara mencapai akses universal perawatan TB, RNTCP telah meluncurkan “skema kepatuhan pengobatan” (skema kemitraan publik-swasta). Selanjutnya, strategi terpadu berbasis bukti harus dirumuskan untuk mengatasi hambatan yang diidentifikasi yang menganjurkan administrasi universal DOT.

Sebagai kesimpulan, DOT di RNTCP menjamin kepatuhan pengobatan jangka panjang dengan obat yang tepat dalam dosis yang tepat dan interval yang tepat. Dengan demikian, memainkan peran yang sangat diperlukan dalam meningkatkan indikator hasil program dan kualitas hidup pasien TB.

DOTS terbukti efektif dalam mengendalikan TB secara massal di seluruh dunia. Pengamatan langsung merupakan elemen sentral dan kunci keberhasilan strategi DOTS.

Di India, petugas kesehatan memainkan peran utama dalam pengamatan pengobatan TB, yakni bila tidak ada observasi pengobatan, dilakukan oleh relawan masyarakat termasuk pekerja anganwadi, mimbar adat, dan tokoh masyarakat dan agama. 

Pemilihan penyedia DOTS harus didasarkan pada akses, preferensi pasien dan ketersediaan penyedia DOTS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola komponen observasi langsung dari strategi DOTS oleh penyedia DOTS profesional dan komunitas serta mengetahui penerimaan mereka di antara pasien. 

Studi berjudul, Direct observation pattern of DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) by Alternate DOTS providers for patients treated under RNTCP in a Tertiary Care Hospital memaparkan, 164 pasien TB baru dirawat di klinik TB pedesaan dan perkotaan CMC Vellore dari Januari 2001 hingga Desember 2004, ditindaklanjuti selama November 2005 bersama dengan penyedia DOTS masing-masing menggunakan kuesioner.

Hasil pengobatan diberikan bergantian oleh 94,5 persen dari penyedia komunitas dibandingkan dengan 90,1 persen dari penyedia profesional. Pasien yang diamati oleh penyedia profesional harus menempuh jarak rata-rata 0,91 km dibandingkan dengan hanya 0,31 km dengan penyedia komunitas. 

Rata-rata waktu yang dihabiskan setiap kali untuk mendapatkan obat dari penyedia, sebagaimana studi yang dipublikasikan di Indian Journal of Public Health Research and Development pada April 2012, yakni 27,42 menit dibandingkan dengan hanya 14,86 menit dengan penyedia komunitas.

Di tangan profesional, tempat utama pasien TB mendapatkan obat adalah klinik/rumah sakit (90,1 persen) dan di komunitas, baik itu rumah pasien (452 persen) atau rumah penyedia (41,1 persen).

3 dari 4 halaman

Keberhasilan Pengobatan Turun

Salah satu faktor masalah pengobatan tuberkulosis adalah kepatuhan pengobatan. Sesuai data dari Kementerian Kesehatan RI, angka keberhasilan pengobatan TB semakin menurun sejak 2016. 

Keberhasilan pengobatan pasien TB selama 10 tahun, data tertinggi pada tahun 2010 sebesar 89,2 persen, sedangkan pada tahun 2020, keberhasilan pengobatan mengalami penurunan terendah sebesar 82,7 persen dan di tahun 2021 sebesar 83 persen.

Pemerintah memiliki strategi dalam menanggulangi TB di Indonesia, yaitu Penguatan kepimpinan program TB di Kabupaten atau Kota, peningkatan akses layanan TB yang bermutu, pengendalian faktor resiko, peningkatan kemitraan TB melalui forum koordinasi TB, peningkatan kemandirian masyarakat dan penguatan manajemen program. 

Mengutip informasi Direktorat Jenderal Pelayanan Kemenkes RI yang tayang pada 25 Juli 2022, strategi di atas tidak akan efektif dalam menanggulangi TB, jika penderita tidak patuh dalam pengobatannya.

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan TB terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan penderita di antaranya, pengobatan TB dalam jangka waktu yang lama, banyak dari penderita sudah merasa sembuh sehingga berhenti meminum obat.

Faktor lain, adanya penyakit lain, kurangnya pengetahuan pasien, penderita malas berobat, faktor dukungan dari keluarga, tidak adanya upaya dari diri sendiri atau motivasi dan dukungan untuk minum obat dan pendidikan. 

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita TB, yaitu dengan menjaga komitmen pengobatan, adanya dukungan keluarga dalam bentuk dukungan emosional; waktu; dan uang. 

Kemudian penggunaan alat bantu demi peningkatan kepatuhan berobat dan pendekatan ‘peer educator’ atau pendidikan sebaya (memberikan motivasi dan edukasi dari pasien ke pasien).

Faktor kepatuhan minum obat dalam penyembuhan pasien TB yang paling utama adalah diri sendiri. Jika sadar akan kesehatan itu sangat berharga, maka kepatuhan dalam pengobatan TB akan tercapai dan kesembuhan penyakit TB akan dengan mudah didapatkan.

4 dari 4 halaman

Banyak Pasien TB Tak Diobati

Tantangan global terus berlanjut dalam menyediakan dan mengakses layanan tuberkulosis membuat banyak orang yang mengidap tuberkulosis tidak terdiagnosis dan diobati. Jumlah orang yang baru didiagnosis dengan TB dilaporkan turun dari 7,1 juta pada 2019 menjadi 5,8 juta pada 2020, menurut catatan WHO per 27 Oktober 2022.

Tercatat, pemulihan sebagian pasien TB di angka 6,4 juta pada 2021, tetapi ini masih jauh sebelum pandemi COVID-19. Pengurangan jumlah orang yang didiagnosis dengan TB yang dilaporkan menunjukkan, bahwa jumlah orang dengan TB yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati telah meningkat.

Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah kematian TB dan lebih banyak penularan infeksi di komunitas. Selanjutnya, ada peningkatan jumlah orang yang mengembangkan TB. Jumlah orang yang diberi pengobatan untuk rifampisin (RR-TB) dan multidrug-resistant TB (MDR-TB) juga telah menurun antara 2019 dan 2020. 

Jumlah orang yang dilaporkan memulai pengobatan untuk RR-TB pada tahun 2021 adalah 161.746, hanya sekitar satu dalam tiga dari mereka yang membutuhkan. Dari laporan tersebut, ada penurunan pengeluaran dana global untuk layanan TB, dari US$6 miliar pada 2019 menjadi US$5,4 miliar pada 2021, kurang dari setengah dari target global sebesar US$13 miliar per tahun pada 2022. 

Seperti 10 tahun sebelumnya, sebagian besar pendanaan yang digunakan pada tahun 2021 (79 persen) berasal dari dalam negeri. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya, pendanaan internasional tetap penting. 

Sumber utamanya adalah Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (Global Fund). Amerika Serikat merupakan penyumbang dana terbesar bagi Global Fund sekaligus donor bilateral terbesar yang menyumbang hampir 50 persen dari pendanaan internasional untuk TB.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.