Sukses

Korban Sodomi Bisa Berubah Jadi Pelaku, Apa Penyebab dan Hal yang Perlu Dilakukan?

Korban sodomi punya kecenderungan untuk menjadi pelaku, terutama bagi yang sudah sering mendapatkan tindak sodomi.

Liputan6.com, Jakarta Dampak psikis maupun fisik yang ditimbulkan dari tindak kekerasan seksual dapat begitu beragam. Pada masing-masing korban, dampaknya dapat bermanifestasi dalam wujud yang berbeda.

Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati mengungkapkan bahwa salah satu dampak tindak kekerasan seksual adalah korban bisa mengalami perubahan orientasi seksual.

Kondisi tersebut dapat terjadi terutama pada korban yang mengalami sodomi. Baety menjelaskan, korban sodomi mungkin mengalami perubahan orientasi seksual dan berubah menjadi pelaku.

"Perubahan orientasi seksual itu salah satu dampak dari kekerasan yang dialami korban, apalagi pada kasus sodomi. Itu biasanya terjadi pada korban yang sudah sering sekali mengalami perilaku tersebut," ujar Baety dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ditulis Senin, (31/10/2022).

"Sudah lama, sehingga akhirnya lama-lama secara arousal-nya dia merasakan bahwa 'Oh ternyata nyaman ya', 'Ternyata nikmat ya'. Ada kenikmatan. Awalnya mungkin dia gak nerima, takut. Tapi lama-lama mungkin."

Menurut Baety, pelaku sodomi pun biasanya tidak bertindak kasar. Sebaliknya, pelaku justru memberikan kenyamanan pada korbannya, yang kerap membuat korban tidak merasa bahwa ia sedang menjadi korban.

"Biasanya pelaku juga gak kasar, dia menyediakan istilahnya kenyamanan bagi si korbannya. Sehingga akhirnya korban enggak merasa sebagai korban dan akhirnya dia mencontoh karena nyaman diperlakukan seperti itu. Jadi dia mau coba juga," kata Baety.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kebanyakan Korban Berubah Jadi Pelaku

Lebih lanjut Baety mengungkapkan bahwa pada kebanyakan kasus yang ditangani olehnya, korban memang sudah dalam kondisi berubah menjadi pelaku.

"Jadi misalnya dia korban usia sekolah, pelaku sudah dewasa dan sudah lama diperlakukan seperti itu. Kemudian dia akhirnya ingin juga melakukan hal yang sama. Dia cari korban lain, anak-anak yang lebih kecil dari usianya," ujar Baety.

Sehingga menurut Baety, mata rantai dari korban sodomi memang luas dan perlu mendapatkan penanganan yang serius. Salah satu yang dapat dilakukan adalah pergi berkonsultasi pada psikolog.

"Jadi memang ini mata rantainya luar biasa damage-nya. Sehingga memang harus betul-betul, kalau dia sudah dapat kita identifikasi di fase itu, biasanya ini udah wajib konseling," kata Baety.

"Wajib ke psikolog. Apalagi kalo korban sodomi, karena ada kecenderungan, ada potensi dia jadi pelaku," tambahnya.

3 dari 4 halaman

Korban Tak Merasa Sebagai Korban

Dalam kesempatan yang sama, Baety mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab mengapa korban tidak melapor usai mendapatkan tindak kekerasan seksual.

Bukan hanya faktor takut, melainkan ada faktor lain. Salah satunya karena tidak mengerti bahwa yang dialaminya merupakan tindak kejahatan.

"Ini biasanya pada anak-anak yang umur sekitar tiga lima tahun, belum usia sekolah. Atau usia sekolah masih kelas satu dua, itu belum tahu kalau itu tidak boleh. Kenapa mereka tidak mengerti? Karena mungkin tidak diajari oleh orangtua dan pihak sekolah," ujar Baety.

Sehingga seringkali yang terjadi adalah anak tidak merasa trauma dan menganggap tindak kekerasan seksual tersebut merupakan hal biasa. Terlebih, korban bisa merasa ada keuntungan yang didapat seperti rasa nyaman dan sebagainya.

"Ini yang bahaya, korban enggak merasa sebagai korban. Ada hubungan kasih sayang antara korban dan pelaku. Seperti tadi, pelaku ada yang orang-orang dekat. Jadi tidak dipaksa, karena sayang," kata Baety.

"Karena dia merasa kok dia enggak dapat kasih sayang dari orangtuanya di rumah, tapi dengan pelaku dapat apa yang dia mau. Dia merasa pelakunya jadi teman curhat. Nah, ini bisa terjadi."

4 dari 4 halaman

Korban Kekerasan Seksual Terhalang Stigma

Tak dapat dimungkiri pula, stigma pada korban kekerasan seksual masih kerap bermunculan. Korban akhirnya memilih untuk tidak mau mengungkapkan apa yang dialami karena tidak mau mendapatkan stigma.

"Kemudian stigma-stigma yang lazim ada di masyarakat. Pola pikir masyarakat yang menilai bahwa ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, berarti sudah ada kerusakan di alat kelamin. Artinya dia sudah tidak perawan. Ya sudah, berarti kalau sudah tidak perawan, masa depannya hancur. Ini banyak diungkap oleh orangtua korban kekerasan seksual anak," kata Baety.

Padahal menurut Baety, masalah perawan dan tidak perawan bukanlah sesuatu yang penting untuk masa depan seseorang. Apalagi pada kasus anak yang masih punya potensi untuk berkembang, termasuk pada struktur selaput daranya.

"Inilah hal-hal yang menjadi stigma di masyarakat. Sehingga kebanyakan korban atau justru keluarga yang diharapkan menjadi pelapor, apalagi kalau korbannya anak-anak, justru tidak melapor," ujar Baety.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.