Sukses

Alami Mental Breakdown, Penyebab Korban Kekerasan Seksual Tidak Melapor

Banyak korban yang tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya, karena berbagai macam faktor.

Liputan6.com, Jakarta - Anjuran untuk melaporkan tindak kekerasan seksual sudah kerap kali ditemui pada banyak kesempatan. Cara-caranya pun sudah lebih mudah ditemui saat ini di jagat maya oleh masyarakat.

Namun faktanya, begitu banyak korban yang tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya korban lebih dulu mengalami mental breakdown.

Pendamping psikologi dari Akara Perempuan, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, Siti Hajar Rahmawati mengungkapkan bahwa pada kasus yang ditangani mereka, korban mengalami mental breakdown usai kejadian.dyah

"Kenapa? Karena dari kasus-kasus yang kami dampingi selama ini, pertama yang menjadi hambatan adalah mereka kena mental breakdown," ujar wanita yang akrab disapa Rahma dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ditulis Minggu, (30/10/2022).

"Setelah mendapatkan kekerasan, dia sudah mental breakdown duluan. Mental breakdown itu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan atau masalah yang menyebabkan aktivitas sehari-harinya terganggu."

Dampak mental breakdown yang dialami oleh korban kekerasan seksual beragam dan berbeda-beda. Rahma menjelaskan, dari data pelaporan Akara Perempuan sendiri, umumnya korban akan mengalami perubahan dari segi asupan makanan.

Ada yang justru berhenti makan dan ada pula yang kebiasaan makannya bertambah berkali-kali lipat. Selain itu, beberapa mengalami kesulitan tidur atau sebaliknya, tidur secara terus-menerus. Belum lagi beberapa korban masih memiliki kendala untuk mencari bantuan yang tepat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pentingnya Dukungan Orang Terdekat

Lebih lanjut Rahma mengungkapkan bahwa banyak pula korban yang tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Sehingga banyak orang yang ia dampingi tidak menceritakan kasus atau keadaan yang mereka alami ke orang terdekat.

"Padahal support system terpenting adalah orang-orang terdekat. Maka ketika kami melakukan pendampingan orangtuanya tidak tahu masalah ini, kami akan tanya ada teman yang bisa dipercaya atau tidak," ujar Rahma.

"Kalau keluarga enggak bisa membantu, harus ada paling enggak yang layer selanjutnya dari orang ini yang bisa ikut membantu dia."

Seperti diketahui, dampak yang dialami orang korban kekerasan seksual bisa berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Dampaknya tak hanya psikis, namun juga bisa beralih ke fisik.

Sehingga pendampingan sebenarnya menjadi poin penting untuk korban.

"Akibatnya bisa berkepanjangan. Entah psikis, entah fisik, atau keduanya. Nah ini lho, ini kenapa pentingnya ada pendampingan," kata Rahma.

3 dari 4 halaman

Korban Diminta untuk Bungkam Saja

Menurut Rahma, yang menjadi tantangan dalam proses pendampingan korban kekerasan seksual adalah tidak adanya perspektif gender dan korban yang mumpuni.

Rahma mengungkapkan bahwa tenaga profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, terapis, dosen, dan lainnya sangat perlu untuk memahami isu ini. Mengingat di Indonesia, masih banyak korban yang diminta untuk bungkam saat hendak melapor.

"Ada korban anak yang diminta untuk enggak lapor, enggak usah ngomong. Ini kejadian, dan banyak ini terjadi," ujar Rahma.

"Belum tentu semua profesional yang berada di garis depan, yang harusnya membantu itu ngerti perspektif gender dan korban."

Belum lagi, ada tantangan dari budaya dan agama yang justru menyarankan korban untuk diam karena dianggap dosa dan aib. Apalagi jika halangan itu datang dari orang terdekat yang meminta korban untuk menutupi saja kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

"Di agama enggak boleh nih ngomongin aib, apalagi hal seperti itu urusan kasur. Halangan juga dari orang terdekat," kata Rahma.

4 dari 4 halaman

Naiknya Laporan Kekerasan Seksual

Dalam kesempatan yang sama, Rahma mengungkapkan bahwa pada awal pandemi COVID-19, tepatnya pada 2020, laporan kekerasan seksual ke Akara Perempuan justru mengalami peningkatan yang signifikan.

"Nah, yang menariknya, tahun 2020 kasus kekerasan seksual yang masuk ke kami ada 18 kasus. Tetapi 18 kasus itu hanya dari bulan Juli sampai Desember 2020. Itu sudah banyak banget," ujar Rahma.

"Karena di 2021, 18 kasus itu dalam satu tahun. Sedangkan di 2020, 18 kasus itu setengah tahun. Jadi itu lonjakan yang besar padahal telah terjadi COVID-19 yang sedang tinggi-tingginya pada waktu itu."

Menilik data KemenPPPA sendiri, tercatat ada sebanyak 11.952 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2021. Ternyata, 7.004 kasus atau 58,6 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual.

Tak berhenti di sana, data KemenPPPA pun menemukan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 laporan pada 2021, dan 1.272 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.