Sukses

Gas Air Mata Kedaluwarsa di Tragedi Kanjuruhan, Lebih Bahaya atau Tidak?

Sejauh mana bahaya penggunaan gas air mata kedaluwarsa dalam Tragedi Kanjuruhan.

Liputan6.com, Jakarta Polri mengakui telah menggunakan gas air mata kedaluwarasa dalam Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur yang menelan korban 132 orang meninggal dunia (data Tim Gabungan Independen Pencarian Fakta (TGIPF) Peristiwa Stadion Kanjuruhan per 14 Oktober 2022).

Lantas, apakah gas air mata kedaluwarsa lebih berbahaya?

Sejumlah anggapan muncul, ada yang mengatakan tidak berbahaya karena efektifitasnya telah berkurang. Ada pula anggapan gas air mata kedaluwarsa justru lebih berbahaya yang ditandai berubahnya menjadi zat kimia lain, salah satunya sianida.

Menyikapi dua anggapan di atas, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menegaskan, belum ada studi ilmiah yang membandingkan efek gas air mata kedaluwarsa dengan yang tidak kedaluwarsa.

"Sejauh ini, belum ada penelitian ilmiah yang membandingkan efek gas air mata kedaluwarsa dibandingkan dengan yang tidak kedaluwarsa," tegas Tjandra Yoga saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat, ditulis Sabtu (15/10/2022).

Jadi, secara evidence-based (bukti ilmiah), belum bisa dikatakan, apakah lebih atau kurang berbahaya."

Terlepas dari persoalan kedaluwarsa atau tidak, Tjandra Yoga mengingatkan, benda asing apapun termasuk gas air mata yang terpapar ke tubuh maupun masuk ke saluran pernapasan dapat berdampak berbahaya. Iritasi bisa dialami korban.

"Soal penilaian bahaya, juga akan tergantung dari berapa lama sudah kedaluwarsanya dan bahan apa yang masih ada sesudah kadaluwarsa itu. Tetapi, bagaimanapun, benda/gas asing apapun yang terhirup ke saluran napas pasti ada dampak iritasinya," ucapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bukan Pertama Kali Digunakan

Terkait gas air mata kedaluwarsa, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi penggunaan kekuatan Polri.

Menurut peneliti ICJR Iftitahsari, penggunaan gas air mata kedaluwarsa bukan pertama kali digunakan oleh kepolisian. Seperti pada September 2019 saat unjuk rasa mahasiswa atas penolakan RUU KPK dan RKUHP di Gedung DPR MPR, petugas juga menggunakan gas air mata yang telah kedaluwarsa.

"Awalnya, polisi sempat membantah bahwa Polri memakai gas air mata yang masih standar atau bukan kedaluwarsa," kata Iftitahsari dalam keterangannya, Jumat (14/10/2022).

"Namun, pernyataan itu diralat oleh Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo yang saat ini menjabat sebagai Kadiv Humas Polri, mengaku bahwa gas air mata yang digunakan oleh kepolisian telah kedaluwarsa. Namun, menurutnya gas air mata yang telah kedaluwarsa tidak berbahaya."

Iftitahsari mengingatkan, penggunaan gas air mata kedaluwarsa oleh aparat penegak hukum juga terjadi beberapa kali di negara lain, seperti aksi unjuk rasa di Venezuela pada 2014.

3 dari 4 halaman

Autopsi Jenazah Meninggal

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) turut meminta Polri megusut dugaan pidana dalam penembakkan gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan. TGIPF mendesak Polri mengusut penembak gas air mata tanpa komando atasan.

Perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap aparat yang melakukan tindakan berlebihan pada kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persebaya tanggal 1 Oktober 2022 seperti yang menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando, demikian isi rekomendasi TGIPF yang disampaikan kepada Presiden Jokowi, Jumat (14/10/2022).

Selain itu TGIPF juga meminta Polri segera mengautopsi jenazah korban meninggal akibat gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan.

Melakukan autopsi terhadap pasien yang meninggal dengan ciri-ciri yang diduga disebabkan oleh gas air mata guna memastikan faktor-faktor penyebab kematian, demikian bunyi dokumen rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan.

Rekomendasi lain, yakni agar menyiapkan peraturan Kapolri untuk pengamanan olahraga. Menghentikan penggunaan gas air mata pada setiap pertandingan sepak bola yang ditangani oleh PSSI.

Melakukan rekonstruksi kejadian penembakan gas air mata, guna memastikan siapa yang bertanggungjawab dan terhindar dari upaya sabotase, menurut isi dokumen.
4 dari 4 halaman

Uji Racun dalam Gas Air Mata

Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang menguji racun dalam gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian saat Tragedi Kanjuruhan.

"Adapun peringkat keterbahayaan atau keberbahayaan atau racun pada gas itu sekarang sedang diperiksa oleh BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional," ujar Mahfud MD dalam keterangannya, Jumat (14/10/2022).

Kematian ratusan orang dalam Tragedi Arema di Stadion Kanjuruhan, menurut Mahfud MD sudah dipastikan karena gas air mata. Maka dari itu, tingkat racun tersebut tengah didalami lebih lanjut.

"Tetapi apapun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tidak bisa mengurangi kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama disebabkan oleh gas air mata," lanjutnya.

Bagi korban Tragedi Kanjuruhan yang meninggal dan kritis di rumah sakit disebabkan karena kehabisan oksigen dan terinjak-injak akibat ditembakkan gas air mata.

"Nah, kemudian yang meninggal dan cacat serta sekarang kritis, dipastikan terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan. Itu penyebabnya," jelas Mahfud MD.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.