Sukses

Survei: Suami Berselingkuh Lebih Rentan Lakukan Kekerasan ke Istri

Survei KemenPPPA pada 2016 menunjukkan bahwa suami yang berselingkuh cenderung melakukan kekerasan fisik pada istrinya.

Liputan6.com, Jakarta Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin jadi peribahasa yang mewakili kondisi korban perselingkuhan yang juga mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Keduanya berpotensi menjadi pengalaman yang traumatis untuk korban.

Menilik data yang dihimpun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang 2022 terdapat 18.168 laporan kekerasan. Dari data itu, 16.665 diantaranya adalah perempuan.

Pada 2016, KemenPPPA melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Temuan yang didapat adalah perempuan yang suaminya berselingkuh cenderung mengalami kekerasan fisik 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

"Perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh," seperti mengutip laman resmi KemenPPPA ditulis Sabtu (1/10/2022).

Survei tersebut ikut menunjukkan faktor seringnya bertengkar dengan suami membuat perempuan lebih berisiko sebanyak 3,95 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dibandingkan yang jarang bertengkar.

Kekerasan fisik yang dimaksud di sini diantaranya seperti tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya.

Jika berkaca pada kasus kekerasan yang terjadi, tak sedikit yang mewajarkan tindakan tersebut sebagai suatu kebetulan lantaran pelaku tengah diliputi emosi. Padahal sebenarnya, emosi apalagi kebetulan bukanlah faktor yang dapat menyebabkan seseorang bisa melakukan tindak kekerasan.

Psikolog keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa terdapat faktor lainnya yang dapat membuat seseorang bisa melakukan tindak kekerasan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Faktor Penyebab Seseorang Lakukan Kekerasan

Efnie mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan dalam hubungan bukanlah sebuah hal yang dapat terjadi secara kebetulan. Hal tersebut dikarenakan tendensi untuk melakukan kekerasan bisa sudah dapat terbentuk sejak seseorang berada pada masa kanak-kanak.

"Biasanya, sang pelaku memang sudah memiliki kecenderungan untuk melakukan agresi pada orang lain. Hal ini (bisa) terbentuk sejak dari kecil. Beberapa hal yang bisa membentuk seseorang atau watak menjadi agresi diantaranya sejak kecil ia berada dalam lingkungan yang memberikan contoh demikian," kata Efnie pada Health Liputan6.com ditulis Sabtu, (1/10/2022).

"Misalnya, ada kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal memberikan contoh kekerasan, efek dari menonton film yg memiliki adegan kekerasan, game yang mengandung unsur kekerasan, dan lain-lain," tambahnya.

Terlebih, perilaku kekerasan bukanlah hal yang dapat sembuh dengan sendirinya. Sehingga jika kekerasan dalam hubungan terjadi, maka pelaku disarankan untuk mendapatkan psikoterapi untuk mengubah pola pikir.

"Yang bersangkutan (pelaku) butuh mendapatkan psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah pola berpikir tentang kekerasan, termasuk membentuk habit baru yang lebih positif. Hal ini sangat penting, mengingat karena melakukan perilaku kekerasan tidak akan pulih dengan sendirinya," kata Efnie.

3 dari 4 halaman

Pelaku Kekerasan Sulit Pulih, Jika...

Menurut Efnie, pelaku kekerasan sebenarnya akan sulit untuk pulih jika tidak melakukan terapi untuk perubahan perilaku. Itulah mengapa psikoterapi jadi pilihan yang sering ditawarkan untuk para pelaku kekerasan.

"Sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.

Sedangkan dalam sisi korban, Efnie menyebutkan bahwa biasanya yang membuat korban kesulitan untuk keluar dari hubungan adalah pola pikir tertentu dan logika yang sedang tidak dalam kondisi jernih.

"Biasanya pola pikir enggak tega dan takut kehilangan yang membuat mereka (korban) sulit lepas, sehingga logika yang jernih tidak dipergunakan kembali," ujar Efnie.

Sehingga menurut Efnie, apabila seseorang ingin keluar dari hubungan yang tidak sehat dan diliputi oleh tindak kekerasan, maka mengubah pola pikir jadi cara yang utama.

"Karena jika pola pikir ini tidak diubah maka meskipun sudah menerima perlakuan kekerasan berkali-kali maka sang korban akan memaafkan dan tidak mengakhiri hubungan," kata Efnie.

4 dari 4 halaman

Hal yang Sebaiknya Dilakukan Korban Kekerasan

Dalam kesempatan berbeda, Efnie mengungkapkan bahwa setelah menjadi korban perselingkuhan kemudian KDRT, korban bisa mengalami trauma yang berat. Sehingga penanganan yang tepat perlu dilakukan untuk menyikapinya. Korban dianggap perlu untuk mendapatkan pendampingan dari berbagai sisi.

"Kejadian ini sangat traumatis bagi korban, maka penanganan oleh profesional (dokter + psikolog) wajib dilakukan agar korban bisa dipulihkan secara fisik dan mental serta meneruskan perjalanan hidupnya," ujar Efnie.

Selain dibantu oleh tenaga profesional, korban juga perlu untuk meminta dukungan dari lingkungan sekitar. Orang-orang di sekitar korban sebaiknya hadir secara fisik untuk mendampingi dan menjadi pendengar yang baik.

"Mereka (orang-orang terdekat korban) harus menjadi supporting group dengan cara hadir secara fisik, mendampingi, menjadi pendengar yang baik, dan menenangkan," kata Efnie.

Sebagai orang terdekat, Efnie ikut menyarankan untuk menghindari percakapan terkait perselingkuhan maupun KDRT. Hal ini lantaran dapat memicu rasa trauma korban menjadi lebih berat lagi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.