Sukses

Kemenkes: Lebih dari 40 Persen Orang AS dan Prancis Pakai Obat Herbal

Penggunaan obat herbal di negara maju seperti Amerika Serikat dan Prancis sangat populer.

Liputan6.com, Bali - Penggunaan obat herbal (herbal medicine) rupanya sangat populer di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Prancis. Tak heran, pangsa pasar untuk komoditi obat herbal tumbuh pesat di negara maju, yang mana mereka mempunyai teknologi farmasi dan kesehatan canggih.

Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Lucia Rizka Andalusia menuturkan, banyak warga di negara maju menggunakan obat herbal untuk perawatan kesehatan. Mereka sudah sadar menggunakannya untuk kesehatan.

Di Tiongkok, penggunaan obat herbal atau yang disebut Traditional Chinese Medicine (TCM) sudah fokus digunakan untuk tujuan kesehatan. Di Jepang, 60 sampai 70 persen obat herbal telah diresepkan.

"Sementara itu, WHO Regional Office untuk Amerika (AMOR/PAHO) melaporkan bahwa 71 persen penduduk Chili dan 40 persen penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional," papar Rizka saat rangkaian acara G20, 'T20 Indonesia Parallel Session 3D: Green Pharmacy’s Role in Supporting Global Health Architecture' yang disiarkan dari Bali pada Selasa, 6 September 2022.

"Bahkan di antara negara maju, obat herbal sangat populer. Penggunaan obat herbal oleh penduduk di Prancis mencapai 49 persen, Kanada 70 persen, Inggris 40 persen, dan Amerika Serikat 42 persen. Inilah kondisi pasar ekspor obat herbal ke depannya."

Obat herbal sebagai bagian dari pengobatan tradisional dan komplementer merupakan sumber daya kesehatan yang penting dan sering dipandang sebelah mata, terutama dalam pencegahan dan perawatan terhadap penyakit kronis dan pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi populasi lansia.

"Banyak negara berusaha untuk memperluas cakupan layanan kesehatan esensial. Saat sebagian besar anggaran stagnan dan berkurang, minat TCM justru menuju kebangkitan. Obat herbal menjadi fokus para peneliti dan industri di dunia termasuk negara-negara G20," terang Rizka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kurangnya Dana dan Dukungan Penelitian

Walaupun penggunaan obat herbal di negara maju terbilang populer, ada sejumlah tantangan yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama.

"Seperti kurangnya penelitian. Kesulitan selanjutnya adalah kurangnya dukungan dana untuk penelitian Traditional Chinese Medicine dan kurangnya mekanisme untuk memantau keamanan TCM termasuk obat herbal," Lucia Rizka Andalusia melanjutkan.

"Kurangnya kapasitas untuk memantau keamanan produk TCM, sistem informasi, dan analisis serta integrasi TCM ke dalam sistem kesehatan. Meski begitu, tidak mengurangi upaya untuk memaksimalkan potensi produk herbal. Tapi kita harus melihat, ini adalah peluang kolaborasi produktif kita di bidang ini."

Apalagi kekayaan Indonesia mempunyai sekitar 143 hektar hutan tropis, dengan 28.000 spesies tumbuhan, 32.000 tanaman telah dimanfaatkan. Indonesia juga mempunyai 270 juta penduduk dengan cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Selain itu, industri farmasi lokal di Indonesia juga mengembangkan Green Pharmacy atau Farmasi Hijau dengan pemanfaatan obat herbal. Produk obat herbal pun dikenal dengan jamu. 

Green Pharmacy dapat didefinisikan sebagai senyawa yang memungkinkan memiliki efek genomik dan proteomik. Ini adalah metode atau sistem yang tidak hanya dalam bidang pengobatan biologis, tetapi lebih jauh ke molekuler penyakit dan pasien.

"Dalam Presidensi G20, Indonesia mengusung isu prioritas tentang Arsitektur Kesehatan Global. Salah satu isunya, soal potensi keragaman sumber daya alam yang punya kekuatan potensial untuk dimanfaatkan sepenuhnya. Upaya ini juga demi ketahanan kesehatan," tambah Rizka.

3 dari 4 halaman

Pemanfaatan Green Pharmacy

Demi mencapai ketahanan kesehatan, Kementerian Kesehatan RI mulai menerapkan transformasi sistem kesehatan dengan 6 pilar. Ketahanan sektor farmasi merupakan bagian dari transformasi.

"Agenda transformasi ini mencerminkan dukungan Kementerian Kesehatan dalam pengembangan dan pemanfaatan obat herbal di bidang kesehatan. Di lokasi pengembangan, kami mendorong penelitian, pengembangan hingga penanganan dan pemanenan bahan baku untuk memastikan standar kualitas dalam produksi," Lucia Rizka Andalusia menambahkan.

"Kami menyelaraskan upaya untuk mendukung Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk mengembangkan bisnis dan pasar mereka. Kami menyediakan Formularium Fitofarmaka yang telah diluncurkan. Pemerintah menyediakan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah untuk menggunakan produk lokal."

Melalui dukungan pengembangan obat herbal dalam negeri, Rizka optimis tindakan ini akan membawa pemanfaatan Green Pharmacy secara berkelanjutan dalam pengaturan perawatan kesehatan.

"Tentunya juga menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk sebagaimana bagian dari visi SDGs dan tetap menjadi agenda kita. Hal ini juga sejalan dengan visi Presiden untuk menciptakan masyarakat yang sehat, produktif, dan mandiri," imbuhnya.

"Kami percaya harus ada lebih banyak tindakan kolaboratif antar pemangku kepentingan untuk meningkatkan ketahanan kesehatan kita. Saya menggarisbawahi bagian penting untuk pengembangan Green Pharmacy, dan mendorong semua peserta untuk memberikan rekomendasi berkelanjutan kepada Pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mengoptimalkan peran Green Pharmacy untuk mendukung Arsitektur Kesehatan Global."

4 dari 4 halaman

Tak Kalah dengan Obat Farmasi Biasa

Konsep Green Pharmacy disebut-sebut dapat menjadi solusi masalah kesehatan global. Sebelumnya, Director of Research & Business Development Dexa Group Dr. Raymond Tjandrawinata menjelaskan, konsep Green Pharmacy memiliki pengaruh pada ekspresi gen, terutama karena memiliki banyak bahan alami.

Saat ini, dunia berada di tengah perkembangan pengobatan preventif, berada di tengah-tengah konversi dari obat konvensional ke fungsional. Obat fungsional harus berorientasi pada kesehatan, berpusat pada pasien dan bersifat holistik.

"Dengan Green Pharmacy dan obat-obatan alami, hal ini dapat dilakukan dengan sangat mudah karena dengan Green Pharmacy kita bisa mengemas protein atau molekul ke dalam bentuk produk. Sekarang, Green Pharmacy juga bisa masuk ke dalam kategori itu,” kata Raymond melalui rilis pada Kamis (10/3/2022).

Untuk meningkatkan pemahaman terkait Green Pharmacy dan efeknya, Raymond mengemukakan, telah banyak literatur termasuk jurnal publikasi.

“Semua publikasi menunjukkan bahwa Green Pharmacy tidak kalah dengan farmasi biasa/konvensional. Banyak bagian dari Green Pharmacy ini sebenarnya bisa digunakan," jelasnya.

"Banyak bagian dari tumbuhan termasuk akar, cabang, daunnya. Kami mencatat banyak negara yang mengembangkan Green Pharmacy untuk sektor kesehatan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.