Sukses

Dampak Bila Anak Terinfeksi COVID-19 Lebih dari Satu Kali

Anak mungkin mengalami infeksi COVID-19 lebih dari satu kali, seperti orang dewasa lainnya.

Liputan6.com, Jakarta Umumnya, orang dewasa bisa terinfeksi COVID-19 lebih dari satu kali. Reinfeksi mungkin terjadi saat imunitas seseorang mengalami penurunan dan terpapar dalam waktu cukup lama dengan pasien.

Hal tersebut pun berlaku pada anak. Virus SARS-CoV-2 sangat mungkin menginfeksi anak lebih dari satu kali. Lalu, apakah dampaknya bila anak terinfeksi COVID-19 lebih dari satu kali?

Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Anggraini Alam, SpA(K) mengungkapkan bahwa semakin sering anak terinfeksi, maka akan semakin besar potensi komplikasi dan long COVID-19 terjadi.

"Kalau anak berkali-kali terinfeksi COVID-19, sudah ada penelitiannya. Makin dia sering terinfeksi, maka kemungkinannya untuk mengalami berbagai komplikasi, berbagai kemungkinan long COVID-19 akan makin tinggi," ujar Anggraini dalam virtual media briefing Evaluasi Pembelajaran Tatap Muka IDAI dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jumat (19/8/2022).

"Ada yang bertanya juga tentang MIS-C (Multisystem Inflammatory System in Children). MIS-C ini memang kalau di Indonesia belum ada penelitiannya, tapi kita ikut di Amerika. Mereka itu dapat 200 kasus per satu juta orang yang tidak divaksinasi," tambahnya.

Sedangkan jika divaksinasi, kejadian MIS-C pada anak menjadi 1:1.000.000 orang. Sehingga artinya menurut Anggraini, vaksinasi akan sangat membantu anak agar tidak terinfeksi COVID-19 berkali-kali.

"Mungkin kita bisa galakan, terutama di keluarga, di perkotaan yang mampu. Sekolah-sekolah juga yang mampu melakukan self antigen test, karena pemeriksaan swab antigen itu relatif mudah, murah. Mari kita mulai lakukan sekarang (untuk deteksi COVID-19 lebih cepat)," kata Anggraini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Standar Kontak Erat pada COVID-19

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Yogi Prawira SpA(K). Yogi mengungkapkan bahwa dalam hal penularan COVID-19, penting untuk mengetahui definisi atau standar kontak erat.

Dengan begitu, seseorang dapat lebih mudah memahami kapan atau haruskah dirinya melakukan deteksi atau tes COVID-19 usai bertemu dengan orang yang positif. Termasuk dalam momentum pembelajaran tatap muka (PTM).

"(Kontak erat) pertama, siswa itu berada dalam jarak kurang dari satu meter dari siswa-siswa lain yang terkonfirmasi positif. Jadi ada patokan jaraknya. Kedua, ada durasi. Durasinya lebih dari 15 menit dalam periode 24 jam," ujar Yogi.

"Tapi 15 menit itu tidak harus terus-menerus, akumulasi. Jadi misalnya pagi ngobrol lima menit, siangnya ketemu lagi pulang sekolah salaman ngobrol lagi. Total sudah masuk 15 menit dalam durasi," tambahnya.

Yogi menjelaskan, aturan tersebut berlaku jika dua orang yang berinteraksi tersebut sama-sama menggunakan masker. Namun bila keduanya tidak menggunakan masker, maka jaraknya menjadi lebih lebar.

3 dari 4 halaman

Bila Anak Tidak Gunakan Masker

Lebih lanjut Yogi menjelaskan bahwa standar kontak erat yang berlaku di atas merupakan standar apabila anak-anak di sekolah menggunakan masker. Namun, standar akan berbeda jika anak tidak menggunakan masker.

"Kalau tadi satu meter. Tapi kalau salah satu anak tidak menggunakan masker, maka jarak (kontak erat) itu satu sampai dua meter. Durasinya juga sama 15 menit dalam periode 24 jam. Nah semua yang masuk kategori kontak erat, harus melakukan tracing," kata Yogi.

Menurut Yogi, mitigasi atau upaya untuk mengurangi risiko penularan COVID-19 adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Terlebih menurut Yogi, yang menjadi kekhawatiran bukan hanya saat anak-anak terinfeksi, melainkan pasca infeksi COVID-19.

Sehingga menurutnya, kuncinya terletak pada perilaku bersih dan hidup sehat (PHBS).

"PHBS ini bisa mencegah banyak hal. Nah dari PHBS dan protokol kesehatan yang sekian banyak, awalnya 3M jadi 5M sampai 10M. Sampai orang sudah pusing sendiri. Nah mana sih yang paling efektif? Pertama adalah masker, kedua adalah ventilasi," kata Yogi.

4 dari 4 halaman

Kencangkan Masker dan Ciptakan Ventilasi Baik

Yogi mengungkapkan bahwa dengan banyaknya protokol kesehatan dan masyarakat yang sudah mulai lelah, setidaknya masker dan ventilasi harus mendapatkan perhatian khusus termasuk dalam hal PTM.

"Jadi kalau misalnya kita sudah lelah gitu ya. Maka minimal dua ini yang harus dikencangkan, masker dan ventilasi. Masker seperti apa? Masker kita akan berkompromi dengan kenyamanan dan keamanan," ujar Yogi.

Menurut Yogi, menggunakan masker yang ketat seperti KN95 mungkin akan menimbulkan ketidaknyamanan. Namun jenis masker seperti itu bisa menciptakan keamanan yang lebih ekstra dibandingkan masker yang sekadar nyaman.

"Tapi kalau dia (masker) nyaman banget, kendur, tidak ketat, bisa turun-turun maka dia pasti tidak aman. Nah kita berusaha memilih, yang kita rekomendasikan adalah masker medis yang menutup hidung dan mulut. Tentunya sampai menutup dagu," kata Yogi.

Namun masker medis memiliki kemampuan filtrasi yang terbatas yakni hanya kurang lebih empat jam. Sehingga penting bagi anak-anak untuk mengganti masker secara rutin dan membawa masker cadangan di tas masing-masing.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.