Sukses

Ketika Para Dokter Mengenang Serunya Lomba 17-an di Masa Kanak-Kanak

Serunya ikut lomba 17 Agustus ketika kecil pun turut dirasakan sejumlah dokter di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Lomba 17-an jadi momen yang ditunggu oleh masyarakat di Tanah Air. Pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap 17 Agustus, menggelar berbagai lomba telah jadi tradisi.

Mulai dari lomba membawa kelereng dengan sendok, makan kerupuk, balap karung hingga panjat pinang, semuanya menjadi momen seru yang paling ditunggu. Lomba-lomba unik tersebut bukan sekadar untuk berbagi tawa dan kegembiraan, namun juga menyimpan makna mendalam. 

Mengutip kanal Regional, Sejarawan dan Budayawan, JJ Rizal mengatakan, tradisi lomba 17-an muncul karena antusiasme masyarakat yang ingin memeriahkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan cara yang menyenangkan. Saat itu, presiden pertama Indonesia, Sukarno, adalah salah satu orang yang paling bersemangat dengan lomba 17 Agustus ini dan seiring waktu tradisi tersebut semakin menyebar luas ke seluruh Tanah Air.

Masing-masing lomba 17-an memiliki maknanya sendiri. Lomba balap karung misalnya, lomba ini menggunakan karung bekas, seperti karung goni. Peserta harus memasukkan bagian kakinya atau setengah tubuhnya ke dalam karung, kemudian melompat-lompat kecil hingga melewati garis finish.

Makna lomba 17 Agustus ini menyimbolkan pakaian sederhana yang pada zaman dulu dikenakan masyarakat Indonesia. Namun, ternyata lomba ini juga sudah diadakan oleh misionaris Belanda untuk instansi-instansi bentukannya.

Sedangkan pada lomba makan kerupuk, kerupuk digantung dengan seutas tali, kemudian peserta harus memakannya tanpa boleh menggunakan tangan. Peserta yang berhasil menghabiskan lebih dulu, dialah pemenangnya.

Lomba makan kerupuk menyimbolkan kesederhanaan karena kerupuk merupakan makanan yang murah dan mudah didapat.

Sementara pada lomba panjat pinang yang dilaksanakan secara berkelompok, tim peserta harus bergotong royong memperebutkan hadiah dengan memanjat sebuah tiang dengan beragam hadiah di puncaknya.

Dulu, lomba ini diadakan sebagai hiburan dan bahan tertawaan kaum kolonial Belanda. Mereka ingin melihat masyarakat pribumi memperebutkan 'barang mewah' seperti keju, gula, dan pakaian.

Pada saat masyarakat pribumi berjuang untuk mendapatkan hadiah, mereka yang menonton pun menjadikan hal itu sebagai bahan tertawaan. Lomba ini menyimbolkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

Serunya ikut lomba 17 Agustus ketika kecil pun turut dirasakan sejumlah dokter di Indonesia. Nama-nama besar di dunia kesehatan seperti Mantan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi hingga Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama berbagi kenangan mereka ikut dalam lomba 17-an saat kanak-kanak. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Siti Nadia Tarmizi

Makan kerupuk dan balap karung jadi lomba 17-an yang paling disukai Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid semasa kecil.

"Lomba 17-an paling senang makan kerupuk, balap karung," tutur Nadia pada Liputan6.com, Selasa, 16 Agustus 2022.

Menurut wanita yang pernah menjadi Juru Bicara COVID-19 Kementerian Kesehatan RI itu, dirinya paling jago setiap ikut lomba makan kerupuk karena memiliki postur tubuh tinggi.

"Nah ini, aku jagonya makan kerupuk karena tinggi... Sama bawa kelereng, dan yang seru juga lomba bakiak karena sampai jatuh-jatuh," ucap Nadia mengenang serunya ikut lomba 17-an semasa kecil di Palembang.

Nadia kecil kerap memenangkan lomba 17 Agustus. Hadiah berupa alat tulis dan makanan. Meski sederhana, kesan yang tertinggal tak terlupa, terus terkenang hingga kini dirinya telah dewasa.

"Itu kenangan kita di masa kecil, tradisi merayakan 17 Agustus-an, dan ini akan terus (diingat) sampai dewasa. Jadi kalau 17 Agustus-an adalah pesta rakyat dalam kemerdekaan negara kita," ucapnya.

3 dari 4 halaman

Prof Tjandra Yoga Aditama

Momen Hari Kemerdekaan juga masih tersimpan rapi di memori masa kecil Prof. Tjandra Yoga Aditama. Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI berkisah bahwa dirinya suka ikut lomba 17-an semasa duduk di bangku sekolah.

Lomba yang paling ia gemari adalah balap kelereng. Ini merupakan permainan tradisional yang hampir tak pernah absen mewarnai kemeriahan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI).

“(Yang paling disukai) lomba bawa gundu (kelereng) dalam sendok yang kita gigit, lalu jalan ke tujuan tertentu dan balik lagi,” kata Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat Selasa (16/8/2022).

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) juga mengatakan bahwa tak ada alasan khusus mengapa ia menyukai lomba tersebut.

“Hehehe, enggak ada alasan khusus sih, tapi yang jelas enggak sampai jatuh-jatuh seperti balap karung.”

Sedangkan, pengalaman paling berkesan soal serba-serbi momen Agustus-an adalah ketika ia mengikuti upacara 17 Agustus di negeri orang.

“Bukan waktu kecil ya, tapi ikut upacara 17 Agustusan di KBRI di luar negeri, saya pernah ikut di Tokyo tahun 1980-an dan tentu beberapa kali di India dalam 5 tahun sejak 2015-2020,” pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Prof Ari Fahrial Syam

Kisah berikutnya datang dari Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam.

Dokter spesialis penyakit dalam-gastroenterologi-hepatologi ini menghabiskan masa kecilnya di daerah Perkampungan Betawi, Tanah Abang, Jakarta.

“Jadi setiap Agustusan selalu meriah di perkampungan waktu itu, sudah biasa jauh-jauh hari sebelumnya, RW atau RT membentuk panitia dan menyediakan berbagai macam lomba,” kata Ari melalui pesan suara.

Lomba balap karung, tarik tambang, balap kelereng, dan mengambil koin dari buah pepaya yang dilumuri coklat atau arang.

“Kalau kita ambil koinnya (dengan mulut) muka kita jadi cemong. Ini adalah contoh-contoh bahwa masa kecil saya dilewati dengan mengesankan ketika mengikuti lomba-lomba 17-an.”

Satu lomba yang membuatnya sangat terkesan adalah lomba sepeda lambat. Dalam lomba ini, peserta bukan mengadu kecepatan melainkan mengadu kelambatan.

“Kita tidak boleh meggenjot tapi berjalan mundur, kalau jatuh atau kaki kita turun itu kalah. Yang menang adalah yang bisa bertahan di atas sepeda hingga mencapai finish.”

Perayaan Agustusan semakin menyenangkan karena di malam puncak biasanya ada pemutaran film di layar tancap.

“Itu juga biasanya suka ditunggu-tunggu masyarakat. Yang diputar biasanya film Benjamin S, film yang lucu. Yang selalu saya ingat juga kita selalu menjaga kebersamaan walaupun berlomba tapi tidak pernah sampai berkelahi atau marah karena kalah,” kenangnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.