Sukses

Batuk dan Sesak Napas 3 Minggu, Pria 18 Tahun Kena Radang Paru Usai Ngevape 3 Bulan

Tidak ada riwayat TB dan asma tapi gunakan rokok elektronik tiga bulan terakhir. Ini penyebab pria muda ini batuk dan sesak napas.

Liputan6.com, Jakarta Seorang pemuda 18 tahun di Indonesia mengeluhkan kesehatannya tak baik karena mengalami sesak napas dan batuk-batuk selama tiga minggu.

Ia memang sempat alami demam di awal gejala. Namun, selain itu ada yang bikin lebih khawatir. Saat batuk, juga ada sedikit bercak darah yang keluar seperti disampaikan dokter spesialis paru konsultan Agus Dwi Susanto.

"Ini pasien saya, usia 18 tahun, dia datang ke rumah sakit dengan sesak napas tiga minggu," kata Agus.

Agus juga menyampaikan bahwa pasien ini tidak memiliki riwayat tuberkulosis (TB). Tidak ada juga riwayat asma. Namun, dia adalah pengguna vape atau rokok elektronik tiga bulan terakhir.

Dari hasil pemeriksaan rontgen dada ada infiltrat minimal pada bawah kanan-kiri.

"Di fotonya (foto rontgen dada) ternyata terjadi ada pneumonia atau radang paru jadi dia mengalami pneumonia setelah tiga bulan menggunakan vape," kata Agus.

Agus pun meminta pasiennya tersebut untuk berhenti menggunakan vape tersebut. Lalu, ia juga meresepkan obat termasuk antibiotik di dalamnya. Untung saja pasien tersebut bisa sembuh. 

"Lalu, ia jalani rawat jalan dan sembuh," kata Agus dalam webinar Jumat, 12 Agustus 2022.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pnemonia dan Rokok Elektronik

Pneumonia atau radang paru memang merupakan satu dari sekian banyak risiko dari penggunaan rokok elektronik. Dalam studi yang dilakukan oleh Bhattan DN pada 2018 terhadap 32 ribu orang rupayanya mereka yang menggunakan rokok elektronik memiliki risiko 30 persen alami penyakit paru.

"Meski tidak mengandung tar, rokok elektronik menyebabkan kecanduan, mengandung bahan karsinogen dan bahan toksik lain yang menyebabkan iritatif dan menginduksi peradangan," jelas Agus.

"Jadi, tidak benar kalau rokok elektronik itu lebih aman," kata dokter yang sehari-hari praktik di RSUP Persahabatan Jakarta ini.

Mengintisari dari berbagai jurnal ilmiah, Agus mengatakan kandungan dalam cairan dan rokok elektronik yang berbahaya

- nikotin: menyebabkan adiksi atau kecanduan

- nitrosamin (TSNa): zat karsinogen (bisa memicu kanker)

- glycol dan gliserol: bisa mengiritasi saluran napas dan paru

- aldheyde dan formaldehyde: menyebabkan inflamasi pari dan karsinogen

- acrolein, otoluidine, 2-naphthylamine: karsinogen

- logam dan heavymetals: memicu inflamasi paru, jantung, sistemik, kerusakan sel dan karsinogen

- particulate matter (PM)/UFP: memicu inflamasi paru, jantung dan sistemik, dan karsinogen

3 dari 3 halaman

Perlu Aturan Pengendalian Penggunaan Rokok Elektronik

Dalam kesempatan itu, Agus yang juga Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan bahwa pengendalian konsumsi rokok elektronik harus dalam revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012) 

"Hal ini menjadi penting karena masifnya produk baru zat adiktif ini," kata Agus.

Pengendalian penggunaan rokok elektronik memang harus dibuat aturannya bila melihat peningkatan signifikan pengguna vaping di Indonesia. Bila pada 2011 ada 0,3 persen pengguna vaping lalu pada 2018 sudah menjadi 10,9 persen.

"Betapa tinggi pengguna rokok elektronik ini kan," tegasnya.

Lewat aturan pengendalian rokok elektronik dari pemerintah, maka diharapkan bisa mengurangi pengguna vaping. 

"Jadi kita mau menunggu korban makin banyak atau mau mengatur akibat rokok elektronik menjadi lebih sedikit?"

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.