Sukses

HEADLINE: Vaksinasi Booster Sepi Peminat di 28 Provinsi, Kendalanya?

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan, pergerakan vaksinasi booster di Indonesia stagnan.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 dunia meningkat 30 persen dalam dua hingga tiga pekan terakhir. Peningkatan jumlah kasus global tersebut di antaranya disumbang oleh peningkatan kasus di sejumlah negara seperti Indonesia, Singapura, Korea Selatan, Meksiko, Australia, dan Jepang.

Subvarian BA.5 kini menjadi virus yang paling dominan menginfeksi masyarakat dunia, seperti disampaikan Pemimpin Teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove. BA.5, kata Maria, menjadi perhatian karena memiliki pertumbuhan infeksi yang pesat dibandingkan subvarian Omicron lainnya.

"Virus ini menyebar pada tingkat yang sangat intens di tingkat global dan kemampuan kami untuk mendeteksi kasus telah berkurang sejak strategi pengawasan telah berubah,” katanya kepada wartawan mengutip Global News.

Di Indonesia, BA.5 dan BA.4 pun menjadi subvarian yang paling mendominasi kasus COVID-19. Sejak beberapa hari lalu kasus baru COVID-19 menembus angka 3.000-an per hari. Kementerian Kesehatan mencatat ada 3.584 kasus COVID-19 baru pada Kamis, 14 Juli 2022. Sedang pada hari sebelumnya, data yang dibagikan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menunjukkan kasus harian mencapai 3.822.

Namun, peningkatan jumlah kasus harian yang signifikan di Tanah Air tidak diiringi dengan capaian vaksinasi booster. Cakupan vaksinasi booster di Indonesia masih rendah dibandingkan vaksinasi COVID-19 dosis pertama dan kedua.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan, pergerakan vaksinasi booster di Indonesia stagnan.

"Sayangnya perkembangan vaksin booster cenderung stagnan cakupan tertinggi di Bali mencapai 58 persen," kata Wiku, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu 13 Juli 2022.

Data Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia per 13 Juli 2922 pukul 18.00 WIB menunjukkan, cakupan vaksinasi booster atau dosis ketiga berada di angka 25,08 persen.

Lebih lanjut, Wiku menjelaskan, cakupan tertinggi vaksin booster terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Kepualauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Namun, cakupan booster di provinsi tersebut di bawah 50 persen. "Bahkan 28 dari 34 provinsi cakupan vaksin booster masih di bawah 30 persen," ungkapnya.

Mengenai laju vaksinasi booster yang lambat ini pun pernah disinggung Wiku pada awal Juli. 

"Sayangnya, cakupan vaksin booster masih belum signifikan peningkatannya," katanya di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Jumat (1/7/2022).

Perkembangan laju vaksinasi booster, kata Wiku, berbeda dengan vaksin dosis pertama dan kedua. Pada awal pelaksanaan vaksinasi dosis pertama dan  kedua, cakupan dapat meningkat 60 persen dalam kurun waktu 6 bulan (Juni - Desember 2021).

"Namun, pada vaksin booster, dalam kurun waktu yang sama sejak Januari hingga Juni 2022, cakupan baru meningkat sebesar 20 persen," ujarnya.

Ia pun mengimbau seluruh masyarakat untuk segera melakukan vaksin booster demi menjaga kesehatan tubuh dan mencegah penularan COVID-19.

"Saya tekankan kepada masyarakat untuk melakukan vaksin booster karena dapat melindungi kita semua agar tetap sehat," imbuh Wiku.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kenapa Capaian Vaksinasi Booster Rendah?

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin membeberkan alasan capaian vaksinasi booster di Tanah Air masih rendah. Salah satunya, masyarakat merasa aman sudah disuntik dosis pertama dan kedua.

"Booster kenapa sedikit? Di mana-mana negara lain juga sama. Karena masyarakat mungkin sudah merasa divaksin dua kali itu lebih kuat. Kalau kita lihat data saintifik menunjukkan, sesudah 6 bulan terjadi penurunan (efektivitas)," ungkap Budi Gunadi saat memberikan keterangan pers usai Rapat Terbatas Evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Istana Merdeka Jakarta pada 4 Juli 2022.

"Jadi jauh lebih baik dan waspada supaya segera lakukan booster. Apalagi tadi ada penurunan kalau sudah 6 bulan (disuntik dosis kedua). Itu (booster) akan memberikan perlindungan."

Menurut Budi Gunadi, tak masalah masyarakat menerima vaksin booster. Sebab, lebih baik divaksin booster dibanding harus skrining tes COVID-19 dengan swab.

"Tidak ada buruknya juga disuntik (divaksin). Kalau saya rasa sih, mendingan disuntik daripada dicolok-colok PCR. Enggak nyaman juga kan ya hidung dicolok-colok. Lagi pula disuntik untuk kehati-hatian (dari penularan virus Corona)," pungkasnya.

Sementara itu, epidemiolog Dicky Budiman menilai rendahnya minat masyarakat mendapatkan vaksinasi booster atau dosis ketiga karena banyak faktor. Mulai dari euforia atas optimisme keluar dari pandemi. 

"Faktor euforia, optimisme berlebihan dari pemerintah yang menarasikan ini sudah terkendali. Jadi, dianggap oleh masyarakat sudah selesai," kata Dicky.

Lalu, muncul juga teori-teori konspirasi di tengah masyarakat yang menurunkan eager atau minat masyarakat melakukan vaksinasi. Namun, di sisi lain, kenaikan kasus COVID-19 akibat BA.5 dan BA.4 sedikit banyak meningkatkan minat masyarakat melakukan vaksinasi booster.

Soal cakupan vaksinasi booster yang masih rendah pun telah mendapat sorotan anggota Komisi IX DPR RI Nur Nadlifah sejak Maret 2022. Dia membenarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap vaksinasi booster atau dosis ketiga masih rendah dan adanya perilaku pilih-pilih vaksin. 

Senada dengan Dicky, Nur juga menyebut anggapan bahwa sekarang sudah tidak pandemi membuat masyarakat enggan mendapat suntikan vaksin COVID-19 dosis ketiga.

"Di samping pilih-pilih vaksin, masyarakat menganggap bahwa sekarang sudah tidak pandemi lagi. Hadirnya varian Omicron dengan gejala yang ringan menjadikan masyarakat menganggap bahwa varian Omicron ini sebagai penyakit yang biasa saja dan memang sedang musim batuk/pilek," ujarnya pada 10 Maret 2022, dikutip dari laman resmi DPR.

Nur Nadlifah menjelaskan, dengan adanya anggapan di masyarakat bahwa saat ini pandemi sudah selesai, hal tersebut menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan vaksin yang halal.

“Masyarakat meminta pemerintah menyediakan vaksin halal untuk menjadi pilihan, karena itu sudah ada sertifikasinya. Kalau kondisi darurat tidak ada sertifikasi halal tidak apa-apa, tetapi bagi sebagian masyarakat saat ini sudah tidak darurat lagi sehingga harus ada vaksin bersertifikasi halal,” ujarnya.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga mengungkapkan alasan lain mengapa masyarakat masih enggan mendapatkan vaksinasi booster, karena vaksin booster yang disediakan oleh pemerintah dirasa memiliki efek samping yang lebih dibanding vaksin yang sebelumnya. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat enggan untuk mendapatkan vaksinasi booster.

3 dari 5 halaman

Bukan Hanya di Indonesia

Seperti telah disinggung oleh Menkes Budi Gunadi, capaian vaksinasi booster yang lambat tidak hanya terjadi di Indonesia. Epidemiolog Dicky Budiman pun menyebut banyak negara mengalami hal serupa.

"Bicara dosis ketiga itu memang secara rerata semua negara mengalami kesulitan, mengalami kelambatan. Kecepatannya lebih lambat dibanding dosis satu dan dua," tutur peneliti dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia itu.

Jangankan bicara tiga dosis. Dicky mengungkapkan bahwa sebenarnya masih banyak negara yang belum mencapai dua dosis. Lebih dari 136 negara yang belum mencapai 70 persen capaian vaksinasi COVID-19 nya.

"Bahkan negara-negara di Afrika pencapaiannya masih di bawah 10 persen, ada juga yang di bawah 5 persen," kata Dicky.

Situasi cakupan vaksinasi yang timpang di banyak negara ini merupakan situasi yang rawan. Bukan cuma soal rawan terhadap 'serangan' BA.5 tapi munculnya varian atau subvarian baru yang lebih merugikan.

"Itu yang membuat situasi jadi rawan. Bukan cuma soal BA.5 tapi kemungkinan lahirnya varian atau subvarian yang lebih merugikan,"jelas Dicky.

Seperti diktahui vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk warga Bumi keluar dari pandemi COVID-19. Namun, ketimpangan vaksinasi masih terasa di banyak negara.

 

4 dari 5 halaman

Inovasi Guna Percepat Vaksinasi

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril menyampaikan, cakupan vaksinasi booster nasional butuh digenjot 25 persen lagi dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 50 persen.

Berdasarkan data Vaksinasi COVID-19 Kemenkes per 14 Juli 2022 pukul 12.00 WIB, cakupan vaksinasi booster di angka 25,08 persen. Angka ini masih jauh dibanding vaksinasi dosis pertama, yang di angka 96,91 persen dan dosis kedua di angka 81,35 persen.

"Kita menyadari penuh bahwasanya vaksinasi ini adalah bagian dari kebutuhan kita agar terhindar dari beratnya sakit COVID-19 maupun juga melindungi masyarakat secara keseluruhan," terang Syahril Syahril melalui Siaran Radio Kementerian Kesehatan, Antisipasi Puncak Kasus COVID-19: Segera Lengkapi Diri dengan Vaksinasi Booster dan Tetap Jaga Protokol Kesehatan, ditulis Kamis (14/7/2022).

"Nah, memang cakupan (booster) kita kan 25 persen. Berarti masih kurang 25 persen (lagi) untuk mencapai target 50 persen yang distandarkan WHO. Ini perlu percepatan ya. Jadi, kita tidak lagi perlu berdebat tentang pentingnya vaksin, tapi ayo sama-sama untuk menyelamatkan bangsa ini dengan vaksinasi."

Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi menyampaikan perlu adanya inovasi dan pendekatan supaya masyarakat tergerak untuk mau di-booster. Menurutnya, hal tersebut juga telah disadari oleh Presiden Joko Widodo. 

"Bapak Presiden juga sadar, harus ada cara khusus supaya masyarakat terpacu buat vaksinasi booster. Sama seperti dulu, orangtua susah sekali ikut vaksinasi," ujarnya usai menjalani rapat terbatas beberapa waktu lalu.

"Nah, begitu ada syarat vaksinasi buat masuk mal. Pada mau semua kan orangtua. Alasannya, katanya senang antar cucunya ke mal. Maka, perlu upaya yang inovatif, Bapak Presiden minta ada pendekatan sosial biar masyarakat jadi semangat di-booster."

Pada rapat terbatas, disampaikan pula vaksinasi booster mampu meningkatkan kadar antibodi. Upaya ini memberikan perlindungan di tengah ancaman subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang sudah menyebarluas di Indonesia dan negara-negara lain. 

Inovasi dalam percepatan vaksinasi booster, salah satunya diupayakan dengan menjadikan vaksin booster sebagai syarat perjalanan dan beraktivitas di fasilitas publik. Terlebih, dalam pertemuan berskala besar yang mengundang lebih dari 1.000 orang.

"Kita melakukan percepatan untuk meningkatkan booster. Kita membuat satu persyaratan (booster) untuk perjalanan, kemudian persyaratan dalam pertemuan-pertemuan yang berskala besar," ujar Syahril.

Percepatan vaksinasi booster dilakukan dengan berbagai strategi secara proaktif, persuasif, terfokus, dan terkoordinir. Para pemimpin daerah diminta untuk turut melakukan percepatan vaksinasi booster di wilayahnya. Aturan pelaksanaannya tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 440/3917/SJ Tentang Percepatan Vaksinasi Dosis Lanjutan (Booster) bagi Masyarakat yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 11 Juli 2022.

Salah satu upaya kreatif dongkrak jumlah orang yang mau divaksin booster dilakukan oleh Detasemen Polisi Militer (Denpom) V/4 di Surabaya. Usai vaksin, masyarakat juga diberi hadiah minyak goreng untuk dibawa pulang.

5 dari 5 halaman

Perbanyak Gerai dan Jangan Pilih-Pilih Vaksin

Upaya pemerintah melakukan percepatan dengan mewajibkan vaksinasi booster COVID-19 sebagai salah satu syarat beraktivitas di tempat publik atau umum didukung oleh Dicky Budiman. Namun, Dicky juga mengingatkan kebijakan tersebut harus disertai dengan peningkatan gerai-gerai vaksinasi.

"Ada yang sudah tidak peduli atau cuek dengan vaksinasi booster. Tapi ada juga yang tidak tahu. Namun, dengan adanya kewajiban itu (untuk booster dalam berkegiatan) itu bisa mendongkrak tapi harus disertai dengan peningkatan gerai-gerai vaksinasi," jelas Dicky.

Jangan sampai aturan tersebut disertai dengan masyarakat yang sulit mendapatkan akses untuk menerima suntikan dosis ketiga.

Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan, masyarakat tak perlu memilih merek vaksin booster. Sebab, pengaturan booster disesuaikan dengan ketersediaan vaksin yang ada di sentra vaksinasi setempat.

"Yang pertama itu tidak perlu memilih merek (vaksin booster) ya dan ini semuanya juga disesuaikan dengan ketersediaan (vaksin) yang ada di daerah. Nanti ketersediaan pun disesuaikan dengan apa yang sudah kita penuhi dalam vaksinasi lengkap, kan ada mix and match," ujarnya.

"Misalnya, vaksin lengkapnya (dosis) pertama dan kedua pakainya Sinovac. Ya nanti (boosternya) akan disesuaikan (dengan vaksin) yang tersedia di daerah itu apa. Apakah nanti menggunakan Pfizer, AstraZeneca, Moderna atau merek lainnya."

Yang perlu diperhatikan masyarakat adalah bila sudah 6 bulan sejak menerima vaksinasi dosis kedua dapat segera mendatangi sentra vaksinasi untuk menerima vaksin booster. Masyarakat juga bisa mendatangi fasilitas kesehatan terdekat untuk di-booster.

"Kalau sudah lewat dalam waktu 6 bulan nanti akan disesuaikan dengan (vaksin) yang tersedia juga. Konsultasi saja langsung ke sentra-sentra vaksinasi dan fasilitas kesehatan terdekat."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.