Sukses

Bagaimana Puasa di Bulan Ramadhan Turut Pengaruhi Kesehatan Jiwa

Tidak hanya fisik, kesehatan jiwa pelaku ibadah puasa di bulan Ramadhan pun membaik

Liputan6.com, Jakarta - Menjalankan puasa di bulan Ramadhan rupanya memiliki korelasi dengan kesehatan jiwa.

Seperti halnya aspek psikologis berefek pada fisiologis manusia. Saat seseorang dilanda stres, daya tahan tubuh seketika drop atau kulit berubah menjadi kusam.

Dokter spesialis kesehatan jiwa di RSJ Soeharto Heerjan, Jakarta, dr Agung Frijanto SpKJ M H mengatakan bahwa Ramadhan juga disebut sebagai syahrut tarbiyah atau bulan pendidikan. Yang mengharuskan setiap individu untuk mampu menjalankan sarana-sarana tarbiyah selama menjalani proses pembentukan ruhiyah maknawiyah.

Dari segi neurosains, lanjut Agung, dalam konsep pendidikan tarbiyah disebut bahwa sel otak bisa berubah sifat dan fungsinya sesuai dengan paparan yang diterima secara berulang dan terus menerus.

Bila paparan bersifat positif, akan terbentuk sirkuit positif. Bila yang terjadi sebaliknya, sirkuit negatif yang akan dia terima.

"Karena memori iulah yang menjadi dasar perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, bila memori yang terkandung berisi negatif akan terbentuk perilaku yang negatif pula, pun sebaliknya," kata Agung dalam sebuah webinar Ramadhan Mubarak Seri 4 belum lama ini.

Dijelaskan Agung bahwa puasa pada bulan Ramadhan melatih seseorang untuk mengaktifkan otak dengan cara memberi stimulus kepada otak agar berperilaku sesuai fitrah manusia.

Infak sedekah dan amal sosial lainnya bukan hanya dilipatgandakan pahalanya, tapi juga bermanfaat bagi kesehatan orang yang mengerjakannya.

"Begitu juga larangan berbuat tidak baik (fashsya mungkar), terdapat faedah luar biasa," katanya.

**Pantau arus mudik dan balik Lebaran 2022 melalui CCTV Kemenhub dari berbagai titik secara realtime di tautan ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Riset Sedekah dan Kebahagiaan

Lebih lanjut Agung, mengatakan, ada sebuah riset yang mengaitkan tentang sedekah dan kebahagiaan.

Ketika dibandingkan pada subjek diberi dan memberi uang, hasil MRI pada orang yang bersedekah didapatkan area otak yang menjadi pusat senang dan bahagia (Nukleus Accumbens) mengalami ekskalasi listrik dan didapat neurotransmitter dopamin dan serotonin --- zat kimia otak yang menyebabkan rasa bahagia.

Merujuk pada UU Kesehatan Jiwa No.18/2014, Agung, mengatakan, secara eksplisit bahwa kondisi sehat jiwa adalah sehat dan berkembang secara fisik, mental, dan spiritual.

"Masalah kesehatan jiwa dari tahun-ketahun semakin bertambah, atau bisa kita sebut sebagai disablity-adjusted life years. Dan, beberapa jenis penyakit kejiwaan ini terus berkembang," katanya.

Sebagai contoh adalah depresi yang diprediksi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menjadi masalah utama dalam beberapa tahun ke depan.

Apalagi situasi pandemi COVID-19 di dua tahun belakangan menjadi stressor dan memengaruhi kesehatan jiwa masyarakat.

-

3 dari 4 halaman

Pandemi dan Kesehatan Jiwa

Agung, melanjutkan, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia juga melakukan penelitian terkait pandemi selama dua tahun belakangan yang dihubungkan dengan kesehatan jiwa.

"Kami melakukan swa-periksa terhadap kurang lebih 15.000 responden sekitar 76 persen perempuan dan 24 persen laki-laki dengan sebaran terbesar di pulau Jawa dan tergolong usia produktif," kata Agung.

"Dari hasil tersebut yang didapatkan adalah bahwa hampir sekitar 80 persen terdapat masalah kesehatan jiwa, cemas, depresi, dan bahkan ada ide-ide bunuh diri. Hal ini membuktikan masalah kesehatan jiwa utamanya di pandemi COVID-19 semakin penting untuk diperhatikan," ujarnya.

Dijelaskan Agung bahwa sebenarnya religi dan spiritualiti sangat memengaruhi kesehatan mental. Selain genetik setiap manusia, ternyata faktor agama atau spiritualitas amat memengaruhi pembentukan karakter seseorang, utamanya ketika childhood atau pola asuh kecil atau di masa golden age.

 

4 dari 4 halaman

Stres Turut Pengaruhi Kehidupan

Menurut Agung faktor spiritualitas ini amat memengaruhi dalam menjaga kesehatan mental, social support, dan perilaku kesehatan, serta bagaimana mekanisme defensifnya terhadap stres, dan hal hal negatif lainnya.

Yang mana secara tidak langsung juga memengaruhi kesehatan fisik. Sehat mental dan spiritualitas akan sehat fisik juga.

"Jadi, apabila kita ada stressor itu akan direspons oleh otak kita, ada yang disebut sebagai sitem HP-Axis. Ketika stress dia akan menstimulus corticotropine releasing hormon yang pada akhirnya akan menghasilkan hormon kortisol atau hormon stres," katanya.

Lantas, bagaimana dampak kortisol tinggi yang berkepanjangan?

Agung, menjelaskan, kortisol tinggi berkepanjangan serta stres berkepanjangan akan bisa meningkatkan glukoneogonesis, menurunkan imunitas, kerapuhan tulang, dan kulit.

"Di sinilah dapat kita lihat bagaimana aspek psikologis berefek kepada fisiologis manusia," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini