Sukses

Apabila Boleh Puasa Ramadhan, Kapan Pasien Diabetes Harus Membatalkannya?

Ada 14 poin yang dicek untuk memastikan pasien diabetes aman bila ikut puasa selama bulan Ramadhan

Liputan6.com, Jakarta - Selain merupakan salah satu kewajiban bagi seorang Muslim, menjalankan puasa di bulan Ramadhan punya segudang manfaat bagi kesehatan.

Dalam sebuah webinar baru-baru ini, dr Prasetyo Widhi Buwono menyebut bahwa pernyataan mengenai puasa dan kaitannya dengan kesehatan didukung oleh sejumlah penelitian modern.

Dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi Klinik Budhi Pratama Gedong, Jakarta, mengatakan, Prof Nikoliev Polev pada 1976 menyebut puasa yang dilakukan paling lama empat minggu dalam setahun memberi kesehatan sempurna sepanjang hidup.

Hal senada juga diungkap Allan Cott MD dalam bukunya Why Fast bahwa berpuasa bikin orang awet muda. Yang disebabkan menurunnya tekanan darah, gula darah, dan lemak dalam darah.

Selain itu, berpuasa juga merupakan proses detoksifikasi, dapat mengendurkan ketegangan jiwa, serta pengendalian diri akan lebih baik.

Namun, pada kondisi tertentu seperti penyandang diabetes, perlu dilakukan penilaian terlebih dahulu apakah berisiko menjalankan puasa atau tidak.

Menurut Prasetyo, pada penyandang diabetes melitus (DM) yang berisiko tinggi untuk berpuasa, perlu melakukan pemeriksaan gula darah berkala guna menilai apakah ada hiperglikemi atau hipoglikemi, bagaimana gejalanya, dan penyesuaian obat-obatan rutin selama puasa.

"Hal ini perlu komunikasi aktif antara dokter dan pasien agar penyandang diabetes dapat lebih aman dan sehat dalam menjalankan ibadah puasa," kata Prasetyo dalam webinar Tips Agar Tetap Aman Berpuasa Bagi Penyandang Diabetes dan Ibu Hamil.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

14 Poin Penentu Pasien Diabetes Boleh Puasa atau Tidak

Pemilik Budhi Pratama Restu Ibu Group melanjutkan bahwa pengidap diabetes perlu dilakukan edukasi, konseling, dan penilaian pre-Ramadhan yang mencakup stratifikasi faktor risiko.

Edukasi mencakup pentingnya peran pemeriksaan gula darah mandiri, kapan pasien harus membatalkan puasanya, bagaimana menjalankan olahraga selama berpuasa di bulan Ramadhan, bagaimana merencanakan terapi gizi, asupan cairan selama puasa, hingga pengaturan terapi DM selama puasa Ramadhan.

Dalam pemaparannya, Prasetyo mengutip tabel stratifikasi risiko puasa Ramadhan bagi penyandang diabetes dari IDF-DAR Diabetes and Ramadhan Pratical Guideline 2021.

Dia, mengatakan, ada 14 poin yang dapat dinilai, di antaranya:

1. Tipe diabetes apakah tipe 1 atau 2

2. Lamanya diabetes apakah di atas 10 tahun atau kurang

3. Riwayat hipoglikemia sebelumnya

4. Kendali gula darah yang ideal hbA1c < 7,5

5. Berapa lama waktu berpuasa berdasarkan lokasi atau negara yang ditinggali. Apakah lebih dari 16 jam atau tidak

6. Tipe terapi diabetes yang dijalankan

7. Apakah pasien mampu melakukan pemeriksaan glukosa mandiri dan disiplin atau tidak

8. Ada atau tidaknya komplikasi akut selama beberapa bulan terakhir

9. Komplikasi makrovaskular misalnya CHF atau PJK apakah stabil atau tidak

10. Adanya komplikasi ginjal dan melihat laju filtrasi glomerulus

11. Jika pasien sedang hamil, akan dilihat apakah gula darahnya terkontrol atau tidak

12. Pada lansia, akan dilihat fungsi kognisi, fraility, dan risikonya

13. Dalam pekerjaan sehari-hari tergolong berat, ringan, atau sedang

14. Melihat pengalaman puasa sebelumnya.

 

3 dari 4 halaman

Poin Risiko Pasien Diabetes Bila Ikut Puasa

Lebih lanjut Prasetyo, mengatakan, stratifikasi risiko ini diikuti dengan rekomendasi medis dan keagamaan. Maksud dari rekomendasi keagamaan adalah rekomendasi dari Mufti di Universitas Al-Azhar.

Dia, menjelaskan, untuk risikonya terbagi menjadi risiko rendah (nol s/d tiga poin), risiko sedang (3,5 s/d enam poin), risiko tinggi (lebih dari enam poin).

Apabila hasil akhirnya relatif berisiko, pasien dengan kondisi diabetes tersebut pun disarankan untuk tidak puasa.

"Puasa itu merpakan suatu keyakinan. Terkadang walaupun pasien yang berisiko tinggi ada yang tetap ingin berpuasa, tentu perlu pendampingan dengan dokter secara ketat. Serta bagaimana mengatur obatnya, asupan gizi, kedisiplinan, pemeriksaan gula darah berkala secara mandiri," katanya.

"Dengan harapan pasien tetap dapat melakukan puasa walaupun mungkin tidak penuh 30 hari," Prasetyo menekankan.

Adapun beberapa waktu pemantauan gula darah yang perlu diperhatikan selama berpuasa, yaitu:

Pertama, saat menjelang sahur. Pada saat itu perlu dinilai apakah penyandang diabetes tersebut ada indikasi hiperglikemi yang mana nantinya penting untuk dokter dalam menyesuaikan dosis obat.

"Kemudian pagi hari guna melihat apakah asupan kalorinya tinggi saat sahur," katanya.

Kedua, saat tengah hari atau lima hingga enam jam berpuasa untuk dinilai apakah mulai terjadi hipoglikemia.

Ketiga, sebelum dan sesudah berbuka puasa guna melihat terjadinya hiperglikemia saat berbuka dan apakah asupan kalorinya pada waktu berbuka cukup tinggi.

Namun, kata Prasetyo, pemeriksaan ini bukan hanya berdasarkan waktu saja. Apabila sudah ada keluhan-keluhannya, perlu dilakukan pemeriksaan gula darah

 

4 dari 4 halaman

Kapan Penyandang Diabetes Boleh Membatalkan Puasanya?

Menurut Prasetyo, penyandang diabetes disarankan untuk berhenti puasa apabila gula darah < 70mg/dl. Namun, apabila gula darahnya masih di rentang 70 s/d 90 perlu dipantau selama satu jam ke depan guna melihat apakah semakin turun atau tidak.

"Dan, apabila ditemukan gula darah >300mg/dl, pasien dianjurkan untuk berhenti berpuasa dan berbuka, karena ditakutkan terjadinya poliuri, dehidrasi, dan komplikasi yang lebih berat," katanya.

Selain dari stratifikasi risiko, Prasetyo menekankan bahwa asupan kalori juga perlu diperhatikan saat puasa bagi penyandang diabetes.

Adapun yang perlu diperhatikan saat berpuasa adalah jumlah energi (kalori) dari makanan yang dibutuhkan pada waktu puasa sama seperti bila tidak puasa.

Yang mana saat buka puasa harus terdiri dari 40-50 persen kebutuhan energi sehari atau sebelum salat Maghrib, makanan ringan (10 persen), makanan utama setelah salat Maghrib (30-40 persen), makanan ringan sesudah Tarawih (10 persen), dan makanan utama pada saat sahur (30-40 persen)

"Dan juga untuk obat-obatan diabetes perlu diperhatikan obat-obatan sulfonil urea, karena kemungkinan efek samping hipoglikemianya yang ditimbulkan cenderung lebih besar, sedangkan obat-obataan lain seperti metformin, DPP4, dan akarbose itu jarang ada dilakukan penyesuaian dosis dan konsultasi ke dokter yang menangani," katanya.

"Keberhasilan kontrol gula darah tahun tidak menjamin puasa ramadhan tahun depan aman karena kita perlu waspadai komplikasi metabolik yg akan muncul ke depannya. Maka itu kita harus tetap disiplin dalam menjaga diabetes tetap stabil dan dipertahankan. Sehingga untuk penyandang diabetes bisa lebih aman dan sehat melanjutkan puasa Syawal dan puasa Senin Kamis lainnya. Dengan begitu komplikasi masa depan dapat dicegah," pungkas Prasetyo.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini