Sukses

HEADLINE: Klaim 99,2 Persen Masyarakat Indonesia Punya Antibodi COVID-19, Tetap Perlu Prokes?

Nyaris semua masyarakat di Jawa dan Bali sudah punya antibodi terhadap virus Corona penyebab COVID-19. Meski hampir semua orang sudah punya antibodi yang tinggi bukan berarti kebal terhadap virus SARS-CoV-2.

Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun kedua pandemi COVID-19, pemerintah mengklaim masyarakat di Jawa dan Bali memiliki antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 nyaris 100 persen. Tingginya antibodi berasal dari infeksi langsung, vaksinasi, maupun gabungan antara sudah terinfeksi dan divaksinasi COVID-19.

Survei serologi atau penelitian antibodi ini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia (FKM UI) pada Maret 2022. Partisipan dalam survei ini adalah mereka yang pernah diambil sampelnya dalam survei nasional pada Desember 2021 lalu.

Adapun survei mengambil sampel dari 21 kabupaten kota di Jawa dan Bali melibatkan 2.100 orang yang dicek antibodinya atau sekitar 100 orang per kabupaten/kota yang dipilih. Hasilnya 99,2 persen warga di wilayah keberangkatan dan tujuan mudik Jawa-Bali sudah memiliki antibodi terhadap virus Corona penyebab COVID-19.

Tingkat antibodi ini lebih tinggi dibandingkan penelitian serupa yang dilakukan pada Desember 2021. Hasil antibodi pada survei tersebut yakni 86,6 persen penduduk Indonesia sudah mempunyai antibodi COVID-19.

"Kami meng-update (memperbarui) mengenai hasil terakhir sero survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKUM UI). Di bulan Desember 2021, kita lakukan sero survei, hasilnya 86,6 persen masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi," ungkap Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden Jakarta, Senin, 18 April 2022.

Pemerintah menjadikan kenaikan hasil antibodi berdasakan sero survei yang dilakukan pada Maret 2022, sebagai dasar kebijakan untuk menghadapi Lebaran 2022. Dengan tingkat antibodi yang tinggi, pemerintah mengambil kebijakan memperbolehkan masyarakat mudik di tahun ini dengan beberapa syarat. Salah satunya bebas tes COVID-19 bila sudah mendapatkan vaksinasi booster

"Jadi, pengambilan kebijakan mudik ini ada basis risetnya (melihat survei antibodi)," lanjut Budi.

Hal senada disampaikan epidemiolog yang juga termasuk dalam tim peneliti dari FKM UI, Pandu Riono. Ia mengatakan bahwa penelitian sero survei di Maret jadi dasar kebijakan pelonggaran mudik. 

"Ternyata hasil survei mendukung (mudik), proporsi penduduk di daerah asal dan tujuan mudik Jawa Bali yang mempunyai antibodi SARS CoV-2 sebesar 99,2 persen," Pandu dalam pemaparan hasil survei bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada Rabu, 20 April 2022.

Sero survei yang dilakukan juga bisa menunjukkan tingkat titer antibodi masyarakat di Jawa dan Bali sudah ribuan, yakni 7-8 ribu. Sementara pada Desember 2021 hanya sekitar ratusan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

Tingkat Antibodi Tinggi, Prokes Pantang Kendur

Pandu mengatakan dengan antibodi dan kadar titer antibodi yang tinggi pada penduduk di wilayah asal dan tujuan mudik Jawa-Bali maka dapat mengurangi risiko hospitalisasi dan kematian dalam kegiatan mudik Lebaran tahun 2022.

Hal serupa pun disampaikan Budi Gunadi. Ia berharap dengan antibodi yang tinggi terhadap virus SARS-CoV-2 akan mengurangi kefatalan bila ada masyarakat yang terpapar COVID-19. 

"Sehingga kalau nanti diserang virus, daya tahan tubuh bisa cepat menghadapinya dan mengurangi sekali risiko untuk masuk rumah sakit juga wafat," imbuh Budi Gunadi.

"Itulah sebabnya, kami percaya, Pemerintah ya insyaAllah, Ramadhan kali ini, mudik kali ini bisa berjalan dengan lancar, tanpa membawa dampak negatif kepada masyarakat," kata Budi.

Meski kadar antibodi dan titer antibodi tinggi, Pandu dan Iwan Ariawan yang tergabung dalam Tim Pandemi FKM UI mengatakan bahwa masyarakat bukan berarti santai tanpa menerapkan protokol kesehatan. Memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mencuci tangan dengan sabun sebagai aspek protokol kesehatan (prokes) harus tetap dijalankan.

"Bukan berarti kita melepas protokol kesehatan, kita tetap harus mendorong masyarakat untuk tetap patuh prokes supaya tetap sehat selama perjalanan karena pandemi belum selesai," kata Pandu.

Tingkat antibodi yang tinggi terhadap COVID-19 jangan juga kemudian membuat jemawa. Pasalnya, Anda masih bisa terpapar dan menularkan virus Corona ke orang lain.

"Masyarakat jangan jemawa, jangan lupa masker. Kalo demam, batuk, pilek dan sakit tenggorokan tetap harus waspada. Memiliki antibodi bukan jaminan tidak bisa menulari ke orang lain. Apalagi jika di lingkungan sekitar pemudik ada lansia yang belum divaksin,” tegas Iwan Ariawan.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga berpesan kepada para pemudik agar tidak menjadi pembawa virus saat balik ke kampung halaman. Dia tidak ingin pemudik menjadi penyebab penularan virus COVID-19 kepada keluarganya.

"Ini harus dijaga. Jangan dari kota membawa virus ke kampung dan dari kampung jangan membawa virus ke kota," ujar Ma'ruf di Yogyakarta, Jumat (22/4/2022).

Maka dari itu, Ma'ruf meminta agar protokol kesehatan dan vaksinasi terus dilakukan baik untuk pemudik maupun keluarganya di kampung halaman. Pemerintah juga telah meminta agar para pemudik sudah memperoleh vaksin booster agar lebih aman.

"Pesan saya supaya pemudik tetap menjaga kesehatan, menerapkan protokol kesehatan, kemudian (melakukan) vaksinasi COVID-19," tutur Ma'ruf.

"Karena di tempat yang mereka tuju untuk mudik itu ada orang tua, ada orang sakit, ada anak-anak," ujarnya.

3 dari 8 halaman

Punya Antibodi Tak Lantas Kebal dari COVID-19

Vaksinolog lulusan Italia, Dirga Rambe Sakti, mengatakan bahwa tingginya antibodi pada masyarakat Jawa dan Bali tentu hal yang baik. Terlebih bila masyarakat mendapatkan antibodi lewat vaksinasi, itu artinya seseorang tidak perlu sakit untuk mendapatkan kekebalan dari COVID-19.

Namun, Dirga mengingatkan ketika masyarakat sudah memiliki antibodi terhadap COVID-19 bukan berarti kebal terhadap virus Corona. Dirga menerangkan bahwa meski sudah memiliki antibodi COVID-19, masih mungkin terkena COVID-19 atau terjadi lonjakan kasus. 

"Antibodi ini sangat dinamis ya, jadi tidak bisa melihat antibodi ini seperti hitam dan putih, tidak berarti kalau sudah punya antibodi berarti kebal," kata Dirga dalam Virtual Class bersama Liputan6.com pada 22 April 2022.

Senada dengan Dirga, epidemiolog Dicky Budiman pun mengatakan kekebalan tubuh terhadap COVID-19 tidak bersifat permanen. Hal ini berarti, peningkatan kadar antibodi warga tidak 100 persen menjamin lonjakan penularan penyakit itu tidak terjadi lagi.

"Artinya tidak bisa menjamin 100 persen tidak terjadi lonjakan. Kita tahu bahwa imunitas terhadap COVID-19 tidak bersifat permanen," kata Dicky, mengutip Antara.

Dirga juga mencotohkan bahwa sudah banyak negara yang warganya memiliki antibodi tinggi. Nyatanya, negara-negara tersebUt melaporkan adanya lonjakan kasus serta kematian akibat COVID-19.

"Banyak sekali negara-negara yang melaporkan masyarakatnya sudah memiliki antbodi tinggi mengalami lonjakan kasus dan kematian. Oleh karena itu, informasi ini seharusnya tidak membuat kita abai (pada protokol kesehatan)," terang Dirga.

 

4 dari 8 halaman

Prokes Tak Ketat, Risiko Kasus COVID-19 Meningkat Pasca Lebaran

Walaupun antibodi COVID-19 penduduk Indonesia di angka 99,2 persen, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, kemungkinan kasus COVID-19 naik pasca mudik Lebaran 2022 bisa saja terjadi.

"Yang antibodi hampir 100 persen adalah di 21 Kabupaten di Jawa dan Bali ya. (Daerah) lain akan baik kalau dilakukan survei juga," ucap Tjandra Yoga saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Senin, 25 April 2022.

"Kenaikan kasus (COVID-19 pasca mudik Lebaran) kemungkinan dapat terjadi, tetapi harapannya tidak terlalu tinggi."

Serupa dengan Tjandra, Dicky Budiman pun mengatakan bahwa potensi kenaikan kasus usai Lebaran memang ada. 

“Potensi adanya peningkatan kasus pasca mudik tentu tetap ada karena bagaimanapun kita masih memiliki populasi rawan yang jumlahnya kurang lebih 20 persen. Baik karena belum divaksinasi atau karena penurunan imunitas,” ujar Dicky melalui pesan video.

Dengan proporsi yang kurang lebih 20 persen ini, jika merujuk populasi Indonesia yang mendekati 300 juta tentu ini sudah sangat signifikan. Bahkan, jumlahnya melebihi jumlah penduduk Singapura, Kamboja, dan Laos.

“Ini tentu juga membawa kerawanan tersendiri karena sebarannya yang terutama di daerah perifer, di daerah yang cakupan vaksinnya belum memadai, bukan hanya di luar Pulau Jawa tapi juga di sebagian Pulau Jawa. Terutama yang bukan wilayah aglomerasi,” sebut pria yang juga peneliti di Griffith University Australia ini.

 

5 dari 8 halaman

Upaya Cegah Lonjakan Usai Lebaran 2022

Tjandra Yoga Aditama bersyukur bahwa jumlah kasus dan kematian akibat COVID-19 Indonesia terus melandai. Adanya momen mudik Lebaran 2022, diharapkan tidak terjadi lonjakan COVID-19.

"Semua tentu berharap agar angkanya (kasus COVID-19) dapat terus ditekan dan jangan sampai ada lonjakan kasus tidak terkendali sebagai dampak mudik kali ini," ucapnya yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Ada beberapa tips, menurut Tjandra Yoga, yang bisa dilakukan untuk mencegah lonjakan kasus COVID-19 pasca mudik Lebaran 2022.

"Pertama, sesuai kebijakan yang sudah ada, maka bagi yang belum (vaksin booster) agar segera mendapat vaksinasi booster, baiknya bukan hanya bagi pemudik, tapi juga keluarga di kampung halaman. Ini bukan hanya bermanfaat bagi para pemudik, melainkan punya dampak bagi memberi perlindungan juga bagi kemungkinan penularan di kampung halaman yang dikunjungi," jelasnya.

"Kedua, para pemudik agar tetap menjaga protokol kesehatan dalam hal memakai masker secara ketat dan juga secara rutin mencuci tangan." 

Tips ketiga mencegah lonjakan COVID-19 pasca mudik Lebaran 2022, yakni para pemudik perlu berupaya optimal untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

"Tentu tidak terlalu mudah dan perlu disesuaikan dengan situasi lapangan yang ada. Sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada hal-hal yang harus kita lakukan bila terpaksa berada dalam kerumunan," Tjandra Yoga Aditama menjelaskan.

"Ya, sedapat mungkin kalau ada kerumunan di ruang terbuka daripada di ruang tertutup. WHO menyebutnya sebagai open air spaces safer than enclosed spaces. Artinya, ada dua hal kalau harus berkumpul, yaitu memang akan jauh lebih baik kalau dilakukan di udara terbuka saja dan kalau terpaksa harus di dalam ruangan, maka seharusnya ada ventilasi terbuka dengan udara luar."

Ketika berada di dalam kerumunan, Tjandra Yoga, yang merupakan Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan, menyarankan, tetap berupaya maksimal menjaga jarak dengan orang lain di sekitar.

"WHO menyebutnya, sebagai farther away from others safer than close together. Langkah ini untuk mencegah penularan kalau barangkali di sekitar kita ada yang batuk, bersin atau berbicara keras, dan lainnya," terangnya.

6 dari 8 halaman

Antibodi Nyaris 100 Persen, Siap Beralih ke Endemi?

Menilik hasil survei antibodi yang hampir 100 persen ini, apakah Indonesia sudah siap masuk endemi? Menurut Budi Gunadi Sadikin, keputusan memasuki endemi berada di tangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan penetapan dari Presiden.

Pandu Riono mengatakan, hasil survei serologi dengan angka antibodi yang cukup tinggi, bukan ditujukan untuk bisa mendeklarasikan endemi.

"Kita tidak bisa men-declare (mengumumkan) apakah ini sudah masuk endemi atau tidak," kata Pandu dalam konferensi pers Update Perkembangan COVID-19 di Indonesia, Rabu (20/4/2022).

Penetapan endemi COVID-19, menurut Menkes Budi Gunadi Sadikin, melalui sejumlah pertimbangan yang harus dipenuhi, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Penegasan ini menanggapi pernyataan Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menyebut Indonesia bisa masuk endemi 3 bulan lagi.

"Endemi itu pertimbangannya tidak hanya kesehatan, tapi juga sosial, politik, dan budaya. Kita sudah mengalami pandemi lebih dari 10 kali sejak abad ke 13 dan 14, selalu pertimbangannya banyak," ujar Budi Gunadi saat kegiatan vaksinasi booster dan donor darah di City Hall Pondok Indah Mall, Jakarta.

Dari segi kesehatan, Pemerintah telah menyiapkan sejumlah skenario menuju endemi sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diharapkan transmisi virus Sars-CoV-2 semakin rendah. sehingga penyebarannya dapat semakin ditekan.

"Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyiapkan skenario-skenario (endemi). Kita ingin kalau bisa indikator transmisi yang WHO ada 3, yakni level 1 dalam 6 bulan berturut-turut," terang Budi Gunadi.

"Usulan epidemiolog, kalau bisa reproduction number-nya (rata-rata orang yang terinfeksi COVID-19) di bawah 1 selama 6 bulan berturut-turut juga minimal vaksinasi lengkapnya dua kali.

7 dari 8 halaman

Endemi Masih Tetap Pakai Masker?

Ketika memasuki endemi, Budi Gunadi Sadikin menekankan, bukan berarti virus Sars-CoV-2 penyebab COVID-19 hilang sepenuhnya. Masyarakat akan tetap hidup berdampingan dengan COVID-19.

"Virusnya tetap ada tapi penularannya rendah terkendali. Jadi, bisa saja yang masuk dirawat sedikit sekali," jelasnya.

"Yang penting adalah budaya masyarakat sudah paham bagaimana menangani penyakit itu sendiri tanpa dipaksa oleh Pemerintah. Sama seperti kalau sakit demam berdarah, rumah disemprot. Kalau ada demam, panasnya naik turun, kita cek darah sendiri, sehingga kalaupun masuk rumah sakit tertangani dengan baik."

Yang terpenting adalah edukasi masyarakat terhadap protokol kesehatan harus terus dilakukan di masa menuju transisi endemi, bahkan bila sudah masuk endemi. Ada kesadaran masyarakat untuk melakukan tes COVID-19 jika merasa bergejala.

"Karena itu kita harus pakai masker. Kalau kena (bergejala), misalnya, harus PCR, kemudian kalau sudah PCR dan positif mesti isolasi untuk tidak menularkan. Itu yang paling penting dipenuhi sebagai syarat menjadi endemi," ucap Menkes.

8 dari 8 halaman

Lebaran, Ajang Ujian Indonesia Hadapi COVID-19

Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan bahwa momentum tersebut menjadi ujian bersama bagi Indonesia agar tidak memiliki peningkatan atau lonjakan kasus kembali.

"Kita cukup optimistis mengingat cakupan vaksinasi cukup tinggi. Pencapaian ini tentu tidak lepas dari dorongan sejumlah regimen vaksin yang telah kita gunakan selama ini," ujar Nadia.

Hal ini lantaran vaksinasi memang menjadi salah satu pelindung terkuat masyarakat dari virus Corona. Apalagi beberapa jenis vaksin juga telah dinyatakan aman dan halal untuk digunakan masyarakat. Dengan kerja sama berbagai pihak, pemberian vaksin juga terus dilakukan.

"Berbagai upaya kita lakukan dengan berbagai skema agar masyarakat Indonesia segera mengakses vaksinasi. Supaya tingkat fatalitas dan kematian bisa kita tekan serendah mungkin dan dalam waktu secepat mungkin," kata Nadia dalam konferensi pers daring pada 25 April 2022.

Nadia mengungkapkan kebanyakan daerah di Indonesia sudah berada dalam PPKM level 1. Sementara itu, tidak terjadi pula peningkatan kasus yang signifikan.

"Kalau kita lihat angka konfirmasi harian turun terus. Pada tanggal 25 April dilaporkan 317 kasus. Jauh turun dari pada saat kita mengalami puncak Omicron ataupun juga pada saat varian Delta," ujar Nadia.

Angka kematian di Indonesia hari ini juga dipaparkan Nadia sebanyak 33 kasus. Padahal angka tertingginya pada gelombang Omicron kemarin mencapai 2.200 kasus.

"Angka positif kita saat ini sudah kurang dari satu persen atau 0,25 persen dan tingkat keterisian rumah sakit kita hingga 23 April hanya 3 persen," kata Nadia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini